Jombang identik kota santri. Tapi, di dalam Kota Jombang pula, terdapat pusat Jemaat Kristen Jawi yang ratusan tahun berada di sana. Ini menunjukan betapa harmonisnya kota tersebut.
Bicara mengenai Jombang tentu yang terlintas dibenak kita adalah ribuan pondok pesantren yang seolah-olah memagari sekaligus menabalkan kota kelahiran Gus Dur itu sebagai Kota Santri.
Mulai dari Pondok Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren Darul Ulum, Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Pondok Pesantren Bahrul Ulum dan ratusan pondok pesantren kecil lainnya yang tak terhitung jumlahnya.
Namun, siapa sangka dibalik ribuan pondok pesantren itu, berdiri kokoh sebuah pedukuhan yang telah bertahan sebagai magnet bagi perkembangan kekristenan sejak masa kolonialisme Belanda.
Bagi penikmat religi Kristen-Jawa, tentu tak asing dengan nama Mojowarno. Mojowarno merupakan pusat awal mula berdirinya Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan.
Di Mojowarno sendiri, simbol perkembangan agama Kristen dapat dilihat dari Rumah Sakit Kristen Mojowarno (Modjowarno Zendeling Ziekenhuis) serta Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno yang digadang-gadang sebagai gereja tertua di Jawa Timur.
Walaupun memang Mojowarno telah tersohor sebagai pusat perkembangan Kristen sejak masa kolonial. Namun, kebanyakan para penikmat religi Kristen-Jawa belum banyak yang mengetahui bahwa kurang lebih tiga kilometer barat dari Desa Mojowarno terdapat sebuah pedukuhan yang dicap sebagai perkampungan Kristen dan telah bertahan semenjak zaman kolonialisme Belanda.
Bukti bahwa Dukuh Bongsorejo sebagai perkampungan kristen tua dapat dilihat dari banyaknya rumah-rumah penduduk bergaya kolonial klasik. Adapula sebuah bangunan bekas Sekolah Rakyat (SR) yang masih berdiri kokoh disana.
Tak lupa juga, terdapat sebuah gereja klasik, yakni Gereja Kristen Jawi Wetan Bongsorejo yang dibangun pada tahun 1898, atau 122 tahun yang lalu.
Jika di Mojowarno, perkembangan agama Kristen dibarengi dengan pesatnya pengaruh agama Islam yang penduduknya sengaja dibawa oleh Ditrutuno dari pegunungan Kendeng, Lamongan.
Tapi yang berbeda di Padukuhan Bongsorejo ini, hanya ada satu agama yang dianut oleh masyarakat di kampung ini yakni agama Kristen.
Sebuah keunikan tersendiri dibalik pameo yang mengatakan Jombang merupakan pusat pondok pesantren di Jawa. Masyarakat di Dusun Bongsorejo sangat menjunjung tinggi yang namanya toleransi.
Hal ini terlihat ketika penulis bertamu kepada rumah teman penulis yang beragama berbeda dengan penulis.
Ia sangat ramah kepada penulis.
Selayaknya masyarakat Islam yang menyambut tamu dengan suka cita, maka penulis pun jua di sambut dengan suka cita seperti sedang kedatangan seorang tamu negara.
Ia menyuguhkan beberapa makanan desa yang sesuai dengan selera penulis.
Lain halnya ketika perayaan natal di padukuhan Bongsorejo ini, masyarakat Islam yang tergabung dalam ormas “Barisan Ansor Serbaguna” membantu keamanan dari masyarakat Dukuh Bongsorejo untuk melakukan misa natal.
Bahkan ketika natal berlangsung, banyak dari masyarakat Islam yang datang ke Bongsorejo untuk mencicipi sajian khas natal didesa kristen ini.
Jika salahsatu artikel berbahasa Belanda menyebut Bongsorejo dengan “Bongsoredjo Christen Gemeente” atau “Kota Kristen Bongsorejo”.
Maka penulis sengaja menyebutkan padukuhan ini sebagai “Kota Kristen di Kota Santri”.
Hal ini dilakukan untuk menyebut keunikan tersendiri di Dusun Bongsorejo yang masyarakatnya hampir seratus persen menganut agama Kristen di kabupaten yang dilabeli “Kota Santri” oleh masyarakat seluruh pelosok negeri.
Melalui ulasan tersebut, menyampaikan kepada kita sebuah makna tersurat bahwa memang seyogyanya kita harus hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragama berbeda dengan kita.
Tak terkecuali di Kabupaten Jombang yang dilabeli sebagai Kota Santri justru terdapat Kota Kristen yang telah berdiri sejak zaman kolonialisme Belanda.
Dimas Bagus Aditya, Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga.