Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Headline

Bojonegoro Urban: Kronik Perjuangan Santri, Pemuda, dan Pahlawan

Yogi Abdul Gofur by Yogi Abdul Gofur
22/10/2021
in Headline
Bojonegoro Urban: Kronik Perjuangan Santri, Pemuda, dan Pahlawan
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Santri, pemuda, dan pahlawan: triumviat yang pernah menjadikan Kota Bojonegoro sebagai kota perjuangan.

Kecamatan Bojonegoro atau Bojonegoro urban (kota) merupakan daerah yang memiliki karakter. Selain unsur huzun (kemuraman) di bangunan bergaya eropa, Bojonegoro kota juga menjadi saksi bisu berbagai peristiwa. Salah satu di antaranya berkaitan dengan santri, pemuda, dan pahlawan.

Jamak terdengar di telinga kawan-kawan, “Eh, sesok ayo ngota!”. Sebuah kalimat ajakan untuk pergi ke wilayah Kecamatan Bojonegoro atau Bojonegoro kota. Merujuk pada website Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, wilayah Kecamatan Bojonegoro terdiri dari 11 kelurahan dan 7 desa.

Yaitu kelurahan Jetak, Klangon, Sumbang, Kepatihan, Mojokampung, Kadipaten, Karangpacar, Ngrowo, Banjarejo, Ledok Wetan, Ledok Kulon, Desa Kauman, Sukorejo, Pacul, Campurejo, Mulyoagung, Kalirejo, dan Semanding.

Dari beberapa sumber sejarah, di Bojonegoro kota terlahir beberapa orang yang menjadi pahlawan dan juga memiliki kontribusi lebih kepada nusa, bangsa, dan agama. Baik dari kalangan santri maupun pemuda (secara umum).

Seperti Tio Oen Bik, “Sang Petarung Global” yang merupakan dokter dari Bojonegoro sekaligus tokoh pergerakan Tionghoa yang ikut terlibat Perang Sipil Spanyol (1936-1939). Selain itu, ada pelajar cum pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) seperti Suhartono (Ledok Wetan).

Saban orang ketika berada di wilayah Bojonegoro kota atau sedang “ngota” memiliki kesan tersendiri. Selain menjadi surga pecinta kopi, pusat ekonomi, titik kumpul plus aksi demonstrasi, dan tempat ngaji, Bojonegoro kota juga tempat menghelat pertemuan organisasi. Dan Bojonegoro kota adalah kota santri. Perlu diketahui, Nabs, bahwasanya menurut Gus Mus, santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah santri.

Menurut KBBI daring, ada dua makna ihwal santri. Pertama, orang yang mendalami agama Islam. Kedua, santri adalah orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang-orang saleh. Mengutip dari buku karya M. Habib Mustopo yang berjudul Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001), mengatakan bahwa secara harfiah (kata), santri berasal dari bahasa sansekerta “sastri” yang artinya melek huruf atau bisa membaca. Santri memiliki makna yang luas, dan benar apa kata Gus Mus bahwasanya santri bukan yang mondok saja.

Merujuk buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro (1988), tertulis bahwa pondok pesantren dalam pertumbuhannya sekarang ini (tahun 1959) dan seterusnya, memang jauh lebih berkembang dan lebih luas wawasannya. Ini dapat dilihat pada pondok pesantren dalam Kota Bojonegoro sendiri dan lain sebagainya.

Kalau pada masa lalu, pesantren hanya menggeluti kitab-kitab kuning, sekarang sudah banyak dilengkapi dengan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, penelitian, pengembangan masyarakat, pemecahan problem lingkungan hidup, komunikasi dengan dunia luar melalui media informasi, olahraga, kesenian, penerbitan, dan berbagai kegiatan santri.

Salah satu diantara beberapa pondok pesantren di area Bojonegoro kota yang masih dan akan terus melakukan syi’ar agama adalah Pondok Pesantren Al-Falah yang berada di Desa Pacul. Adanya lembaga pendidikan islam seperti pesantren di area Bojonegoro kota juga memberi pengaruh terhadap dinamika organisasi keagamaan. Salah satu diantaranya Nahdlatul Ulama (NU).

Dikutip dari buku NU Bojonegoro dalam Lintasan Sejarah (2008) karya Drs. H. Anas Yusuf, tokoh perintis NU di Kota Bojonegoro datang dari luar kota. Pada zaman kolonial Belanda, pengenalan tentang NU disebarkan oleh KH. Soleh Hasyim yang merupakan putra KH. Hasyim pendiri NU Padangan yang diambil menantu oleh Kiai Yahya (Kauman) yang juga menjabat sebagai imam khotib Bojonegoro.

