Menjelang musim tanam padi di beberapa kawasan pertanian, di sepanjang bantaran bengawan solo Kota B, kaum tani biasanya menjalani ritual bubak bumi. Satu diantara budaya yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat agraris, yang melingkup erat dengan dunia pertanian di sepanjang musim. Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya kita menyoal dahulu istilah kaum tani dalam konteks ini.
Antara kaum tani dan petani, adalah dua istilah semakna tetapi mempunyai implikasi yang berbeda. Menyebut petani kadang problematis, karena seakan masyarakat tani hanya terdiri dari satu kelas yang homogen. Padahal kenyataannya, ada diferensiasi kelas di dalamnya, ada petani bertanah luas, bertanah sedang, bertanah sempit (gurem), hingga tak bertanah.
Sehingga kami menyebutnya kaum tani, meminjam istilah yang dipakai (Habib) DN. Aidit dalam buku risetnya, Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa.
Kembali pada soal budaya.
Dalam kesehariaan mereka bergulat dengan tanah, untuk menyiapkan lahan, menanam, merawatnya, hingga menuai hasilnya. Dirasa perlu dibarengi dan diimbangi dengan ritual-ritual doa, demi menunjang semangat bekerja dan menumbuhkan keyakinan jiwa akan dunia pertaniannya. Kondisi demikianlah akhirnya melahirkan tradisi bubak bumi, wiwit menjelang panen, dan sedekah bumi (nyadran) pasca panen. Kemudian kami menyebutnya sebagai Budaya Kaum Tani.
Pertama, ‘bubak bumi’. Secara harfiah, mem-bubak bumi artinya membuka atau menyiapkan lahan. Tradisi ini dilakukan menjelang musim tanam tiba, biasanya kaum tani di setiap kawasan menyepakati waktunya secara kolektif, seperti di Desa K dilangsungkan pada hari Jumat Pahing. Teknisnya, mereka membentuk kelompok kecil, lalu bergantian mendatangi tiap rumah untuk berdoa lalu membagikan nasi, lauk, dan apem yang disediakan. Sebagaimana yang berlangsung pada Jumat lalu.
Kedua, ‘wiwit’. Secara harfiah bermakna mulai, memulai atau mengawali (miwiti), yaitu sebuah tradisi yang dilaksanakan sewaktu akan ‘memulai’ panen padi. Teknisnya bisa bermacam-macam di tiap kawasan, di Desa K pelaksanaan wiwit diawali oleh pengurus areal (irigasi) di tiap dusun dan mengundang kaum tani secara kolektif, acaranya doa dan istighosah bersama, makan, dan pulang membawa berkat. Selanjutnya, wiwit diadakan bergantian di rumah masing-masing setiap mau panen besok atau lusa.
Ketiga, ‘nyadran’ atau sekedah bumi, merupakan tradisi syukuran setelah menuai hasil panen. Di Desa K tradisi ini dilangsungkan pada hari tertentu secara kolektif, yakni pada Rabu Kliwon. Pelaksanaannnya di tiap dusun, berziarah bersama ke makam sesepuh -ada makam Mbah Mustopo (Musthofa) di dusun setempat- sehabis magrib, lalu biasanya dibarengi dengan acara pengajian.
Ketiganya merupakan wujud dari ragam budaya kaum tani, yang mewarnai dalam setiap tahapan dunia pertanian. Bila ditelaah dengan kacamata dialektika, budaya tersebut tumbuh dan berkembang berdasarkan bentuk ekonomi masyarakat.
Seperti halnya di atas, bentuk ekonomi yang berbasis pertanian, kemudian melahirkan budaya yang khas masyarakat agraris, berupa tradisi bubak bumi, wiwit, dan nyadran atau sedekah bumi.
Sepanjang masyarakat masih bertani, maka bisa dipastikan budaya tersebut akan terus dilestarikan.
Hingga hari ini, bagaimana ragam budaya dibalut dengan ritual keagamaan (Islam). Di samping itu, budaya-religius ini juga akan semakin meneguhkan ide kaum tani untuk senantiasa meneruskan dan mengembangkan dunia taninya. Jika masyarakat beralih menjadi pekerja upahan di pabrik misalnya, maka hampir bisa dipastikan budaya kaum tani perlahan mulai akan ditinggalkan, begitulah hukum dialektika berlangsung.
Agar budaya kaum tani tidak menjadi rutinitas belaka dan tidak kehilangan makna, maka kita perlu merenungkan kembali esensi dari setiap tradisi dijalankan. Seperti tradisi bubak bumi, justru menjadi momentum untuk mulai memikirkan bagaimana menyiapkan lahan dengan cara yang ramah lingkungan. Misalnya, dengan mengolah jerami dan rerumputan menjadi kompos, daripada membakarnya.
Dalam tradisi wiwit, menjadi momentum untuk memikirkan bagaimana penenan gabah ini bisa dikelola secara mandiri oleh kaum tani, dan berharap hasilnya akan lebih memuaskan daripada langsung dijual kepada tengkulak. Dalam tradisi nyadran, adalah momentum bersyukur dan tahadduts bi al-ni’mat, sekaligus berpikir maju akan kemaslahatan kaum tani. Misalnya, soal pupuk subsidi yang kian hari kian sedikit didapat, maka solusinya bisa membuat pupuk organik secara mandiri, agar lepas dari ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal.
Sekian refleksi ini, adalah pembacaan terhadap budaya kaum tani dari kacamata dialektika, dengan memakai perspektif lingkungan (ekologi) dan ekonomi yang maslahah. Tentunya begitu mudah dibayangkan dan tidak gampang untuk dilakukan, tetapi semakin relevan untuk dimanifestasikan.