Cethik Geni bukan frasa biasa. Ia lahir karena tujuan yang teramat mulia: menyalakan api literasi di sudut kampung yang berada di Desa Kapuan Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Beberapa hari lalu, saya berkesempatan mengunjunginya.
Berkunjung ke Cethik Geni yang berada di Kota Cepu, saya tempuh menggunakan kendaraan roda dua. Kukendarai motor menerobos hujan dan supply energi musik melalui headset. Jarak tempuh kira-kira hampir 2 jam.
Cethik Geni berlokasi di Desa Kapuan, Kecamatan Cepu. Waah perjalanan antar provinsi nih, Nabs..wkk. Tapi tenang, tidak jauh kok. Sambil melihat kiri-kanan dipenuhi sawah, tak terasa kamu bakal ujug-ujug sudah sampai di provinsi lain. Hehe
Ohya, saya dapat tugas menemui seseorang yang luar biasa. Namanya Bu Rita. Ibu Rita ini adalah inisiator dari Cethik Geni. Dari informasi yang aku terima, Cethik Geni adalah komunitas literasi.
Dalam perjalanan, sempat terpikir jika Cethik Geni adalah komunitas literasi biasa yang muncul dan menjamur seperti halnya di Bojonegoro. Ternyata tidak. Cethik Geni teramat kompleks untuk sebuah komunitas literasi. Sebab konon, ada keterlibatan ibu-ibu dan anak-anak.
Ketika sampai di sana, saya disapa hangat dengan beberapa orang dari berbagai elemen. Mulai komunitas, karang taruna, sampai pegiat UMKM dari kawasan Cepu. Karena memang, waktu itu mereka sedang ada acara kumpul-kumpul.
Di situlah, untuk pertamakalinya, saya bertemu sosok Ibu Rita. Sosok ibu dibalik pergerakan Cethik Geni. Kepadanya, saya pun mulai bertanya tentang apa dan bagaimana asal usul Cethik Geni— sebuah nama yang unik.
Bu Rita bercerita, dulu, background pekerjaannya berhubungan dengan masyarakat. Terutama dalam hal pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dan sejak dulu dia punya keinginan untuk berkiprah dalam kemajuan masyarakat. Terlepas seberapapun besar kontribusinya.
“Dari situ, siap tidak siap saya harus menginisiasi gerakan (literasi) ini,” tuturnya.
Dan atas dasar itu pula, dia mantap ingin mengembangkan literasi di kawasan tempat tinggalnya tersebut. Dari ulasan tersebut, saya pun terpantik bertanya seperti apa Cethik Geni bergerak. Bagaimana bisa melibatkan ibu-ibu dan anak-anak sekaligus.
Bu Rita menceritakan banyak hal. Menurutnya, anak adalah pondasi. Dari umur 0 sampai 5 tahun, momen penting untuk anak. Anak akan merekam semuanya. Termasuk pendidikan dan penentuan ke jenjang berikutnya.
“Sebenarnya minat baca di Indonesia tidak rendah, Tapi karena akses bukunya yang mereka sulit dapat”, kata Bunda Rita
Pendampingan anak adalah yang utama. Dan pendampingan harus dilakukan dengan benar. Dan itu diperankan ibu. Sebab, ibu adalah patron bagi anak. Ketika seorang Ibu selalu membaca buku, maka anak akan ikut menconteknya. Mencontek dalam konteks baik lho, ya. Hehe
“Dari situlah kami memulai rancangan membuat taman baca. Yang didalamnya nanti melibatkan Ibu dari anak-anak yang ikut serta,” ungkap Bu Rita, “tidak hanya taman baca, kami juga sekaligus memperkenalkan budaya baik kepada mereka. Yaitu budaya membaca.” Imbuhnya.
Bu Rita sering berkomunikasi dengan budayawan. Tentang kebudayaan jawa. Kebudayaan Jawa baik untuk dilestarikan. Dan kenyataannya, kata dia, budaya di Indonesia sudah banyak bergeser. Termasuk budaya yang masuk ke anak-anak. Nah, antisipasi pergeseran itulah yang jadi landasan Bu Rita bergerak. Untuk mempertahankan budaya lokal, terutama Jawa.
Pada 1 Januari 2018 lalu, dia bersama sejumlah kawan mulai membuat Cethik Geni. Waktu itu, masih belum punya koleksi buku. Dia pun membuka donasi buku. Dari mulai mendaftarkan ke dinas-dinas terkait hingga Pustaka Bergerak Indonesia. Lalu membagi postingan dari kegiatan-kegiatan Cethik Geni ke mereka. Dari situlah, donasi buku mulai banyak diterima.
Taman baca dan rumah literasi Cethik Geni tidak bisa berjalan tanpa melibatkan Ibu. Karena Ibu adalah decision maker dalam pengaruh keluarga. Termasuk mempengaruhi anak-anak mereka. Cethik Geni harus approach ke Ibunya agar mendapatkan izin untuk membimbing anaknya.
“Dari pengalaman saya dulu di kemasyarakatan, ketika sebuah daerah perempuannya maju maka daerah itu juga akan ikut maju.” tegas Bu Rita.
Perempuan adalah pelaku utama. Jika ada kekurangan dalam keluarga, maka yang paling survive adalah sosok Ibu.
Ibu yang pintar dan berwawasan akan berpengaruh ke anaknya untuk lebih pintar dan berwawasan luas.
“Ibu adalah googlenya anak-anak. Jadi anak-anak carinya di Ibu bukan di Google.” Imbuhnya.
Tidak hanya anak-anak. Potensi Ibu-ibu pun digali. Termasuk mengajarkan membuat kerajinan, memasak, dan lain-lain. Cethik Geni merancang sistem bagaimana taman baca bisa mandiri berkat potensi dari ibu-ibu. Dengan menyisakan hasil profit untuk keberlanjutan taman baca.
“Ini alat sekaligus tempat bagaimana bisnis warga desa agar tetap terus berlanjut,” kata Bu Rita, “nantinya disini adalah gedung pamer kraf dan warungnya Ibu-ibu mendapatkan penghasilan untuk membiayai anak-anaknya.” Imbuhnya.
Bu Rita percaya, jika sistem itu berjalan, ekonomi akan terus berkembang dari tempat itu. Ada dan tidaknya donasi, tidak akan berpengaruh apapun karena memang Cethik Geni berusaha membuat sistem mandiri.
Walaupun tidak menutup kemungkinan, ada seorang dermawan yang ikut berkontribusi di Cethik Geni. Paling tidak dia sudah membuat sistem pemberdayaan ekonomi secara mandiri, dari Ibu-ibu yang mau berjuang.
Nabs, semua cerita dari Bu Rita membuatku takjub. Cerita tentang asal mula Cethik Geni dan bagaimana inovasi sistem yang mereka jalankan. Buat kamu yang ingin belajar ke sini, silahkan. Atau mungkin bisa berkontribusi. Mereka akan sangat menyambut dengan senang hati.