Bahwa bahasa tak melulu mesti diucapkan.
Aku tertarik banyak hal di dunia ini. Aku menyukai tulisan, terlebih tulisan tangan. Aku menyukai bacaan dan pertanda yang tersebar di muka bumi. Aku menyukai isyarat dan bahasa tubuh, serta banyak hal lain yang bisa kubaca.
Beberapa waktu lalu. Aku bertemu dengan seorang teman disesela kesibukannya. Kami merencanakan untuk bertemu sebentar, mengucilkan diri untuk berdua saja dan membagi hasil penelitian yang baru saja kami selesaikan.
Tapi sebelumnya kami harus bertemu, membicarakan semua itu dengan matang. Kami menyepakati tanggal pertemuan, jam, serta tempat. Aku menunggunya seperti biasa, sedang dia melewati beberapa jam untuk sampai di tempatku.
Dalam jeda waktu penantian, aku baru sadar apa yang terjadi padaku. Ketika aku datang, aku tahu akan menunggu karena jarak yang kutempuh jauh lebih pendek. Aku tersenyum sederhana, membuka telepon genggamku dan melihat kembali riwayat obrolanku dengan teman yang kusebut di atas itu.
Aku duduk sedikit membungkuk dengan kedua tangan memegangi telepon genggam. Sikuku menopang tangan, bersandar di meja.
Jarak mataku dengan layar hanya sekitar 7 sentimeter. Kakiku sedikit tertekuk ke depan. Aku suka membaca ekspresi orang dan sering melakukannya, tapi ini pertama kalinya aku membaca ekspresiku sendiri.
Rupanya, aku sedang sendiri dan merasakan diriku dalam keadaan bahagia. Aku bersemangat dan merasa antusias akan suatu hal. Di dalam hati, aku menertawakan diriku sendiri.
Ketika kulihat temanku itu datang, aku kembali tersenyum. Senyuman kali ini sedikit berbeda, bukan lagi sebatas senyuman sederhana yang tidak memperlihatkan gigi.
Ada penekanan, sehingga bibir lebih tertarik ke belakang. Aku bahkan melambaikan tangan. Antusias. Kulihat hal yang sama ketika dia berjalan ke arahku.
Ketika makan dan ngobrol, aku merasa nyaman. Ini bukan hanya soal obrolan hasil penelitian kami saja, tapi cara kami lebih banyak bertatap mata menunjukkan antusias satu sama lain.
Entah kami sedang memuji satu sama lain dari dalam hati, atau mungkin karena kami hanya ingin berkomunikasi. Aku tak bisa secara gamblang mengatakannya, tapi bahasa tubuh tidak bohong, bukan?
Meski begitu, tetap ada malu-malu ketika dia melihatku. Secara tak sadar, aku membuat ekspresi aneh, atau bersikap ofensif untuk melindungi harga diri dengan cara mengejeknya.
Mungkin ada banyak lagi bahasa yang belum kutangkap dan kukenali dengan baik. Tapi kurasa, itu saja sudah cukup menerangkan, bahwa bahasa tak melulu mesti diucapkan.