Mukim dan makam jadi perihal yang amat dekat bagi masyarakat Dusun Mbarangan. Berikut ini historiografi ilmiah pemukiman yang berada di dalam pemakaman.
Dusun Mbarangan kawasan yang terkenal angker bagi orang luar. Karena dikelilingi kuburan, kali, dan sungai Bengawan Solo. Sejak dulu, kawasan itu terkenal horor. Karena selain sepi, mereka yang ingin berkunjung juga harus melintasi pagar berupa makbaroh (pemakaman).
Di Makbaroh Mbarangan, banyak makam ulama. Di antara yang terkenal adalah Mbah Dewod alias Kiai Dawud (ulama jadzab yang wafat pada 1960-an) dan Mbah Sanusi Mbarangan (1840-1920), figur kiai pembuka pemukiman Mbarangan.
Dusun Mbarangan merupakan dusun yang terletak di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro. Berada di pinggir bantaran sungai Bengawan Solo. Tepatnya di sudut timur laut Desa Kuncen. Berbatasan dengan Desa Mbaru di sebelah timur, dan Desa Betet Kasiman di sebelah utara.
Atasnama keterbatasan lahan dan sebuah keberanian, Dusun Mbarangan tergolong unik dan tidak biasa. Kegiatan sehari-hari masyarakatnya, dilakukan di dalam pemakaman. Lokasi kuburan jadi tempat yang tak mengerikan. Sebuah kewajaran ketika acara pernikahan, tempat mempelai berdampingan dengan nisan kuburan.
Di Dusun Mbarangan, kijing kuburan dijadikan tempat mengeringkan kerupuk (di sana banyak pabrik kerupuk), kuburan juga dijadikan tempat bermain bagi anak-anak. Orang-orang di Dusun Mbarangan melihat pemakaman seperti bagian dari ornamen rumah mereka sendiri.
Di Mbarangan, pemakaman jadi taman bermain bagi anak-anak, tempat berkumpul warga, hingga lokasi pelaksanaan hajatan. Bahkan, ada sebuah makam yang berada di dalam rumah. Pemakaman, jadi bagian tak terpisah dari denyut nadi kehidupan sehari-hari masyarakat Dusun Mbarangan.
Sikap masyarakat Mbarangan, secara tidak langsung, sesungguhnya ngestoaken dawuh hadits Kanjeng Nabi Muhammad SAW. tentang Dzikrul Maut, bahwa “orang cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati”. Bermukim di tengah pemakaman, membuat masyarakat terbiasa akrab dengan hadits tersebut.
Sejarah Dusun Mbarangan
Secara historiografis, Dusun Mbarangan sudah ada sejak periode 1800 M, sebagai salah satu dusun di Desa Kuncen Kecamatan Padangan. Nama Mbarangan tertulis dalam peta Belanda yang di-publish pada 1887 M, sebagai basis wilayah para pejuang islam, dengan ditandai adanya simbol bulan sabit.
Informasi tentang peta dan gambaran demografi masa silam Dusun Mbarangan, sampai saat ini masih tersimpan rapi di dalam Digital Collection of Leiden University, sebagai bagian dari Dutch Colonial Maps — peta wilayah koloni (yang diawasi) pemerintahan Hindia Belanda.
Dusun Mbarangan semula hanya pemakaman dan savana semak belukar. Pemakaman sudah lebih dulu ada, jauh sebelum adanya pemukiman warga. Savana belukar melingkari pemakaman itulah, yang dibabat Kiai Sanusi (Mbah Buyut Mbarangan) dengan mendirikan tempat mengaji. Sebuah tempat yang dikenal Peguron Mbarangan.
Konon, Mbarangan berasal dari frasa “Ojo Sembarangan!” yang ditujukan pada para penjajah agar tak memasukinya. Sebab, wilayah itu jadi tempat para pejuang islam. Wilayah yang memang menjorok ke arah sungai, tertutup pemakaman, kali, dan semak belukar, secara geografis agak sulit terdeteksi dari intaian penjajah.
Buyut Mbarangan
Sosok pembuka Dusun Mbarangan yang dikenal dengan Mbah Buyut Mbarangan, bernama asli Kiai Sanusi Mbarangan. Nama lengkapnya Kiai Sanusi bin Syahid bin Syihabuddin. Beliau membuka Dusun Mbarangan dengan mendirikan Peguron Mbarangan (Pondok Mbarangan) yang dikenal sebagai tempat pengajaran islam dan ilmu jadug-kanuragan.
Mbah Sanusi adalah bagian dari lingkar besar keluarga FiddariNur Padangan. Lahir dari keluarga Bani Syihabuddin Padangan. Beliau putra dari Syekh Muhammad Syahid (Mbah Syahid Kembangan). Dan cucu dari Syekh Syihabuddin al Fadangi (Mbah Syihabuddin Betet). Mbah Sanusi diperkirakan hidup di Mbarangan pada periode (1860 – 1940 M).
Mbah Sanusi adalah pendiri Peguron Mbarangan yang berlokasi di dekat jurang bantaran sungai Bengawan Solo. Peguron Mbarangan masyhur sebagai tempat belajar ngaji sekaligus ilmu jadug-kanuragan. Konon, tiap kali ada longsor bantaran sungai, peguron yang didirikan Mbah Sanusi itu selalu bergeser menjauh dari lokasi longsor.
Selain mengajar ngaji fiqih, di Peguron Mbarangan, Mbah Sanusi juga mengajarkan tarekat pencak-kanuragan yang bersanad langsung dari sang ayah, yakni Syekh Muhammad Syahid Kembangan. Di antara ajaran dari Peguron Mbarangan adalah Kitab Suluk Tapal Adam, Suluk Kebal Kebonambang, Ageman Bisteguh, hingga Ageman Tigakol.
Ajaran-ajaran Mbah Sanusi berupa suluk dan ageman itu, secara ilmiah, adalah wirid dan kalimat thayyibah yang dikemas menggunakan Bahasa Jawa. Sebuah wirid yang difungsikan untuk perlindungan diri dari tekanan penjajah. Ajaran ini juga populer di daerah Sudu Gayam dan Kedungkebo Senori.
Mbah Sanusi berdakwah di era tekanan penjajah. Karena itu, beliau tak hanya mengajarkan ilmu fiqih. Tapi juga mengajarkan ilmu kebal dan kanuragan. Ajaran ini kontekstual terhadap zaman. Hal ini juga jadi alasan Dusun Mbarangan dikenal sebagai tempat gemblengan kanuragan sekaligus benteng bagi para pejuang islam.
Mbah Sanusi Mbarangan memiliki 4 orang keturunan putra. Di antaranya bernama Kiai Khosman, Kiai Waridin, Kiai Warsun, dan Kiai Warosyi. Dari 4 putra Mbah Sanusi itulah, Dusun Mbarangan kini jadi pemukiman warga. Ini alasan, hampir semua penghuni dusun, mayoritas masih terhubung sebagai saudara.
Sepeninggal Mbah Sanusi, Peguron Mbarangan sempat dilanjutkan putranya yang bernama Kiai Warosyi, hingga era Penjajahan Jepang (1942). Di era Kiai Warosyi pula, peguron itu diubah menjadi sebuah musala. Sampai saat ini, musala itu masih berdiri. Dikenal dengan nama Musala Al Hidayah Mbarangan.
Di antara cucu Mbah Sanusi Mbarangan yang cukup terkenal adalah KH Ahmad Bisri Mbaru. Salah satu muasis (pengurus pertama) NU Padangan tahun 1938 itu, adalah cucu langsung Mbah Sanusi Mbarangan. Nasabnya: Ahmad Bisri bin Warsun bin Mbah Sanusi Mbarangan.
Keramat Mbarangan
Dusun Mbarangan dikenal sebagai Pulung Desa. Tiap kali ada pemilihan kepala desa (Pilkades), calon kepala desa berangkat menuju TPS diawali dengan berjalan dari sisi paling dalam Dusun Mbarangan. Calon Kades yang berangkat diawali dari Dusun Mbarangan, mayoritas khasil maqsud (menang pemilihan). Hikayat ini sudah masyhur-konsensus bagi semua warga di wilayah Desa Kuncen Padangan.
Di makbaroh Mbarangan, sesungguhnya masih banyak makam pejuang islam dan para ulama. Sayangnya, makam para Ulama min Auliya’illah tersebut cukup sulit terdeteksi. Sebab, nisannya banyak yang dihilangkan. Namun, khazanah zaman dan ilmu pengetahuan akan memunculkan kembali sisi ilmiah dan kemasyhuran mereka.