Dengan kekonyolan yang hampir sempurna, aku memberanikan diri maju ke panggung untuk menemui Mbak Najwa, dan memberinya sebuah bendera.
Tepat pada pembukaan Agustus, sesampainya di kos, aku singkirkan lagi diriku di warung-warung kopi berikutnya. Sekeluarnya dari kos, aku baru menyadari jika tas yang aku bawa, bukan tas yang biasanya aku bawa.
Tentu ada yang kurang. Sebab, tak ada bendera sang saka dwi-warna di dalamnya. Sesaat mengetahui itu, aku bergegas mencari lapak penjual bendera di pinggir jalan sejumpanya. Setemunya.
Beruntung, aku mendapatkannya, meski hari sudah malam. Aku membeli. Bukan perkara aku tidak memiliki bendera atau karena sedang Agustus. Tapi soal adanya bendera kebanggaan dan panji kehormatan itu di dalam tas.
Aku semacam punya obsesi selalu membawa bendera di dalam tas. Khusus untuk itu, aku punya prinsip ‘one bag, one flag’. Di dalam tas, selalu kuupayakan ada bendera di dalamnya.
Dan entah kenapa, aku selalu terbujur haru dan sendu tiap kali melihat sang merah-putih terpancang, terbentang dan melambai-lambai, apalagi bila di pegunungan atau pantai.
* *
“Bukannya kamu sudah ada bendera ya?, benderamu yang dulu dimana?”, tanya penjual bendera itu padaku. “Di dalam tas, tapi bukan yang ini, dan aku lupa memindahkannya,” jawabku.
Aku, entah kenapa, cukup akrab dengan penjual bendera.
Aku sering membawa bendera merah-putih di dalam tas. Jika ditanya secara detail, mungkin aku tak bisa menjelaskannya. Hanya, saat tak ada bendera di dalam tas, serasa ada yang kurang. Buku dan bendera menjadi bekal yang selalu ada di dalam tas.
Sejak menjadi mahasiswa pecinta alam, atau lebih tepatnya sejak kuliah di jurusan Sejarah, aku seperti punya kedekatan khusus dengan bendera. Ini bukan prinsip sebagai seorang nasionalis. Tapi lebih pada pandangan, pelajaran, dan pengalaman yang lebih lama membentuk diriku.
Dari sisi keluarga, bapak seorang nasionalis tulen. Di lain sisi, penempaan hidup yang lebih condong ke sosial-sejarah ketimbang ilmu alam-ilmiah, juga cukup berpengaruh terhadap pandangan hidupku.
Saat masih menjadi mahasiswa pecinta alam, satu hal yang sering kulakukan saat muncak adalah meninggalkan jejak berupa menaruh bendera di puncak gunung. Dari puluhan giat pendakian, bendera menjadi azimat yang selalu kukibarkan di puncak.
Aku tak punya alasan jelas untuk menjelaskan kebiasaan itu. Aku hanya senang melihat bendera berkibar-kibar. Sebuah perasaan yang hampir mirip saat aku menyaksikan tumpukan buku dengan judul yang baru aku tahu.
* *
Ada sejumlah momen tak terlupakan tentang bendera. Tepat 17 Agustus 2013, di puncak Gunung Lawu, aku menaiki tugu puncak untuk mengganti dan mengibarkan bendera.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, orang-orang di sekelilingku serentak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Aku menangis dan tubuhku bergetar saat itu juga. Aku selalu merinding tiap kali mengenang peristiwa itu.
Saat Najwa Shihab beserta rombongan roadshow Mata Najwa mampir ke Unair pada 2014(?), aku punya kenangan yang sulit terlupakan. Dengan kekonyolan yang hampir sempurna, aku memberanikan diri maju ke panggung untuk menemui Mbak Najwa, dan memberinya sebuah bendera.
Di depan ratusan pasang mata, aku memberikan sang Saka Pusaka — yang beberapa hari sebelumnya aku kibarkan di puncak Mahameru — kepada Mbak Nana. Tubuhku bergetar kala Mbak Nana berterimakasih dan menyebut namaku di atas panggung. Sebagai gantinya, dia memberikan buku bercover merah yang hingga kini masih kusimpan di rak bukuku.
Bendera, bagiku bukan sekadar simbol kebanggaan, apalagi sekadar fashion yang harus dipamerkan. Tapi penempaan, pelajaran dan pengalaman lah, yang membuatku merasa dekat dengan bendera merah-putih, dan enggan berjauhan darinya.
Berkibarlah benderaku
Lambang suci gagah perwira
Di seluruh pantai Indonesia
Kau tetap pujaan bangsa
Siapa berani menurunkan engkau
Serentak rakyatmu membela
Sang merah putih yang perwira
Berkibarlah Slama-lamanya.