Sore itu kau dihantam rasa hampa. Diterpa hening sepi. Dan terjerembab dalam kekosongan. Seketika, rasa yang mampu muncul hanyalah lapar.
Mungkin hati dan otak punya saluran tersendiri. Saling bertikai dan meracuni satu sama lain. Sedangkan perut punya tahtanya sendiri. Lapar adalah sebentuk ambisi paling sederhana. Tak ada titik. Lapar hanya mengenal jeda.
Kau dengan malas mendudukkan punggung kebasmu di atas motor bebek butut. Satu-satunya harta warisan bapak yang kamu miliki. Spionnya retak di sisi kiri. Kamu malas menggantinya.
Entah karena sesederhana malas. Atau acuh. Atau mungkin sengaja menyimpan perangkap luka untuk jemarimu sendiri.
Pernah suatu sore di jalan panjang Gresik – Lamongan. Kamu memacu motor butut dengan kecepatan maksimalnya yang tidak seberapa. Kau mengusap spion retak itu dengan jari. Sebab kala itu hujan sedang kucing-kucingan dengan tanah. Antara mau tak mau untuk turun.
Kau menggoreskan jari manismu pada spion itu. Kamu tersenyum sambil mengibaskan tangan. Membiarkan darah mengucur. Supaya bertemu dengan air hujan yang tak punya pendirian itu.
Hingga hari ini, kau masih ingin menggoreskan luka lagi. Sebab selain lapar, tidak ada yang mengingatkan bahwa kau punya rasa. Mungkin luka bisa membuatmu mengecap rasa melalui hati. Jangan hanya lidah saja yang dimanja.
Tetap di atas motor itu. Kau membayangkan semangkuk mie ayam. Kau tahu jalan tercepat untuk sampai di mie ayam kesukaanmu. Tapi kau sengaja melewati beberapa bangunan yang menyimpan memorimu di masa lalu.
Rumah cokelat berjendela grafir. Gedung sekolah berwarna biru. Serta gedung tua bekas showroom yang kini terbengkalai. Berharap kenangan bisa mengoyak beku di hatimu. Tapi ternyata uji cobamu gagal. Seperti tiga ratus tujuh puluh enam uji coba gagal lainnya.
Akhirnya kau menyerah pada sebuah warung kecil yang menjajakan mie ayam. Dengan gerobak biru bertuliskan Mie Ayam 28. Tipografi catnya warna merah. Digambar serampangan dan tidak memenuhi kaedah estetika sama sekali.
Kau memesan satu mangkuk mie ayam dengan tambahan dua ceker ayam yang dimasak kecap. Begitu masuk, matamu mencari dua buah sumpit dari melamin warna putih tulang. Kau duduk terdiam, sambil memutar sebuah lagu dari Isyana Sarasvati berjudul Winter Song.
Lirik tentang kenangan bersama seseorang yang berharga. Bagaimana realita mengkhianati ekspektasi. Serta kerelaan atas jalan kisah yang berakhir.
Mencapai kalimat di lirik terakhir. “And to keep what I feel”. Kemudian semangkuk mie ayam hangat nan mengkilat karena minyak hadir di hadapanmu.
Kau tidak langsung menghajarnya. Kamu biarkan lambungmu meronta sebentar. Memantik perasaan ganjil nan menyenangkan. Sembari menghayati eksotisme semangkok mie ayam.
Telepon genggammu memainkan lagu berikutnya. Melantun melalui headset warna merah yang kamu beli kala ada uang lebih. Panic! At The Disco menyanyikan lagu Northern Downpour. Dengan lirik kesukaanmu, hey moon please forget to fall down.
Kau gunakan sepotong tisu untuk menyeka sumpit dan sendok. Ibarat hidup, sumpit adalah kebahagian dan kepedihan. Yang harus kamu seimbangkan.
Kadang kau harus memegangnya lemah. Agar mereka mau diarahkan. Namun kadang kau harus erat. Supaya mie ayam tidak jatuh ke peraduan mangkok. Lalu kau bisa melahap semangkuk mie ayam itu dengan teramat syahdu.
