Nasi sudah menjadi bubur. Masa lalu tidak bisa diubah. Namun, bubur masih tetap bisa dimakan. Dalam kehidupan cinta, bubur itu adalah pelajaran hidup. Layaknya makanan pasien di rumah sakit, bubur membantu proses pemulihan.
Sinar senja tetiba tertutup mendung. Langit Selasar, Kamis sore itu menjadi gelap. Rintik hujan mulai turun disusul angin yang menghempas tirai bambu. Padahal, musim kemarau sudah mulai memanaskan Bojonegoro. Pertanda apakah ini?
Tak dinyana, ada seorang pemuda yang patah hati. Satu di antara para pengunjung warung kopi itu. Namanya Calvin. Saya ketahui itu saat dia duduk tepat di hadapan saya. Dia melamun, menatap kosong kucing betina yang nangkring di salah satu bangku.
Kami berdua tahu kalau Calvin suka kucing. Dia memiliki peliharaan binatang lucu tersebut. Seorang kawan di samping saya, Febri, mengira dia memperhatikan kucing itu. Lalu, dia bertanya.
“Betinamu itu jenis Anggora atau Persia?”
“BOCAHE KUWAMPONG!” jawab Calvin dengan nada ngegas.
Sontak saya dan kawan di samping saya merespon.
“Lhoooooo….. lha ngene.”
Kami berdua paham, ada energi merah bersama jawaban Calvin. Tentunya amat terasa. Padahal, Febri bermaksud menanyakan jenis kucing betina peliharaan Calvin.
Dari situ, kami paham perasaan Calvin. Memang, patah hati yang dialaminya sudah cukup lama. Sekitar 3-4 bulan yang lalu. Meski sehari atau seminggu, namanya patah hati membuat waktu berjalan begitu lambat.
Baca juga: Kisah Patah Hati dan Tak Semua Perempuan Layak Dibenci
Berbeda dengan hubungan Calvin. Bersama mantan terbarunya, dia sudah menjalin hubungan selama hampir 11 tahun. Ibarat kuliah, itu cukup hingga mendapat gelar doktor. Namun, terasa 11 hari saat harapan kandas berganti patah hati.
Alasanya cukup umum tetapi sangat fundamental, yaitu kesetiaan. Pihak ketiga telah merebut separuh dunia Calvin itu. Bisa dibayangkan betapa sakitnya? Sekujur tubuh pastinya nyeri dan seakan dunia begitu gelap dalam sekejap.
Saya tidak ingin tahu lebih banyak. Mendengar alasannya saja rasanya seperti kehilangan tulang. Namun, tidak ada yang bisa disalahkan. Inilah cinta, inilah kehidupan. Berani jatuh cinta harus berani patah hati. Ini sudah sepaket.
Pengkhianatan dalam cinta, serupa menebas lengan kekasih. Tidak membuat mati, hanya meninggalkan luka, tetapi tidak mungkin untuk memeluk kembali.
Nasi sudah menjadi bubur. Masa lalu tidak bisa diubah. Namun, bubur masih tetap bisa dimakan. Dalam kehidupan cinta, bubur itu adalah pelajaran hidup. Layaknya makanan pasien di rumah sakit, bubur membantu proses pemulihan.
Baca juga: Memulihkan Patah Hati dengan Konsep “Aku Berpikir, Maka Aku Ada”
Meski bubur terasa hambar, tetap harus ditelan. Hati boleh kosong, tapi perut jangan. Kehidupan tetap harus berjalan. Tak apa meski terseok-seok. Begitulah orang belajar, butuh perjuangan. Merdeka!
Masa lalu hancur seperti bubur nasi yang lembek. Pengalaman itu yang harus menjadi pembelajaran. Menurut catatan kecil di halaman buku tulis Sinar Dunia, tertulis “experience is the best teacher“.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun, tidak semua ingin menjadi muridnya. Kalau pengalaman baik dan bahagia pasti mau. Namun, kalau kondisi hancur begitu, memangnya siapa yang mau sih? Tapi pilihan tidak tersedia. Harus dihadapi.
Patah hati termasuk metode terbaik revolusi mental. Kosongnya hati dan pikiran menyisakan ruang yang luas. Semua hasil pembelajaran hidup bisa dimasukkan. Terlebih, hati dan pikiran adalah bagian diri manusia yang sangat fundamental.
Bubur ibarat pengalaman masa lalu yang hancur lebur nan lembut. Makanlah bubur itu. Belajarlah dari rasa dan teksturnya. Tanpa perduli harus diaduk, dipisah atau dibanting.
Nasi telah menjadi bubur bermakna semua sudah terlambat, tapi itu tidak berlaku di dalam cinta. Hati sudah kosong kembali. Bersiaplah mengisinya dengan hal baru yang lebih baik dan membahagiakan.