Beberapa hari lalu, dunia maya digemparkan sebuah ide kreatif tentang penggunaan daun pisang sebagai bungkus kemasan. Tujuannya, untuk mengurangi penggunaan plastik.
Yang mengherankan, dampak di dunia maya teramat besar. Segala puja-puji terkucur dari giat tersebut. Padahal nih, sebenarnya, penggunaan daun pisang sudah biasa dilakukan di Bojonegoro. Hmm
Jadi gini, di Thailand, terdapat sebuah supermarket bernama Rimping Supermarket. Supermarket tersebut, menggunakan daun pisang sebagai ganti plastik. Hampir semua produk, dibungkus daun pisang.
https://www.facebook.com/perfecthomes/posts/2334207516824330
Netizen dari berbagai sudut bumi, tak terkecuali dari Indonesia, berbondong-bondong memberikan pujian. Saya sih, ngerasa aneh saja, Nabs. Bukan apa-apa, bukan apa-apa.
Penggunaan daun pisang sebagai bungkus pengganti plastik, tentu perihal revolusioner dan patut didukung. Terlebih, hingga hari ini, insan manusia masih dihadapkan pertempuran melawan bungkus plastik.
Tapi, yang membikin hati saya agak miris adalah, kenapa viralitas penggunaan daun pisang baru terjadi ketika ada kejadian di Thailand? Woy!
Di Indonesia, terlebih Bojonegoro, daun pisang sudah biasa digunakan sebagai bungkus apa saja. Mulai dari makanan, minuman, hingga produk-produk yang dijual di pasar daerah. Bahkan, ada satu daerah di salah satu kecamatan di Bojonegoro, yang identik sebagai penghasil daun pisang.
Atau, cobalah kamu main-main ke pasar daerah. Baik di kawasan kecamatan atau kota. Coba kamu beli kunyit, lengkuas atau kunci, pasti dibungkus daun pisang.
Nabs, coba kamu beli nasi pecel di daerah-daerah di Bojonegoro. Jangankan daun pisang, daun kayu jati — yang bagi sebagian orang cukup sulit dicari itu — pun biasa kok digunakan sebagai bungkus pengganti plastik.
Tapi, seperti tak ada sedikitpun perasaan bangga di sana. Apa kebanggaan harus dimulai dan dipicu dan diingatkan dan di-ngngng kan dari luar negeri? Hmm
Nabs, pasca viral penggunaan daun pisang sebagai bungkus produk, banyak yang mulai memperhatikan daun pisang. Padahal, kita tahu, Indonesia dekat dengan pisang. Pohon pisang, hampir di tiap daerah, bisa tumbuh.
Dari dulu, bahkan, kita sudah menggunakan daun pisang sebagai bungkus. Begitu juga dengan daun jati. Andai saja viralitas penggunaan daun pisang itu timbul dari Indonesia, betapa bangganya eyang-eyang kita dulu.
Namun memang, harus diakui, media sosial belum mampu membikin kita menampakkan perihal-perihal baik dari kultur daerah. Dan kita, masih lebih senang memviralkan perkara-perkara buruk saja.
Tapi, Nabs, lagi-lagi ini bukan sekadar siapa dulu yang eksekusi untuk mengawali. Kabar baik akan tetap menjadi kabar baik, dari mana pun asalnya.
Langkah yang dilakukan Rimping Supermarket ini. Menyadarkan kita akan peran sumber daya yang tersedia. Tidak usah repot-repot mengolah barang untuk memerangi plastik. Dengan bahan alami, peran plastik bisa terganti.
Ini bukan berarti melarang suatu pihak untuk berkarya lho, Nabs. Kalau ada yang praktis, ngapain juga ambil yang repot. Bahkan, alam pun telah menyediakan senjata untuk memerangi plastik buatan manusia. Hee
Sampai kini, di Bojonegoro, penggunaan bungkus daun pisang masih ramai digencarkan. Mulai dari bugkus jajanan hingga bungkus bumbu dapur. Belum lagi mereka yang menggunakan daun pisang sebagai pengganti piring untuk sajian makanan.
Dalam hal untung pasti ada rugi. Seperti konsep keseimbangan. Namun siapa yang rugi dalam hal ini, Nabs? Pohon pisang? tentu tidak, karena pohon pisang sudah menjalankan perannya dalam dunia.
Daripada dia dibiarkan tumbang karena tertiup angin. Bukankah lebih baik digunakan untuk kemaslahatan bersama. Digunakan untuk bungkus segala. Tidak hanya membungkus produk, tapi juga membungkus perasaan sepimu.
Eh, Nabs, kira-kira pocong marah nggak ya, kalau daun pisang mulai digencarkan sebagai pengganti plastik? Mengingat, waktu kecil dulu, kebun pisang identik tempat tinggal kesukaan pocong. Kasihan juga pocong kalau mengalalmi penggusuran tempat tinggal.
Tak apalah, Cong! toh dalam dimensi kalian, tempat tinggal tidak mahal harganya. Nggak seperti dimensi kami yang rentan penggusuran. Eh