Pembangunan nasional tidak lepas dari pembangunan desa. Misalnya Mojodeso. Desa yang terletak di Kecamatan Kapas ini menorehkan prestasi nasional. Bahkan, Mojodeso menjadi desa percontohan bagi desa lain di Bojonegoro.
Kemajuan Mojodeso terlihat dari kondisi desa yang sangat tertata dan begitu rapi. Tentu itu semua berkat masyarakatnya. Kesadaran masyarakat desa akan lingkungan cukup tinggi. Ini terbentuk dari kultur budaya peduli lingkungan yang sudah lama.
Sekitar 1985, Mojodeso merupakan desa yang begitu asri. Namun, lama-kelamaan semangat masyarakat terasa mati. Keadaan ini menyebabkan masyarakat Mojodeso merasa malu menyebut desa ini. Masyarakat sempat menyebut istilah Mojopayung untuk mengganti nama Mojodeso.
“Awalnya merasa malu menjadi warga Mojodeso, sampai ngakunya warga Mojopayung,” kata Modin Mojodeso, H. Abdullah Muin pada Bakti Suryo Nugroho dan Widyastuti Septiyaningrum.
Namun, keadaan tersebut berubah pada 2008. Kala itu, Warsiman menjadi kepala Desa Mojodeso yang baru. Warsiman mengusung slogan Mojodeso Bangkit untuk membakar semangat warganya membangun desa kembali.
Menurut Muin, program pertama dari Warsiman adalah Gerbang Mojodeso Berhias. Istilah tersebut bermakna Gerakan Bangga terhadap Mojodeso. Berhias sendiri merupakan singkatan dari bersih, hijau, indah, aman dan sehat. Secara garis besar, lingkungan perlu dikelola dengan baik agar masyarakat kembali bangga terhadap desanya.
Pembangunan lingkungan tersebut diawali dari pengelolaan sampah. Sampah harus mampu dikelola secara baik. Dari situ, Warsiman mengajak masyarakat membentuk bank sampah. Nantinya, bank sampah ini sebagai penampungan sampah untuk diberdayakan. Misalnya didaur ulang agar memiliki nilai fungsi.
Mulai 2012, lanjut Muin, Desa Mojodeso mengadakan lomba kebersihan lingkungan. Lomba ini memanfaatkan momen Agustusan sebagai pemicunya. Ini barulah awal proses, bukan kegiatan yang bersifat periodik di Bulan Agustus.
Pada 2013 hingga 2015, Mojodeso mendapat penghargaan secara berturut-turut dari pemerintah kabupaten. Mojodeso mendapat predikat sebagai desar terbaik di Bojonegoro. Hal tersebut menyebabkan Mojodeso dilarang ikut serta dalam lomba membangun desa di Bojonegoro.
Namun, pelarangan tersebut memiliki alasan yang cukup jelas. Mojodeso naik peringkat untuk ikut serta dalam lomba pembangunan desa tingkat provinsi di 2016. Bahkan, pada 2017, Mojodeso mendapat predikat dari pratama menjadi madya.
Berawal dari kompetisi desa tingkat porovinsi, Mojodeso diikutkan dalam pembangunan desa bertema Kampung Iklim pada tingkat nasional. Hal itu sesuai dari arahan Kementrian Lingkungan Hidup. Dari situ, Mojodeso mendapat Pekerti tingkat nasional.
Setiap tahun, pembangunan desa di Mojodeso terus dievaluasi. Momen lebaran pun dimanfaatkan oleh kepala desa dan segenap perangkatnya. Hal ini untuk dapat menarik komentar warganya secara langsung.
Pada 2018, wisata edukasi dan kampung bersih dimulai untuk membangun brand Mojodeso. Antara lain edukasi daur ulang sampah. Hal ini untuk mengajari kepada anak-anak untuk perduli terhadap lingkungan.
Anak-anak Mojodeso juga dilatih membuat kerajinan dari sampah. Dari situ, dibangun Kampung Dolanan di area Tugu Payung Mojodeso. Hal ini bertujuan untuk mewadahi anak-anak dalam proses bermain sambil belajar.
Selain edukasi daur ulang sampah, Mojodeso juga membangun image sebagai destinasi wisata kuliner. Mojodeso juga mengembangkan berbagai produk minuman segar. Mulai dari minuman olahan biji kemangi, mawar, rosella, lidah buaya dan banyak lagi.
“Minuman sejenis ini kan lebih dikenal dengan jamu kan. Nah, di Mojodeso, minuman ini dikemas lebih modern menjadi minuman segar,” kata Modin Mojodeso.
Dan yang terakhir ini, kompleks Tugu Payung Mojodeso membuka destinasi baru. Namanya adalah Telaga Payung. Tempat ini merupakan bekas kolam pemancingan. Kolam pancing ini mengalami kebangkrutan dan terpaksa di tutup.
Namun, dengan semangat yang dimiliki warga Mojodeso, bekas kolam ini disulap menjadi destinasi untuk berwisata kuliner. Berbagai macam kuliner olahan khas Mojodeso ada di tempat ini. Pengunjung bisa memilih kuliner sesuai dengan selera.
Suasana yang ditawarkan pun cukup asyik. Bayangkan saja, ibarat telaga yang ada di tengah area persawahan. Deretan stan-stan menjajakan kulinernya di bagian kanan kiri kolam. Terdapat kolam yang cukup lebar di tengah tempat ini. Itu lah alasan tempat ini bernama Telaga Payung.
Namun, Nabsky perlu berhati-hati ketika mengunjungi tempat ini. Area jalan belum begitu lebar. Jalan untuk melewati stan makanan berada persis di atas bibir kolam. Pembangunan memang belum sepenuhnya berjalan. Lokasi Telaga Payung masih perlu dikembangkan hingga soft launching pada Minggu (27/1/2019) lalu.
Mojodeso bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain di Bojonegoro. Dengan semangat gotong royong, Mojodeso menjelma jadi desa wisata yang layak dikunjungi. Kalau ada waktu, jangan lupa berkunjung ke desa Mojodeso ya Nabs.