Mencintai diri sendiri adalah rasa syukur yang hanya dirimu sendiri yang tahu caranya.
Aku memandang cermin berukuran 1.5 meter x 50 cm. Terlihat seorang wanita yang terlihat sedikit gemuk, kulitnya sawo matang, kerutan kecil terlihat jelas di dahi dan sekitaran mata. Wajahnya pun terlihat kendor sesuai dengan usianya yang kini sudah beranjak 36 tahun. Tidak muda lagi, tidak langsing, tidak seperti dulu.
Tahun 2021, setelah perjalanan 36 tahun, aku memandang wanita itu dengan senyum dan berkata “hai apakabar diriku?”. 2021 bisa saja menjadi kisah biasa seperti tahun kemarin. Namun, Aku memutuskan mengambil jalan berbeda dengan konsekuensi rintangan berbeda yang belum pernah Aku lalui sebelumnya. Aku memutuskan 2021 harus menjadi tahun yang berbeda.
Sebelumnya, aku sibuk menemukan diriku dari mata orang lain hingga melupakan cara melihat diriku dari mataku sendiri. Bahkan, seringkali aku sibuk mendapatkan cinta dari orang lain, mencoba untuk dicintai.
Tapi lupa mendapatkan cinta dari diri kita sendiri, dicintai oleh diri sendiri. Tanpa disadari, Aku kehilangan diriku sendiri. Berusaha menjadi sosok ideal bagi orang lain dan lupa bahwa tidak ada yang akan menganggap kita ideal kecuali diri kita sendiri.
Banyak keputusan besar dilakukan di 2021. Banyak hal hebat terjadi di tahun ini. Ternyata, hal terberat bukan menjalankan apa yang telah diputuskan tapi mengajak diri untuk berada di jalan yang telah diputuskan bersama.
Tahun ini untuk pertama kalinya aku merasakan kesendirian. Aku memutuskan untuk tinggal terpisah jauh dari suami dan anak.
Hari pertama terbangun. Sunyi, tidak ada suara berisik coletahan anak – anak. Tidak ada tuntutan untuk bertanggung jawab selain terhadap diriku sendiri. Sesaat aku merasa sendiri, alih – alih memilih untuk beranjak dari tempat tidur aku memilih untuk menarik selimut menutup wajahku dari terpaan sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar. Pertamakali dalam hidup, aku merasa benar – benar sendiri.
“Hai diriku yang tidak pernah merasa sendiri. Apakah kita berdua bisa melewati hari – hari ini berdua saja. Apakah kita saling menguatkan satu sama lain? Karena tanpamu, Kesendirian ini akan membunuh kita.”
Kesendirian ternyata butuh perjuangan. Minggu pertama paling menyiksa. Harus memaksa diri untuk bangun dan berangkat ke kantor. Hingga, harus memasang alarm pukul 07.00 untuk memastikan pada saat itu aku beranjak dari tempat tidur, mengabaikan gawai untuk bersiap menuju kantor.
Penyiksaan belum berakhir. Pulang dari kantor, terasa berat menuju rumah. Teringat rumah yang sunyi dan sepi. Hingga, aku terbangun entah dihari keberapa berkata pada diriku sendiri, “Baiklah, kesendirian tidak boleh membunuh kita. Hai diriku, ayo kita lewati ini bersama – sama.”
Tahu apa terhebat dari kesendirian? Dalam kesendirian dirimu dapat melakukan hal yang diyakini tidak akan bisa dilakukan.
Aku pun mulai menulis daftar, hal – hal yang belum atau tidak sempat dilakukan selama 36 tahun ini. Melukis. Hal yang kupikir tidak akan pernah bisa aku lakukan. Bukan karena tidak bisa tapi karena tidak pernah dicoba.
Tidak pernah dicoba karena aku terlalu takut melakukan di depan orang lain. Terlalu takut mendengar komentar apalagi kritik mereka. Salah memegang kuas, salah cara menyapu kuas di kanvas, salah menarik garis, salah dan salah. Terlalu takut mendapati diri salah dimata orang lain sehingga tidak pernah mencoba.
Hari ini , aku sendiri. Tidak ada komentar atau kritik yang harus didengar. Hanya ada aku dan diriku sendiri.
“Hai diriku, kamu maukan membantuku? Aku tidak butuh komentarmu apalagi kritikmu.
Aku hanya butuh dirimu berada disampingku menemaniku menyelesaikan lukisan malam dengan sinar bulan sempurna.?” Bisikku pada diriku.
Tangan terasa kaku dan gemetar saat kuas dicelupkan dalam cat minyak. Rasa gemetaran makin terasa saat kuas mulai menyapu kanvas putih bersih.
“Bagaimana jika aku salah menyapukan kuas? Bagaimana jika aku terlalu tebal menorehkan cat diatas kanvas?”.
Berjuta pertanyaan keraguan dalam hati, membuat tangan ini makin gemetaran. Namun, diriku berkata.
“Hai, tenang kita akan melalui ini bersama. Tenangkan dirimu. Dan selesaikan lukisan malam dengan dengan bulan sempurna ini. Aku tidak akan mengomentarimu apalagi mengkritikmu. Aku hanya akan berada disisimu, membiarkanmu menikmati perjalananan menyapukan kuas diatas kanvas. Mari kita lakukan ini dan selesaikan bersama. Lakukan hal yang menurutmu tidak akan pernah mampu kamu lakukan. Lampaui batas dirimu”
Setelah satu minggu berkutat dengan kuas dan kanvas, lukisan malam dengan sinar bulan sempurna itu pun telah selesai dan telah tergantung disalah satu dinding kamarku. Lukisan pertama yang tidak rapi sempurna tapi lukisan pertama terbaik versi diriku. Guratan keraguan, kekhawatiran, ketakutan terlihat dalam setiap cat yang menempel kanvas tersebut. Melekat abadi, menghiasi tiap jengkal kanvas.
“Hai diriku, akhirnya kita bisa menyelesaikannya. Meletakkan semua keraguan, kekhawatiran dan ketakutan kita pada kanvas itu. Mengingatkan diri kita, bahwa kita manusia yang tidak akan pernah menjadi sempurna.”
Aku masih berdiri didepan cermin berukuran 1.5 meter x 50 cm, masih wanita yang sama, masih mata yang sama. Aku gendut, sawo matang, tidak muda lagi. Tapi tahukan, dirimu terlihat cantik dan aku menyukaimu.
Orang yang paling bahagia adalah orang yang selalu bisa bersyukur. Mencintai diri sendiri adalah rasa syukur yang hanya dirimu sendiri tahu kisahnya.