Di salah satu sudut area terbuka pada hari bebas kendaraan, sejumlah pemuda duduk bersila sembari menggelar lapak baca gratis. Bersama komunitas literasi lainnya, mereka memajang puluhan majalah. Bukan sembarang majalah, para pemuda yang tergabung dalam kelompok Cah-cah Kolektif tersebut memejang Zine.
Cah-cah Kolektif merupakan sekumpulan pemuda progresif yang sering mengadakan pagelaran musik Punk maupun Hardcore. Genre musik tersebut memang tak banyak diminati oleh sebagian besar masyarakat Bojonegoro. Namun siapa sangka, skena musik bawah tanah atau Underground di Bojonegoro bisa terus berkembang lewat tangan dingin mereka.
Tak hanya aktif di skena musik, Cah-cah Kolektif juga punya andil dalam membangun budaya literasi di Bojonegoro. Cara mereka pun cukup sederhana, yakni membuat Zine atau bentuk lain dari sebuah majalah. Zine yang mereka buat pun diberi nama Klandesteen. Menurut salah satu anggota Cah-Cah Kolektif, Bhagas Dani Purwoko, Klandesteen memiliki arti gerilya.
“Klandesteen merupakan plesetan dari klandestin yang mempunyai arti gerilya. Semangat gerilya itu yang kami terapkan dalam pembuatan zine ini. Klandesteen ini juga berfungsi sebagai alat propaganda untuk menunjukkan eksistensi skena kami ke khalayak,” ujar Bhagas Dani.
Proses pembuatan Klandesteein Zine sendiri berlangsung cukup lama. Dibutuhkan waktu hingga tiga bulan untuk merampungkan proyek tersebut. Beberapa orang menyumbang tulisan dan juga art work. Hingga akhirnya, pada awal Desember 2016, edisi pertama dari Klandesteen Zine rilis.
Salah satu topik utama dari edisi pertama Klandesteen adalah opini Bhagas Dani mengenai stigma skena Underground masa kini. Sebagai orang yang terlibat aktif di skena musik Underground Bojonegoro, Bhagas merasa bahwa musik Punk dan Hardcore masih dicap buruk oleh sebagian besar masyarakat. Kegelisahan pemuda kelahiran 1992 itu pun dituangkan dalam bentuk tulisan yang ada pada Klandesteen Zine.
“Stigma buruk itu memang tak bisa dilepaskan. Orang-orang awam masih memandang penampilan luar yang terlihat bengis dan brutal. Padahal, banyak energi positif yang bisa kita dapatkan dari skena Underground ini,” tambah Bhagas Dani.
Untuk makin mengenalkan Klandesteen, Cah-cah kolektif juga sering membuat lapak baca di acara musik Underground atau biasa disebut dengan gigs. Tak jarang mereka bertemu dengan pembuat zine lain dan kemudian bertukar pikiran mengenai budaya literasi pada skena musik Underground.
Budaya zine sendiri sudah lama tercipta di kalangan musik underground dunia. Tujuan dibuatnya zine juga cukup sederhana, yakni mengenalkan skena musik mereka ke khalayak yang lebih luas. Oleh karena itu, bentuk dari zine cukup sederhana dan mudah dibawa kemana-mana.
Bhagas Dani menambahkan jika Cah-cah Kolektif ingin membangun budaya positif di tengah cibiran masyarakat awam. Lewat Klandesteen, alumnus Universitas Negeri Malang tersebut ingin menunjukkan bahwa skena Underground juga bisa beropini lewat tulisan.
Zine dan musik Underground memang sangat lekat satu sama lain. Dalam skena musik bawah tanah, keberadaan zine memang terbilang lumrah. Zine dijadikan sebagai salah satu bentuk perlawanan mereka. Melalui tulisan-tulisan kritis, mereka juga ingin mengungkapkan opini dan juga pendapatnya secara bebas.
Comments 3