Bojonegoro yang konon adem ayem plus lumbung pangan dan energi, ternyata melahirkan beberapa manusia yang memiliki kontribusi lebih terhadap lingkungan. Merekalah pahlawan yang sesungguhnya atau the real heroes.
Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Bojonegoro menghelat diskusi santai ihwal Hari Pahlawan yang berbanding lurus dengan semangat pembebasan dari lembar sejarah Bojonegoro.
Diskusi yang dihelat pada Minggu (07/11) berlangsung dengan gayeng. Dihelat di sekitar Jembatan Sosrodilogo yang dekat dengan area bantaran sungai Bengawan Solo.
Diskusi yang dimulai setelah azan asar berkumandang, membahas ihwal berbagai persoalan. Namun tidak lepas dari tema besar tentang pahlawan.
Abdul Wahid Syaiful Huda atau yang akrab disapa “AW” yang merupakan pegiat Kampus Terbuka cum direktur Bojonegoro Institute (BI) berbicara mengenai proses pergeseran makna pahlawan, dimana pahlawan bukan hanya dari unsur militer saja. Semua orang yang berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, itu juga pahlawan.
Pahlawan berasal dari berbagai kalangan. Ada jurnalis, pelajar, guru, dokter, pemuka agama, dan lain sebagainya. Bung AW juga menceritakan betapa progresifnya founding parents Indonesia wabilkhusus di Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Pendiri bangsa Indonesia, sudah visioner. Mencoba mengikis provinsialisme, feodalisme, dan fanatisme berlebih terhadap golongan. Pendiri bangsa atau founding parents yang menyepakati konsep “Republik” telah berpikir melampaui zaman.
Bung AW juga menyampaikan bahwa di BPUPK juga ada peran perempuan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Direktur Bojonegoro Institute (BI) itu, juga memberikan gambaran, perlunya bergerak di ranah polis. Contoh sederhana ketika ada musyawarah desa, seyogianya berperan aktif dalam hal mendengar dan menyampaikan gagasan yang kritis dan konstruktif terhadap fenomena alam maupun sosial yang terjadi di sekitar.
Selain itu, pria berambut gondrong yang mirip dengan pemeran Mad Dog dalam film The Raid ‘Yayan Ruhian’ itu juga bercerita mengenai Bojonegoro tempo dulu. Dimana Bojonegoro pernah terbagi menjadi tiga daerah besar yaitu Pajang, Mojoranu, dan Baureno. Dan menjelaskan mengenai peran serta perjuangan pahlawan dari tanah Bojonegoro seperti Sosrodilogo.
Selain itu juga, Bung AW juga menyampaikan bahwa orang-orang hebat tidak lahir dari iklim yang biasa-biasa saja. Salah satu di antaranya mengalami pergolakan pemikiran wabilkhusus idealisme, “Orang yang idealis, akan tercabik-cabik dengan idealismenya sendiri.”
Bung AW juga menekankan untuk berani berpikir kritis dan menyuarakan dengan berbagai cara tentang kondisi lingkungan alam sekitar wabilkhusus di kabupaten yang konon adem ayem cum lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro. Pegiat Kampus Terbuka itu, juga mengungkapkan bahwasanya kondisi di lingkungan sekitar ada kaitannya dengan kondisi global (dunia).
Sementara itu, Ahmad Wahyu Rizkiawan yang merupakan penulis cum pegiat di Jurnaba Institute, mengutarakan gagasan ihwal geneaologi atau sanad keilmuan Islam progresif.
Dimana Wali Songo, Pangeran Diponegoro, Sosrodiologo, Pasukan Malangnegoro, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, H. Samanhudi, dan Tirto Adi Soerjo, merupakan orang-orang Islam yang progresif pada masanya. Pemikiran mereka bermanfaat hingga sekarang.
Dan mereka berjuang untuk melawan kolonialisme. Selain itu, Ahmad Wahyu Rizkiawan juga memberikan deskripsi strategi pertempuran yang membuat pasukan Belanda kewalahan, dimana perang tersebut adalah Perang Jawa yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro. Dimana Perang Jawa pada saat itu juga mempengaruhi kondisi sosial dan politik rakyat Rajekwesi.
Selain itu juga, Bung Rizki menyebutkan beberapa tokoh yang lahir dari Bojonegoro yang memiliki kontribusi lebih terthadap nusa, bangsa, dan agama. Selain Tio Oen Bik, ada Kiai Haji Zubair Umar Jailani yang merupakan ahli ilmu falakh, Mbah Cholil (Baureno) yang merupakan pimpinan Laskar Hizbullah Bojonegoro, Mansour Fakih dengan berbagai karya dan pergerakan di bidang ilmu sosial, dan lain sebagainya.
Bung Rizki juga menyampaikan bahwa seyogianya Hari Kebangkitan Nasional bukan 20 Mei. Melainkan 16 Oktober. Karena 20 Mei yang diperingati hingga sekarang, merupakan tahun berdirinya Budi Utomo (20 Mei 1908), dimana organisasi tersebut didirikan karena ada dinamika secara internal maupun eksternal di golongan priyayi Jawa pada waktu itu, kurang mewakili berbagai elemen masyarakat, dan terkesan elitis.
Sedangkan, 16 Oktober merupakan hari lahirnya Sarekat Islam (SI), yaitu 16 Oktober 1905 di Surakarta. Juga membawa semangat kebangsaan, diikuti oleh berbagai kalangan, dan memiliki tujuan untuk melawan kolonialisme.
Itulah Nabs, sedikit catatan ihwal bincang Hari Pahlawan yang dimoderatori oleh Retno (pegiat FNKSDA Bojonegoro). Ada beberapa catatan penting yang lolos dari perburuan (pencatatan). Biarlah ilmu itu menguap di alam raya, agar air, pepohonan, dan mikroba yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata menjadi saksi diskusi gayeng yang dihelat hingga malam jatuh di Bojonegoro kota dan azan magrib menyapa.
Diskusi melingkar yang gayeng tersebut, diikuti oleh Widora, Doel, Rudin Hasyim, Lux, Iskandar, Jack, Nana, dan Ode. Menjelang diskusi berakhir, terjadi dialektika menarik ihwal antroposentrisme dan ekologisme, dan juga dosa-dosa kapitalisme.
Tidak ada kesimpulan. Karena saban kawan diskusi diberikan hak untuk menyimpulkan sendiri. Sampai jumpa di agenda FNKSDA Bojonegoro selanjutnya, lal salam. Daulat Hijau! Daulat Rakyat!