Selain lewat buku dan prasasti, kaus adalah wasilah agitasi propaganda paling efektif untuk memperkenalkan peran besar seorang figur publik.
Yogi Abdulgofur merasa senang ketika membaca potongan tulisan saya tentang Subcomandante Marcos dikutip jadi caption produk sebuah produsen kaus tshirttokoh. Tak butuh waktu lama, dia langsung membawakan kaos spesial tersebut kepada saya.
Dia tahu kalau saya mengidolakan tokoh Zapatista yang kebetulan bertarikh lahir mirip dengan tanggal kelahiran saya itu. Selain senang karena dapat kaos, saya juga senang karena setidaknya, potensi Subcomandante Marcos dikenal khalayak, juga jauh lebih besar.
Nabs, pengaruh kaus pada pemahaman terhadap sebuah objek, sama plek dengan pengaruh kaus terhadap elektabilitas seorang tokoh publik kala pemilu. Ia memperkenalkan dan memicu rasa ingin tahu yang besar.
Maka jangan heran ketika musim pilkada atau pilpres, banyak kaus partai berkeliaran.
Sayangnya, tak banyak produsen kaus yang fokus memproduksi kaus dengan motif rumus Aljabar atau rumus Phytagoras atau sekadar adagium pelajaran fisika nan legendaris: diketahui, ditanya dan dijawab — siapa tahu itu bisa menarik pelajar menyukai pelajaran rumit.
Buktinya, banyak kok orang yang awalnya tak kenal oknum politisi tertentu, bisa langsung tertarik dan berminat untuk nyoblos politisi tersebut hanya karena dikasih kaus bergambar wajahnya. Iya, kan?
Pengaruh kaus terhadap laku agitasi-propaganda politik memang amat besar. Di Thailand, misalnya, kalau mau mengingat-ingat, sebuah gerakan berbasis kaus warna merah berhasil populerkan seorang figur hingga jadi pemimpin selama bertahun-tahun.
Ya, mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, membangun rezim politik yang terbilang cukup lama itu melalui fashion dan gaya berpakaian. Jauh sebelum mencalonkan diri, dia mencipta vibe atau gelombang suasana yang ter-asosiasi dengan kaus warna merah — kaus partai Thai Rak Thai.
Dalam contoh yang lebih dekat, kita semua tentu ingat baju kemeja kotak-kotak yang identik dengan Jokowi. Ya, vibe baju kotak-kotak itu, disadari atau tidak, mampu meningkatkan elektabilitas Jokowi di Pilpres 2014.
Dalam contoh yang sangat lebih dekat lagi, kita bisa mengingat betapa banyak tukang becak atau tukang ojek yang menggunakan kaus parpol saat musim kampanye. Sebuah bukti tak terbantahkan bahwa kaus punya peran propaganda cukup besar.
Selain lewat buku dan prasasti, kaus oblong adalah wasilah propaganda paling efektif untuk memperkenalkan peran besar seorang figur publik. Bahkan, penyampaian pesan dari kaus jauh lebih efektif dibanding buku atau prasasti.
Alasannya sederhana. Ada manfaat secara langsung yang diberikan kaus, yang tak bisa diberikan buku atau prasasti. Setidaknya kaus bisa dipakai untuk bajuan. Toh jika tak mau membaca pesan yang tertera di dalam kaus itu, asal kaus dipakai, pesan justru bisa dengan mudah dibaca orang lain.
Berbeda dengan buku atau prasasti, butuh ketelatenan untuk bisa dapat pesan informatif dari dua medium tersebut. Memang buku atau prasasti bisa dipakai untuk bajuan? Tidak, kan.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa untuk urusan agitasi, propaganda dan uborampe pepesanan, kaus jauh lebih efektif dibanding buku maupun prasasti.
Di Indonesia, kekuatan pesan di dalam kaus, sesungguhnya sudah mulai terlihat sejak medio 1990. Lebih tepatnya pada 1994— tahun munculnya kaus Dagadu. Saat itu, baik anak muda desa atau anak muda urban-kelas-menengah-manja, semua gandrung pada kaus casual produksi Dagadu Djokdja.
Dagadu Djokdja tentu jadi pelopor pesan bermedium kaus. Kala itu, banyak kaus produksi Dagadu Djokdja berisi pesan-pesan agitasi dan propaganda berbasis kata-kata, bertema pentingnya wisata dan pentingnya mencintai Indonesia, dengan kemasan yang unik.
Dan benar belaka. Tak hanya pesan kata-kata, medium kaus juga sangat cocok dijadikan wasilah memperkenalkan judul-judul buku babon. Kaus, juga sangat cocok mengenalkan ketokohan seorang figur. Terutama figur-figur berperan besar yang belum banyak dikenal khalayak.
Kita tentu ingat, di awal 2000, banyak sekali anak-anak muda urban kelas menengah manja yang mengenakan kaus bergambar, misalnya, The Beatles atau Che Guevara atau Nirvana atau Rancid atau Ramones.
Meski awalnya tak banyak yang tahu apa dan siapa nama-nama itu (bahkan pengguna kaus itu sendiri juga nggak tahu), toh pada akhirnya memicu rasa ingin tahu orang yang melihatnya, kan?
Bayangkan jika yang dikenakan adalah nama tokoh atau sebuah fenomena penting yang nama dan istilah itu jarang terekspos, tentu bakal memicu rasa ingin tahu yang besar bagi mereka yang membaca pesan di dalam kaus tersebut.
Begitulah, saya kira. Kaus sebagai medium pepesanan jauh lebih efektif dan cepat mengena dibanding buku atau prasasti sekalipun. Asal pesan yang disampaikan kontekstual.