Bojonegoro Laboratorium Nusantara — sebuah ajakan untuk membaca dan menulis Bojonegoro, dari bermacam paradigma pengetahuan lokal.
Bojonegoro dikenal sebagai kawasan ultra-slowliving berlabel Kota Pensiunan. Ia seperti kantor “Dinas Perpustakaan” bagi PNS yang dibuang rezim pemerintahan. Di Bojonegoro, prinsip Stoikisme tak hanya dipahami secara teori. Tapi diterapkan secara alami dalam tradisi nyangkruk dan ngopi. Konon, Bojonegoro kota sepi yang tak memiliki atmosfer kompetisi sama sekali.
Namun wajib diketahui, di balik sepinya “perpustakaan”, tentu menyimpan keramat berupa pasokan referensi dan informasi. Di balik kultur Stoikis nyangkruk dan ngopi, menyimpan permenungan sosial yang amat tinggi. Dan di balik ultra slow living-nya gaya hidup, nyatanya menjadikan Bojonegoro sebagai kawah candradimuka bagi para pemimpin bangsa.
Bahkan, masyhur sebuah kredo yang berbunyi: “Kaidah penyatuan Jawa ada di Bojonegoro. Jika ingin mempelajari Nusantara, bacalah Bojonegoro”. Kredo pepatah lokal di atas, tentu tidak muncul begitu saja. Tapi lahir dari sedimentasi fakta masa silam.
Sejarah mencatat, Gus Dur mempertebal pemikiran toleransi di Bojonegoro. Bung Karno dan Sultan Hamengkubuwono IX belajar kontemplasi di Bojonegoro. Pangeran Diponegoro ngalap inspirasi dari Bojonegoro. Bagaimana mungkin kota sepi yang konon tak berdinamika ini, justru menjadi tempat “penempaan” bagi tokoh-tokoh besar?
Bojonegoro Laboratorium Nusantara, adalah wacana penulisan esai bersama, yang digagas Jurnaba Institute. Agenda ini mengajak siapapun untuk menulis dan menceritakan Bojonegoro dari sudut pandang masing-masing. Menulis dan bercerita ihwal Bojonegoro dalam bermacam kearifan lokalnya.
Bojonegoro, diakui atau tidak, adalah laboratorium-penempaan-hidup. Tempat yang secara alami mengajak siapapun untuk mengakrabi Filsafat Stoikisme —sikap tangguh menghadapi kegagalan secara elegan — dan tempat yang memaksa siapapun untuk bergaya hidup ultra-slowliving secara natural.
Bojonegoro Laboratorium Nusantara, dibuktikan melalui banyaknya tradisi menarik di sudut-sudut wilayahnya. Mulai kearifan budaya maritim-sungai Bengawan, hingga kebijaksanaan tradisi agraris-pegunungan Kendeng. Kearifan itu ada di Bojonegoro. Dan semuanya, adalah ayat-ayat “pustaka” yang menarik untuk dibaca dan diceritakan.
Selain menulis arifnya keunikan lokal Bojonegoro, para penulis juga boleh menulis cerita tentang hal-hal sederhana yang memiliki ikatan emosi dengan Bojonegoro. Menulis tentang nostalgia masa kecil, romantisme masa remaja, dinamika tumbuh menjadi dewasa, atau sekadar pandangan-pandangan futuristik untuk masa depan Bojonegoro.
Mengenal Bhinasrantalokapalaka
Pada 28 Agustus 1264 M, Raja Wisnuwardhana mengeluarkan Prasasti Maribong. Isinya berupa anugerah kepada Desa Maribong (Merbong, Ngraho, Bojonegoro) sebagai tanah perdikan (bebas pajak) istimewa.
Hadiah itu sebagai wujud terimakasih Raja Wisnuwardhana kepada para “Begawan” Jipang (Bojonegoro), yang telah membantu kakeknya dalam menyatukan Jawa (Panjalu dan Jenggala), hingga akhirnya Kerajaan Singhasari bisa didirikan.
Pada baris ke-5 Prasasti Maribong, terdapat kalimat berbunyi: “swapitamahastawana bhinnasrantalokapalaka (kakeknya yang telah menenteramkan dan mempersatukan dunia).

Para Sejarawan seperti JL Moens, Damais, dan Marwati Djoened mengatakan, yang dimaksud dengan “kakeknya yang telah menenteramkan dan mempersatukan dunia” dalam prasasti itu, adalah Ken Anggrok, figur pendiri Kerajaan Singhasari yang dikenal pernah menyatukan Pulau Jawa.