Selain itu, ada KH. Balya yang merupakan putra Haji Umar Rais dari Sekaran (Balen), Haji Ma’shum dari Sumbertlaseh (Dander) yang juga menjabat sebagai ajun penghulu, Reksodikromo yang juga seorang ajun bank, dan M. Supeno yang juga merupakan pegawai kepenghuluan.

Pada zaman pendudukan Nipon/Jepang, perintisan diteruskan oleh KH. Abdul Karim dari Kranji (Gresik) yang juga merupakan seorang penghulu, KH. Soleh Hasyim yang menjabat sebagai imam khotib, dan Reksodikromo yang juga merupakan ajun bank (Anas, 2008).

Upaya pengenalan NU di Bojonegoro kota dilanjutkan oleh KH. A. Karim dan KH. A. Soleh Hasyim. Setelah kedua tokoh tersebut meninggal dunia, kegiatan dakwah diteruskan oleh Kiai Rachmat Zuber dari Pesantren Al-Falah Mangunsari (Tulungagung, Jawa Timur) yang diboyong ke Bojonegoro oleh residen untuk menjabat sebagai imam rawatib di Masjid Agung Bojonegoro dan merangkap sebagai kepala sekolah di Sekolah Putri Islam (SPI).

Kemudian, kepedulian Kiai Rachmat Zuber mencoba memperjuangkan berdirinya NU di Bojonegoro atas fatwa dari gurunya yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri (Jombang). Sejak menetap di Kauman (Bojonegoro kota) tahun 1952, Kiai Rachmat mencoba mengenalkan NU kepada kaum muslimin lewat pengajian-pengajian dan kemampuan dakwah yang handal. Selama hampir satu tahun, kegiatan tersebut ditekuni sampai ada berita keputusan Muktamar NU 1952 di Palembang, bahwasanya NU keluar dari Majelis Syura’ Muslimin Indonesia (Masyumi). Dimana hal tersebut menyebabkan NU berdiri menjadi partai politik yang independen.

Keputusan Muktamar NU di Palembang plus fatwa KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri membuat Kiai Rachmat meningkatkan usaha menghimpun potensi Bojonegoro untuk membentuk cabang NU, mengejar ketertinggalan dari cabang NU yang berada di Padangan dan Babat.

Dalam upaya tersebut, Kiai Rachmat membentuk forum para ulama yang bernama Front Ulama. Front tersebut beranggotakan kiai yang berada di Bojonegoro kota dan sekitrarnya. Seperti kiai dari desa Sukorejo, Kauman, Ledok Kulon, Ledok Wetan, Sranak, Guyangan, Ngumpakdalem, dan lain sebagainya.

Dalam perkembangan gerakan pendirian NU sebagai jam’iyyah di Bojonegoro kota dan sekitarnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Secara internal, pucuk pimpinan NU belum merasa pembukaan cabang-cabang baru di daerah-daerah merupakan hal yang mendesak. Hal tersebut dikarenakan masih adanya anggapan bahwasanya umat Islam masih berusaha menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan umat Islam.

Secara eksternal, NU kurang dikenal dalam perjuangannya. Wabilkhusus di kalangan kaum muslimin Bojonegoro secara luas karena belum adanya wadah formal organisasi NU sebagai alternatif pilihan selain Masyumi. NU sebagai jama’ah sudah ada, namun sebagai jam’iyyah belum ada.

Kemudian konferensi partai NU wilayah Jawa Timur pada bulan November tahun 1953 di Kediri, delegasi dari Bojonegoro yaitu Kiai Balya (Mojokampung), Kiai Rachmat Zuber (Kauman), dan M. Dimyati Lutfi (Kalitidu). Pada tahun tersebut, kepengurusan NU di Bojonegoro didominasi oleh orang-orang NU (nahdliyin) Bojonegoro kota.

Pada tahun 1954-1955, beberapa gangguan terhadap NU Bojonegoro begitu deras. Apalagi menjelang pemilihan umum (pemilu) 1955. Mengingat NU juga merupakan partai yang akan berkontestasi dengan parta-partai yang lain seperti Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Konfrontasi antara Masyumi dengan NU, membuat pengurus NU gigih mempertahankan eksistensinya. Wabilkhusus Front Ulama yang mempunyai andil cukup besar dalam dinamika internal dan eksternal NU Bojonegoro. Usaha tidak mengkhianati hasil, berkat usaha plus do’a, akhirnya pada bulan April 1954 terselenggara konferensi NU Bojonegoro. Rata-rata, 75% pengurus NU Bojonegoro (struktural) dari Tanfidziyah, Gerakan Pemuda Ansor, dan Muslimat NU, berasal dari Bojonegoro kota atau Kecamatan Bojonegoro. Dan yang 25%, berasal dari luar Bojonegoro kota, seperti Baureno, Dander, dan Kalitidu.

