Mau jadi Agent of Change ataupun Agen Elpiji, kita akan tetap terbentur, terbentur dan terlupakan oleh janji.
Bagi mahasiswa idealis, kampus adalah miniatur sebuah negara. Ia memiliki sistem pemerintahan; baik eksekutif, yudikatif dan legislatif. Ia penganut demokrasi yang mengutamakan hak, persamaan, dan perlakuan yang sama.
Akhir-akhir ini, aku membaca buku Soe Hok Gie berjudul Catatan Seorang Demonstran. Dari sana, aku mulai berpikir, aku tak menemukan apa sejatinya seorang pemuda. Apa sejatinya mahasiswa Agent of Change.
Gie meninggal saat pendakian Gunung Semeru dengan perasaan tak menemukan siapa dirinya. Dia berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan yang merdeka dengan mati muda.
Gie kerap melalukan kritik dan kecaman pedas. Namun semakin sering ia melakukan hal itu melalui tulisan tulisanya, dia semakin merasa terpencil dan terasingkan.
Semua serba dilema. Terlalu banyak orang pintar, terlalu banyak intelektual membuat negeri ini banyak kepentingan. Namun terlalu banyak orang bodoh, justru mudah dimanfaatkan orang pintar. Entahlah, aku tak tahu.
Di kepalaku, terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang amat kacau. Mulai tentang ketidakadilan, keculasan oknum, hingga kesejahteraan utopis yang teramat menyesakkan dada.
Pernah suatu hari aku mengkritik. Ada yang bilang bahwa aku salah sasaran. Ada yang bilang kritikanku terlalu. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Apakah aku harus bertanya pada rumput yang bergoyang?
Pastinya tidak. Rumput tidak mau tahu soal ini. Ia hidup bebas di tanah yang dihempas angin sepoi sepoi. Ia bebas bergerak ke kiri dan ke kanan. Ke ideologi kiri, ke ideologi kanan.
Tak seperti aku yang saat ke kiri disangka sosialis komunis, dan saat ke kanan disangka teroris kapitalitis. Aku tak sebebas itu. Dan kau tahu, aku dipaksa menikmati ketakbebasan itu.
Aku tak tahu, sejak kapan aku punya pandangan tentang negara yang baik dan negara yang buruk. Dan sialnya, seperti kisah cintaku dengan dia, pandangan itu selalu terbentur, terbentur, dan terlupakan.
Mau jadi Agent of Change ataupun Agen Elpiji, kita akan tetap terbentur, terbentur dan terlupakan oleh janji politisi. Jadi, mau jadi Agent of Change atau Agen Elpiji? siapa sebenarnya yang menggerogoti demokrasi bangsa ini?
Fajar Wicaksono, mahasiswa progresif yang bisa mengaji dan pernah patah hati.