Kau mengacak-acak mie dan menyesap kuah dengan sendok di tangan kanan. Sebelum memindahkannya ke tangan kiri. Untuk kembali beradu dengan sumpit.
Setelah menjajal racikan asli dari penjualnya. Kau menambahkan dua, tiga, empat, lima sendok sambal. Serta sedikit saos sambal dan beberapa tetes kecap.
Bumbu-bumbu itu mengingatkanmu pada rasa yang dulu sempat hinggap. Pedas, manis, asam, dan manis. Memang gurih saja sudah cukup. Tapi tanpa fluktuasi rasa, mie ayam terasa tak menantang. Gurih yang stagnan bisa berubah jadi definisi hambar yang baru.
Biar ada sensasi di lidah. Biar ada reaksi di perut. Biar ada keringat di dahi. Proses ini tidak hanya menjadi relasi antara lidah dan mie. Namun ada kesinambungan rasa dan raga.
Kau suapkan ceker ayam dengan sumpit. Mulai dari tulang muda di persendian. Kemudian lidahmu beradu dengan jemari berlemak yang menjadi manis karena kecap. Ceker dalam semangkuk ayam berperan layaknya perihal besar yang kau lakukan di sela-sela harimu yang datar dan biasa-biasa saja.
Kau sengaja membubuhkan kesulitan dalam kehidupan. Agar jiwamu merasa tertantang. Dan tidak berhenti jadi seonggok manusia yang tak melakukan apa-apa.
Mie berwarna kuning yang masih kenyal-kenyal aldente beradu dengan gigi. Di sela proses mengunyah, kau suapkan lagi suiran ayam dan irisan daun bawang. Laiknya kado dari dirimu sendiri. Untuk dirimu sendiri pula.
Kau menyisakan sawi di akhir sesi makan. Sebab kau sangat suka pada sensasi pahit bercampur pedas bumbu. Kau ingat pada seseorang di masa lalu.
Ia sangat benci sayuran, terutama sawi. Ia selalu menghadiahkan sawinya untukmu. Baru kini kau sadar, itu bukan hadiah. Bahwa sesungguhnya itu cara ia membuang segala yang ia benci. Untuk diberikan padamu.
Kau bahagia, setidaknya ini sebuah win win solution. Tapi, kini kau semakin yakin. Bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah cara menyenangkanmu tanpa usaha.
Kau, dan dia adalah sebuah kebahagiaan sederhana. Yang semakin lama menjadi kehampaan tanpa fluktuasi rasa. Seperti gurih mie ayam tanpa ada tambahan bumbu.
Terakhir, ada sepotong kulit pangsit yang sudah separuh basah. Beradu dengan sisa ceker yang belum sepenuhnya bersih. Serta beberapa suwir ayam yang alpa oleh sumpit.
Kau gunakan senjata terakhirmu. Sendok yang mampu mengakhiri kisah mie ayammu sore itu. Seperti keputusanmu untuk mengakhiri hubungan hambar bersamanya. Cepat dan pasti. Sebab seenak apapun mie ayam, pasti akan menjadi basi kalau dibiarkan terlalu lama.
Satu hela napas panjang. Lagu di telepon genggammu memainkan lagu Lightcraft, bertajuk Walk On Fire. Musiknya mendinginkan suhu tubuhmu yang panas. Liriknya mengingatkan pada perasaan saat turun dari roller coaster. Lega dan menuntaskan rasa tidak menyenangkan di dada.
Semilir angin mulai masuk dari pintu kayu. Sembari meneguk es teh yang kamu pesan dengan gula yang minimalis. Kau tersenyum sebab segala ingatan mulai terpancing keluar. Carut marut rasa dan kenangan. Berpadu syahdu dengan rasa pedas yang tertinggal di lidahmu.
Kau keluar untuk membayar. Kemudian melanjutkan perjalanan menyisir kenangan yang tertinggal di beberapa titik di kota kecil ini. Kebas hatimu sedikit terkikis. Ada kelegaan yang sederhana. Tak terungkapkan lagi dengan kata-kata.