Dinamika politik di Bojonegoro pada tahun 1954-1955 begitu luar biasa. Dikutip dari Guide Arsip Pemilihan Umum 1955-1999 produksi Arsip Nasional RI (2015), Pada tahun 1955, DPC Masyumi Cabang Bojonegoro mengeluarkan resolusi ihwal isi dan makna pengumuman dari Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) bahwasanya WNI yang diluar negeri tidak turut serta menggunakan hak pilih dalam pemilu 29 Mei 1955. Selain itu, Pemuda Rakyat, Kesatuan Aksi Penuntutan Pembubaran PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) Madiun, Serikat Buruh Kempen (Kementerian Penerangan) Bojonegoro juga mengeluarkan resolusi mengenai protes terhadap adanya penurunan plakat dan spanduk di Madiun dan pelarangan demonstrasi dan rapat-rapat umum. Selain itu pada Oktober 1954, NU Cabang Surabaya juga mengeluarkan surat pernyataan tentang desakan kepada Kepala Daerah (KDH) untuk memberi keleluasaan kepada rakyat untuk membicarakan politik dan pemilu.

Pada tahun 1955, NU Bojonegoro mengadakan Konferensi Cabang (Konfercab) sebagai ajang silaturahim, menyusun kepengurusan, dan mempersiapkan diri menjelang kontestasi pemilu 1955. Pada tahun tersebut, kepengurusan (struktural) juga masih didominasi oleh warga NU (nahdliyin) Bojonegoro kota. Seperti Kiai Balya (Mojokampung) sebagai Rois Syuriah, M. Tamjis (Buyutdalem, Ngrowo) sebagai Katib, di Tanfidziyah dinahkodai oleh KH. Rachmat Zuber (Kauman), Gerakan Pemuda Ansor dinahkodai oleh Sholihin (Ledok Wetan), Muslimat NU dibawah komando Ny. Mustahillah Rachmat (Kauman), dan Ny. Muhtarom Yahya (Kauman) sebagai orang nomor satu di Fatayat NU Bojonegoro.

Sepak terjang Nahdliyin Bojonegoro kota, juga masih mentereng pada periode 1966/1967. Terlihat dari struktural pengurus cabang NU Bojonegoro. Ada Kiai Chadziq (Campurejo) sebagai Rois I dan Kiai Masruchin Maksum (Kauman) sebagai Rois II, di Tanfidziyah ada beberapa nahdliyin dari Sukorejo; Imam Yamin (Waka II), Ahmad Wibisono (Penulis I), Achmad Effendi (Koordinator Keuangan), dan lain sebagainya.

Di Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Pertanu) ada Ghozali A.A (Ledok Kulon), Abd. Ghofur (Kepatihan), Mudhofar (Kauman), Moh. Yakin (Klangon), dan lain sebagainya. Bidang Mabarot, ada Tamjiz (Buyutdalem). Kemudian di Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) dipimpin oleh M. Amin P.M (Karangpacar), kemudian di Ma’arif dipimpin oleh H. Djufri (Kauman), Perpemi ada Imam Sanuhardi (Ledok Wetan) sebagai wakil ketua, A.A. Taufik (Ledok Wetan) sebagai nahkoda Gerakan Pemuda Ansor, Ny. Taufik (Ledok Wetan) sebagai ketua Muslimat NU, Ny. Djaelan Arifin (Kauman) sebagai ketua Fatayat NU, Jahja Amiry (Sukorejo) memimpin Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bojonegoro, Imam Fadoli dari Kadipaten sebagai Ketua I Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Bojonegoro, dan Sri Aisyah dari Kauman sebagai orang nomor satu di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Bojonegoro.

Itulah Nabs, ihwal Kecamatan Bojonegoro, daerah Bojonegoro urban (kota) yang menjadi saksi bisu perjuangan santri, pemuda, dan pahlawan.

Oh…, ya, Nabs, selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (1443 H), selamat memperingati Hari Santri Nasional (HSN), selamat menyongsong Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 November), dan hari-hari indah bersamanya lainnya.

Oh…,iya…, satu lagi, sugeng ambal warsa yang ke-344 untuk kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini!

Tags: Hari SantriSantri Bojonegoro

BERITA MENARIK LAINNYA

Politik Hukum Kebangkitan Nasional
Headline

Politik Hukum Kebangkitan Nasional

21/05/2022
Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali
Headline

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari
Headline

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022

REKOMENDASI

Politik Hukum Kebangkitan Nasional

Politik Hukum Kebangkitan Nasional

21/05/2022
Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

Semangat Al-Birru: Pelajaran Kesepuluh dari Kiai Ahmad Dahlan

20/05/2022
Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

Kisah Para Penggerak Dunia Pendidikan dari Bumi Wali

19/05/2022
Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

Milad Aisyiyah dan Semangat al-‘Ashr

18/05/2022
Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

Hiperrealitas Norma dalam Film KKN Desa Penari

17/05/2022
Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

Stop! Perempuan Bukan Objek Kekerasan

16/05/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved