Hari Natal telah tiba. Euforia dan perayaannya mampu bergema dan membagi kasih. Di Bojonegoro, tradisi dan perayaan natal cukup nostalgis. Berikut kisah perayaan natal di Bojonegoro dari zaman old hingga zaman now.
Nabs, teman-teman terdekat saya merayakan Natal. Oleh karena itu, saya juga turut bahagia tiap kali akhir tahun datang. Menyambut pergantian waktu, dan turut larut dalam euforia Natal.
Beberapa tempat mulai memajang hiasan Natal. Pusat perbelanjaan mulai menata etalase dengan barang khas Natal. Hiasan seperti bola-bola emas, rusa, dan salju mulai digantung. Dan pohon cemara–baik yang asli atau yang plastik– mulai dipajang.
Televisi pun mulai menayangkan film-film Natal dan tahun baru. Meskipun tidak ada yang terbilang baru dari film yang ditayangkan. Padahal roda perfilman dunia dan Indonesia bak roda mobil sport yang lagi ngebut lho. Huft.
Tapi kita tidak akan membahas televisi dan filmnya. Kita mau obral-obrol soal tradisi Natal di Bojonegoro. Seberapa sama atau berbedakah dengan apa yang kita lihat di film-film?
Yang kita tahu di film, Natal identik dengan Santa Claus. Ia mengendarai kereta yang ditarik rusa-rusa gagah. Melewati lapisan salju putih, yang tentunya sangat asing di Bojonegoro.
Lalu, bagaimana Natal dirayakan di Bojonegoro? Untuk itu, saya sudah tanya kesana-kemari. Ke teman-teman saya yang merayakan Natal. Nah, ada yang menarik untuk jadi bahan obral-obrol, Nabs. Tentang tradisi memperingati Natal, dan perubahannya seiring zaman.
Menurut Edwin Reynaldi, Natal menjadi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Ia mengatakan, “Natal adalah momentum berkumpul, apalagi banyak kerabat yang memang merantau”. Termasuk Edwin, cah Jonegoro yang merantau di Surabaya.
Hal ini senada dengan pernyataan Atnis Kurnia, cah Jonegoro yang merantau di Bali. Natal adalah momen untuk pulang kampung. Bertemu dengan keluarga besar, teman-teman, serta jemaat gereja yang lain.
Perayaan Natal biasanya dirayakan di tiga tempat. Di gereja, di rumah, dan di sekolah — bagi yang masih sekolah, Nabs. Perayaan dimulai sejak 24 Desember. Tepatnya dengan pelaksanaan misa Natal pada malam hari.
Nah, misa Natal tentu dilakukan di gereja. Diawali dengan sesi pemadaman lampu dan menyalakan lilin bersama di awal ibadah.
Setelah ibadah/misa selesai, ada sesi makan bersama di gereja. Makanan yang disuguhkan telah disiapkan oleh umat gereja. Menurut Atnis, tidak ada menu makanan khusus yang disajikan. Biasanya ada cap go meh, soto, dan masakan-masakan khas Indonesia lainnya.
Keesokan harinya, memasuki tanggal 25 Desember. Perayaan diadakan pagi hari dengan acara operet anak. Acara ini dimeriahkan oleh anak usia balita hingga usia Sekolah Dasar kelas 3. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan perannya, Nabs.
Lalu, beralih ke perayaan Natal yang diadakan di sekolah. Nah, seru nih, Nabs. Di sekolah zaman dulu, masih ada tokoh Sinter Klas dan Zwarte Piet (pit hitam). Dua tokoh ini tampil di panggung sekolah. Mereka menyerukan kisah tentang anak baik akan dapat kado.
Sedangkan anak yang terkenal nakal di sekolah, dapat hukuman seperti di masukkan karung. Tentu ini hanya bersifat bercanda yha, Nabs. Untuk nakut-nakutin anak-anak yang memiliki rencana nackal. Masukin karung sajaaa…
Setelah perayaan di gereja dan sekolah, ada perayaan Natal di internal keluarga. Nah, dalam hal ini, Edwin menceritakan bahwa banyak terjadi perubahan tradisi. Menurutnya, “perayaan dari zaman old dan zaman now sudah berbeda”. Natal di zaman old, zaman oma-opanya dulu, lebih kental tradisi Belanda-nya.
Pada perayaan keluarga, ada tradisi masak-masak dan makan-makan bersama. Menu masakannya adalah menu percampuran Belanda – Indonesia. Diantaranya adalah sop merah, sus kering, hutspot, bistik, huzarensla, pastel tutup, dll. Hmm, terdengar sangat yummy yah, Nabs?
Selain masak-masak, perayaan Natal bersama keluarga juga dimeriahkan dengan pemberian kado. Nah, untuk yang satu ini, tentu kita sudah familiar dengan yang ada di film-film, Nabs. Tentang pohon Natal dan pemberian kado oleh tokoh Sinter Klas. Hadiahnya pun bermacam-macam.
Sembari berkelana jauh ke hari-hari yang lalu… Edwin bercerita, dulu keluarganya sering memberi kado yang sederhana. Buku tulis, peralatan tulis, dan alat-alat sekolah lain. Sederhana, namun tentu bermakna yha, Nabs…
Nah, itu tradisi di zaman old. Kalau zaman now? Edwin kembali berkisah, bahwa generasi millenial Bojonegoro merayakan Natal dengan lebih sederhana. Berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, dan menghadiri perayaan Natal di gereja.
Meskipun lebih sederhana, tentu tidak mengurangi kekhusyukan ibadah, dan hangatnya perayaan Natal lho, Nabs… Kadang, beberapa tradisi memang bisa bergeser. Namun, yang penting maknanya tidak berkurang walau hanya sepeser.
Nah, selalu ada suatu pelajaran yang bisa diambil dari perayaan. Kita bisa menyelami bagaimana euforia kebahagiaan orang lain. Bagus jika kita bergembira ketika sesama kita gembira. Dan turut berbela sungkawa ketika sesama kita berduka.
Sama seperti yang disampaikan Abi Quraish Shihab: Pada dasarnya kita semua bersaudara. Jika tidak saudara seagama, maka bersaudara dalam kemanusiaan.
Jadi, di hari yang berbahagia ini, selamat merayakan hari Natal, untuk semua saudaraku yang merayakan.