Gado-gado Pak Yun begitu melegenda di hati masyarakat Bojonegoro. Masyarakat pasti akrab sekali dengan penjual kuliner campuran satu ini. Khas dengan topi koboi hitam di kepala, pria bernama asli Mariyun itu sangat cekatan mengolah bahan menjadi gado-gado. Sosok mirip koboi ini mulai berjualan gado-gado sejak usia 24 tahun.
Awalnya, Mariyun berasal dari Kecamatan Sekaran, Lamongan. Sebagai warga Lamongan, merantau sudah menjadi kebiasaan masyarakat Bumi Jaka Tingkir. Pada 1979, dia bersama istrinya hijrah ke Bojonegoro. Di Kota Ledre ini, dia mempunyai seorang teman yang lebih dulu merantau. Teman inilah yang mengajari Mariyun membuat gado-gado.
Pada tahun yang sama, pria kelahiran 1955 ini mulai berjualan gado-gado. Dulu Mariyun berjualan gado-gado dengan cara berkeliling menggunakan gerobak. Jalur sutra perdagangan Mariyun meliputi Jetak, Jalan Patimura, Jalan Panglima Polim, Jalan Teuku Umar, Jalan Hayam Wuruk hingga kembali lagi ke rumahnya, di belakang Balai Desa Ledok Wetan.
“Saat itu masih belum ada kok anakku. Sudah lama sekali ya,” kata pria yang menikah pada 1975 tersebut.
Namun, di usia yang semakin tua, Mariyun akhirnya mulai menetap di satu tempat. Dia memilih tempat berjualan di Jalan Panglima Sudirman. Tepatnya di depan Gereja Santo Paulus. Itu dia lakukan sejak 2008. Namun, tak lama setelahnya, dia berpindah tempat di depan SMA Negeri 1 Bojonegoro.
Setiap hari, Mariyun berjualan mulai tengah hari sekitar pukul 11 siang. Kecuali Hari Jum’at. Pada jam makan siang, gado-gado sajiannya begitu ramai. Gerobak dari kayu jati asli tersebut dikerubungi para pembeli seperti fans yang rebutan foto bersama idolanya. Tak heran jika gado-gado yang menggoda tersebut bakal habis pada pukul 4 sore. Setiap harinya, Mariyun menghabiskan kacang sekitar 3 kg untuk bahan gado-gadonya.
Bapak tiga anak itu, kini tidak lagi berjualan sendiri. Sejak 2010 lalu, Mariyun dibantu putra pertamanya yang bernama Miftakhul Huda. Huda membantu bapaknya berjualan karena kemampuan Mariyun yang tidak seperti dahulu. Mariyun tidak mengembangkan gado-gado miliknya juga karena keterbatasan kemampuan.
“Setiap hari dari jam 3 pagi hingga jam 9 itu meyiapkan bahan-bahan seperti belanja dan memasak bersama ibu. Bisa dibayangkan kalau lebih banyak lagi kan capeknya,” kata Mariyun.
Sebelum hijrah ke Bojonegoro dan berjualan gado-gado, Mariyun sempat merantau ke Surabaya. Itu dia lakukan ketika masih bujangan. Di Surabaya, dia bekerja sebagai tukang becak. Mariyun suka sekali mengayuh becak karena bisa berkumpul dengan teman-temannya. Selain itu mbecak juga dapat penghasilan. Sayangnya, tidak cukup untuk biaya hidup.
“Duit mbecak iku muter terus, angel kentel e. Paling perkoro bane munyer terus. Hehehe…,” kata Mariyun sambil bercanda.
Dia pun fokus berjualan gado-gado. Namun, berkat usaha keras dan konsistensinya, Mariyun bisa dikatakan berhasil. Bapak tiga anak ini bisa menguliahkan anak-anaknya. Anak pertama dan anak keduanya sudah menikah. Puncak perasaan bahagia Mariyun adalah ketika dia dan istrinya bisa berangkat umroh ke tanah suci Mekkah pada 2018 kemarin.
“Ibarat tanduran itu makin lama makin subur,” kata bapak dari tiga cucu tersebut.
Pada masa lalu, Mariyun merupakan putra dari seorang buruh tani. Keadaan keluarganya begitu serba terbatas. Bahkan, Mariyun tidak lulus dari Madrasah. Namun, berkat perjuangannya selama ini, dia mampu mendidik anak-anaknya hingga perguruan tinggi.
Mariyun mengaku sangat bersyukur sekali atas kerja keras berjualan gado-gado. Menurutnya, bukanlah kekayaan harta yang paling dicari. Melainkan kegiatan yang dilakukan secara lillahi ta’ala dan terus disyukuri. Bahkan, pada usia 64 tahun, Mariyun masih terlihat sehat. Meski sudah mengalami penurunan kemampuan fisik, dia tidak menderita penyakit menahun.