Pernah dihadirkan di dunia sebagai manusia adalah kenikmatan yang lebih besar dibanding menerima kegagalan maupun kesia-siaan.
Nabs, tak ada yang sia-sia dalam hidup, bahkan jika itu kegagalan. Gagal bagian dari sesuatu yang kita amini sebagai proses hidup. Sebab untuk bisa merasakan bahagia dan sukses, harus tahu dulu rasanya sedih dan gagal.
Mustahil memahami rasanya sukses bagi mereka yang tidak tahu rasanya gagal. Untuk bisa memahami rasanya manis, harus tahu rasa tawar dan asin dan asam terlebih dahulu, kan.
Jika boleh jujur, di dunia ini — di rentang waktu hidup menuju mati — kita lebih banyak merasakan ketidaknyamanan hidup. Sesaat setelah kita menjadi manusia baligh, kesedihan dan kegagalan teramat kerap hadir dalam episode hidup kita.
Alasannya sederhana, pasca baligh, manusia memiliki rencana dan ide. Dan layaknya rencana dan ide, tidak semua mesti harus sesuai keinginan. Dari sanalah, kegagalan lahir di muka bumi.
Filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer pernah mengatakan bahwa dunia adalah kehendak dan bayangan (idea atau representasi). Melalui pernyataan itu, Schopenhauer ingin menyatakan bahwa realitas pada hakikatnya berupa Kehendak. Dibalik dunia pengalaman kita, yakni dunia empiris, terdapat ‘Kehendak’ tersebut.
Dan jika dunia dipandang sebagai kehendak, jangan heran jika hidup adalah penderitaan. Hal ini disebabkan karena kehendak merupakan dorongan buta yang tidak akan pernah mencapai kepuasan dan tujuannya. Dia selalu ada. Manusia selalu berkehendak.
Dengan kecenderungan manusia yang selalu berkehendak, merasakan kegagalan dan penderitaan tentu sebuah keniscayaan. Jika tidak mau gagal, jangan pernah berkehendak. Tapi apa itu mungkin? Tentu tidak.
Berkehendak, bagi saya, harus tetap dilakukan. Namun, jika memang menghadapi kegagalan, ya harus dihadapi dengan gagah berani. Bukankah hidup itu hadap? Jika sudah berani hidup, harus berani menghadapi prosesnya bukan? Sebab gagal adalah bagian dari proses kehidupan.
Dalam hidup, mati —merasakan kegagalan —- boleh berkali-kali. Tapi hidup hanya sekali, dan hanya itu yang kita miliki. Dan karena hidup hanya sekali, yang harus dilakukan adalah berani menikmati sekecil-kecilnya kebahagiaan di tengah kesedihan yang mungkin terasa lebih besar.
Dan yang paling penting dari ini semua adalah keberanian dan kesadaran untuk bersyukur pada sang pencipta. Pernah dihadirkan di dunia sebagai manusia adalah kenikmatan yang teramat besar.
Kita bisa membikin rencana, merasakan sedih, cemburu, hingga jatuh cinta hanya karena kita adalah manusia. Tanpa menjadi manusia, mustahil kita mampu merasakan itu semua. Karena itu, menjadi manusia adalah kenikmatan yang patut disyukuri, terlepas dari adanya kegagalan maupun kesia-siaan.