Bhinasrantalokapalaka adalah kaidah penyatuan Nusantara. Selain ditancapkan sebagai identitas endemik Bojonegoro, istilah ini juga menggambarkan posisi geografis Bojonegoro. Letak geografis yang wasathiyah (moderat). Menengahi peradaban Pesisir dan Pegunungan (Pedalaman Jawa).
Tepat di seberang Maribong (Bojonegoro Jawa Timur), adalah Lwaram (Blora Jawa Tengah), sebuah tempat yang, menurut Prasasti Pucangan (1041 M), adalah lokasi di mana Raja Erlangga menemukan pusaka Amrtasanjiwani, sebuah pusaka yang mampu mengakhiri maha pralaya (bencana kosmik) Pulau Jawa.
Lokasi Lwaram hanya sepelemparan batu dari Maribong. Keduanya hanya terpisah kanal sungai Bengawan. Fakta ini, menjadi bukti sahih betapa Bojonegoro, memang memiliki makna “penyatuan” yang amat penting bagi Nusantara, khususnya bagi Raja Erlangga maupun Wisnuwardhana.
Pada pertengahan abad 14 M, Syekh Jumadil Kubro datang ke lokasi yang sama dalam rangka memperkenalkan ajaran Islam. Di tempat itu, ia menancapkan Tongkat Baldhatun Toyyibah, sembari membangun pondasi penyebaran Islam toleran, tanpa pertempuran darah.
Syekh Jumadil Kubro tentu menggunakan kaidah “Bhinasrantalokapalaka” dalam berdakwah. Ia membawa misi penyatuan dan berposisi wasathiyah. Berada di tengah-tengah. Membangun poros yang mengakomodir Budaya Jawa dan Sufisme Persia.
Pondasi Islam toleran disemai Syekh Jumadil Kubro di tempat tersebut, kelak dilanjutkan Sunan Ngudung pada masa berikutnya. Bahkan diawetkan dan dipopulerkan Gus Dur di kemudian hari. Fakta ini, sekali lagi, menjadi bukti sahih betapa Bojonegoro, memang memiliki makna “penyatuan” yang amat penting bagi Nusantara.

Bhinasrantalokapalaka menunjukan Bojonegoro sebagai tanah peredam gejolak. Bumi yang punya kontribusi besar bagi stabilitas Nusantara. Ia menjadi ruang pustaka dan kawah candradimuka, bagi siapapun yang ingin belajar menjadi dewasa. Ini alasan para pemimpin besar, pernah mengalami penempaan di Bojonegoro.
Spirit Bhinasrantalokapalaka
Melalui spirit Bhinasrantalokapalaka, Jurnaba Institute mengajak kawan-kawan semua — baik yang ada di Bojonegoro maupun di luar — untuk memunculkan kembali identitas endemik Bojonegoro sebagai kawah wasathiyah. Poros penengah peradaban yang identik titik penyatuan. Sebuah kaidah yang tertancap sejak 1264 M. Spirit dan identitas Bojonegoro ini, tentu harus dirawat dan dipelihara di tiap zaman. Diabadikan tulisan.
Undangan menulis bersama bertajuk “Bhinasrantalokapalaka: Bojonegoro Laboratorium Nusantara” digagas Jurnaba Institute ini, hanyalah upaya kecil mengawetkan ingatan tentang Bojonegoro. Siapapun boleh menulis cerita tentang Bojonegoro, melalui sudut pandang masing-masing.
Ajakan menulis bersama ini, adalah bagian dari pelestarian tradisi Bojonegoro. Sebab, Bojonegoro memiliki tradisi literasi yang amat kuat, sejak abad 19 M. Ajakan menulis Bojonegoro Laboratorium Nusantara ini, adalah upaya mensyukuri nikmat pernah ditakdir hidup di Bojonegoro.
Proses pengumpulan esai Bhinasrantalokapalaka: Bojonegoro Laboratorium Nusantara ini, dimulai sejak 11 Februari 2025. Dan akan ditutup pada 11 Juni 2025 nanti. Berapapun esai yang terkumpul, dengan segala hormat akan kami jadikan monumen berupa buku ber-ISBN. Ohya, untuk pertanyaan, komentar, usulan, atau naskah esai bisa langsung dikirim email [email protected]