Maret identik International Women Day (IWD). Berikut gerakan perempuan dari masa ke masa.
Angin bulan Maret berhembus. Ada yang mengharap datangnya musim semi, tetapi belum ditemui. Atau mengharap datangnya kemarau, namun hujan masih turun membasahi bumi.
Tidak ada cara lain selain menjalani kehidupan, sesekali juga perlu menengok ke belakang, atas apa yang pernah kita lakukan, karena saban peristiwa terkandung ibrah di dalamnya.
Maret, identik dengan International Women Day (IWD). Momen tersebut diperingati saban 8 Maret. Momen itu, tidak bisa lepas dari yang namanya peristiwa “Rose and Bread” di Benua Biru. Perjuangan perempuan dalam memperjuangkan haknya, harus dilanjutkan hingga matahari berhenti menyinari bumi.
Dan tidak hanya 8 Maret, saban hari juga bisa dimaknai untuk memperjuangkan hak-hak perempuan maupun kaum mustadh’afin secara umum.
Pada Maret 2021, momentum International Women Day (IWD) bersamaan dengan peristiwa di Myanmar, sebuah peristiwa kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar, dan menyebabkan salah satu pejuang demokrasi perempuan ‘Kyal Sin’ rest in power.
Di kabupaten yang konon sebagai lumping pangan dan energi ‘Bojonegoro’, pada Maret 2021, beberapa organisasi, komunitas, dan kampus, memperingati International Women Day (IWD), ada yang menghelat diskusi, malam seni, aksi rose and bread di pertigaan pos polisi Krempyeng, dan lain sebagainya.
Secara historis, perempuan Bojonegoro memberikan warna dalam dinamika gerakan perempuan. Dikutip dari Digital Collection Universiteit Leiden, ada Raden Ayu Tumenggung Tjokronegoro II (anak perempuan Adipati Tirtonoto) yang juga nenek dari “Tirto Adhi Soerjo”. Hal tersebut termasuk dalam periode sebelum kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, pada periode pergerakan untuk kemerdekaan, pada tahun 1921-1965, muncul beberapa organisasi perempuan yang progresif yaitu Gerakan Wanita Indonesia Sedar (GERWIS) atau Perempuan Sedar (kata Sedar sering muncul di Harian Rakyat) yang berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI).
Dikutip dari Patresia Kirnandita dalam Aksi Gerwani dan Serikat-Serikat Perempuan Lainnya (Tirto.id, 2017), gerakan GERWIS yaitu memberikan kursus pemberantasan buta huruf dan penyediaan tempat penitipan anak, itulah segelintir program yang dijalankan GERWIS.
Dikutip dari Verelladevanka Adryamarthanino dalam Sejarah Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia (Kompas.com, 2021), Gerwani didirikan untuk menjadikan semua wanita menjadi orang yang mandiri dan memiliki semangat untuk bekerja keras, menolak tanggapan bahwa wanita hanya berfungsi sebagai pengikut suami dalam setiap tindakannya, dan memberikan pendidikan plus penyuluhan kepada wanita mengenai hak-hak perempuan.
Di Bojonegoro gerakan Gerwani pada masa itu bisa dikatakan ciamik, dan melahirkan kader yang militan.
Dikutip dari Merdeka.com dalam Gerwani, Nyanyian Sunyi Srikandi Merah (2012) disebutkan seorang perempuan Lestari (81) yang berasal dari Bojonegoro, bercerita tentang gerakan perempuan pada masanya.
Lestari (tinggal di Panti Jompo Waluya Sejati, Jakarta Pusat ), bergabung dengan Gerwani Bojonegoro saat usianya 20 tahun. Juga sempat menjadi ketua cabang Gerwani Bojonegoro. Karena dia dianggap berprestasi, dia kemudian ditarik menjadi pengurus tingkat provinsi di Surabaya, Jawa Timur.
Lestari juga menyebutkan bahwa fokus gerakan Gerwani pada saat itu antara lain: memperjuangkan buruh dan petani, membuat pendidikan politik untuk perempuan, serta memperjuangkan undang-undang perkawinan yang dianggap merugikan perempuan. Pada waktu itu, Gerwani juga sempat membangun taman kanak-kanak di setiap kecamatan.
Pada waktu 1921-1965, pelajar perempuan nahdliyin juga turut serta mewarnai gerakan perempuan di tanah air, saalah satu di antaranya Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), yang bersama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) juga mendukung politik konfrontasi Presiden ‘Soekarno’ dalam gerakan Ganyang Malaysia. Dalam Majalah Gema Islam No.38/39 Th. II tahun 1963 (hal.17), disebutkan dinamika IPPNU wabilkhusus ketika Kongres ke-IV di Purwokerto, dimana Faridah Mawardi terpilih sebagai ketua umum IPPNU dan Machsanah sebagai sekretaris IPPNU.
Diantara resolusi/usul-usul yang disampaikan pada waktu itu, yakni mengharap Presiden Soekarno meniadakan Panca Wardana karena bertentangan dengan Pancasila, mendukung kebijaksanaan Presiden dalam masalah dengan Malaysia karena bertentangan dengan sifat revolusi bangsa Indonesia yang anti imperialisme dan kolonialisme, menyampaikan saran kepada DPR-GR untuk segera mengeluarkan Undang-Undang (UU) Perkawinan, mengawasi badan-badan atau yayasan pendidikan swasta supaya tidak bertentangan dengan dasar Pancasila, dan pemerintah harus menyelidiki buku-buku impor sebelum digunakan di lembaga pendidikan di Indonesia.
Selain itu IPPNU juga meminta Pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap masuknya budaya barat yang bisa merusak moral bangsa Indonesia seperti dansa-dansi dan twist, selain itu juga agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (PD & K) meringankan beban pelajar agar kelangsungan pendidikan mereka tidak terganggu, dan lain sebagainya.
Meskipun beberapa usulan terkesan normatif, hal tersebut patut diapresiasi karena pelajar perempuan berani melakukan kritik terhadap kebijakan penguasa yang dianggap kurang sesuai, dan juga sebagai pengejawantahan kemerdekaan berpikir plus berpendapat pelajar perempuan.
Hal tersebut terlepas pasca peristiwa 65, dimana organisasi keagamaan induk IPPNU ‘NU’ juga terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam peristiwa 65, atau G-30-S/Suharto. Dan hal tersebut menyebabkan manuver gerakan, baik organisasi keagamaan NU dengan underbow-nya, maupun organisasi keagamaan yang lain.
Sial, di masa Orde Baru aka Orba, di bawah kemudi the smilling general aka Soeharto, gerakan perempuan didomestifikasi. Dan ada istilah ibuisme Negara. Untuk mengetahui dinamika gerakan perempuan pada masa Orde Baru, bisa berkaca pada Darma Wanita, Ibu PKK, Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) di era kiwari di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, nuansa tersebut bisa dirasakan di sebuah gedung yang berada di perempatan antara Jalan Mastrip, Jalan KH. Hasyim Asyari, dan Jalan Imam Bonjol, sebuah gedung dekat lampu bangjo ‘Gedung Organisasi Wanita (GOW)’, dan beberapa organisasi wanita yang lainnya.
Ketika Orde Reformasi hingga setelahnya, pendar cahaya progresifitas gerakan perempuan ada. Seperti ketangguhan perempuan di Wadas (Wadon Wadas), perempuan Serikat Petani Pasundan (SPP) di Harumandala (Cigugur, Pangandaran) dalam mewujudkan keadilan agraria, dan gerakan perempuan yang lainnya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.