Kamu adalah apa yang kamu makan, yang kamu ucapkan, dan yang kamu baca (Budi Darma).
Horison menurut kamus bahasa Indonesia merupakan kata tidak baku. Kata baku yang benar adalah horizon. Horizon berarti kaki langit, cakrawala. Cakrawala sendiri memiliki arti, salah satunya, batas pemandangan dan jangkauan pandangan.
Pergi ke pantai adalah cara untuk menginsafi horizon. Di ujung pandangan mata saat di pantai, kita dapat menyaksikan langit yang mengangkasa dan permukaan bumi berselimut samudera dapat bertaut.
Maka, horison dalam judul tulisan ini, bukan dalam pengertian kata horizon. Horison merupakan nama salah satu majalah. Majalah Horison adalah majalah sastra beken yang pernah diterbitkan di tanah air. Saat ini, aku tidak tahu, apakah majalah ini masih terbit atau tidak. Entah dalam bentuk cetak maupun digital.
Aku memiliki 4 edisi Majalah Horison terbitan tahun 2008. Empat edisi ini kubeli karena membahasa beberapa tokoh populer: Hamka, Taufiq Ismail, dan yang paling memikatku adalah salah satu edisi yang memuat puisi-puisi karangan Mohammad Hatta. Hatta, acapkali dianggap sosok yang serius, dan sebagaimana ejekan Sjahrir: Hatta ini tidak ada tampang suka sastra.
Pagi tadi, tidak sengaja, aku mengambil empat edisi Majalah Horison di lemariku. Awalnya hanya berniat merapikan, akhirnya membaca sekilas. Di antara yang kubaca, sekilas, itu ada tulisan Budi Darma mengupas tentang puisi-puisi Taufiq Ismail. Budi Darma, beberapa hari lalu, telah berpulang.
Aku tertarik pada paragraf pembuka tulisan Budi Darma: Kamu adalah apa yang kamu makan, yang kamu ucapkan, dan yang kamu baca. Kualitas seseorang dapat tercermin dari makanan, ucapan, dan bacaan menjadi tiga kriteria untuk menilai kualitas seseorang.
Makanan adalah tentang bagaimana mengendalikan perut dan kesehatan. Ucapan adalah penjagaan lidah berkaitan dengan pilihan-pilihan kata yang layak dan tidak layak disampaikan. Bacaan adalah nutrisi untuk meremajakan dan menyehatkan pikiran. Sehat badan, sehat ucapan, dan sehat pikiran.
Ferdinand de Saussure memperkenalkan dua istilah: Recto dan verso. Jika recto bermakna pikiran, verso bermakna suara/kata. Recto dan verso saling membutuhkan, tidak bisa slaing meniadakan. Keberadaan keduanya sangat berkaitkelindan. Tidak bisa satu aspek, tanpa aspek satunya.
Pikiran adalah substansi dari akal budi manusia. Pikiran menjadi simbol berpikir manusia dalam sintesis ide, gagasan, dan kesimpulan. Sementara suara/kata adalah upaya manusia untuk menjadikan substansi pikirannya dapat diketahui orang lain.
Pikiran tanpa suara atau kata adalah hening. Adalah pilu sembilu. Adalah energi yang mencari katup untuk menyalurkannya. Sebaliknya suara atau kata tanpa pikiran adalah kosong. Bunyi nyaring, tetapi hampa isinya. Adalah bualan tanpa renungan. Adalah kanal-kanal yang menyemburkan kegaduhan. Rectoverso mensyaratkan pikiran dan ucapan yang satu laku, satu langkah, dan satu derap.
Eksistensi Adam as beserta seluruh anak cucunya berkaitan dengan hal di atas. Ketika Tuhan menurunkannya ke bumi, Tuhan yang memberikan bekal pikiran kepada Adam as memampukannya untuk mengenal nama-nama benda. Pikiran menjadi cerah dengan nama-nama benda, sebaliknya nama-nama benda menjadi penting berkat pikiran.
Di Majalah Horison edisi khusus tentang Taufiq Ismail ada paragraf yang membuat penyair yang tamatan Kedokteran Hewan itu gundah. Kegundahan beliau dilandasi suatu fakta yang jomplang.
Generasi sebelum Indonesia merdeka atau generasi awal 1900an, kata beliau, adalah generasi yang menamatkan setidaknya 25 judul karya sastra yang kualitasnya setara dengan bacaan siswa-siswa SMA di Eropa dan Amerika. Ditambah lagi, generasi tersebut menguasai bacaan dalam empat bahasa. Kondisi yang berbanding tidak lurus dengan sekarang.
Sastra tidaklah sementereng sains, teknik, kedokteran, ekonomi, juga akuntansi. Setidaknya jika berbicara terkait dengan potensi materi. Sastra seolah-olah berada di kotak bernama idealisme, sementara lainnya berada di kotak realisme. Berjarak. Padahal menurutku, sastra bersamaan dengan sejarah, logika, ekologi, dan bahasa adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siapa saja dengan profesi apa pun.
Sastra adalah bentuk khusus dari membaca. Inti pokonya adalah membaca. Membaca sastra membantu untuk memberi nutrisi pikiran, merapikan ide dan gagasan, menata kata-kata, dan menggemburkan emosi. Sederhananya, sastra adalah salah satu sumber nutrisi pikiran dan ucapan yang penting bagi eksistensi manusia.
Membaca sastra, merujuk penjelasan kepada Budi Darma di atas, adalah salah satu upaya meningkatkan kualitas pikiran dan ucapan manusia.