Jika WHO menetapkan Gaming Disorder sebagai gangguan mental, bolehkan seorang PNS yang malas dikategorikan sebagai pengidap Lazy Disorder?
Gaming Disorder ditetapkan WHO sebagai gangguan kesehatan mental, di saat Indonesia bakal jadi tuan rumah final PUBG Mobile Club Open (PMCO) 2019 Asia Tenggara. Apakah ini berarti Indonesia jadi tuan rumah penderita gangguan mental? Heeee
Gaming Disorder alias kecanduan gim video resmi ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai gangguan kesehatan mental pada Sabtu (25/5), seperti dikutip dari beritagar.id
Menurut WHO, gaming disorder merupakan perilaku main gim yang ditandai dengan gangguan kontrol terhadap permainan, peningkatan prioritas yang diberikan untuk gim di atas minat lain dan kegiatan sehari-hari, dan kelanjutan bermain gim dengan mengesampingkan konsekuensi negatif.
Nabs, konsekuensi negatif yang dimaksud WHO, termasuk penurunan signifikan dalam hal fungsi pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan atau hal penting lain.
Sialnya, di saat hampir bersamaan, Indonesia terpilih jadi tuan rumah final PUBG Mobile Club Open (PMCO) 2019 Asia Tenggara. Final PMCO 2019 ini akan digelar pada 22-23 Juni 2019 di Indonesia Convention Exhibition.
“Ini kebanggaan tersendiri buat kami, PUBG Mobile, dapat mengadakan turnamen skala internasional pertama di Indonesia. Indonesia menjadi inspirasi penting bagi kami dengan keberagaman, semangat persatuan serta semangat sportifitas tinggi yang tercipta di masyarakat,” kata Head of eSport South East Asia, Gaga Li, Jumat (24/5/2019), dikutip dari beritasatu.com
Untuk diketahui, PMCO 2019 merupakan acara kompetitif tahunan yang menampilkan tim pro dan semi pro untuk yang populer di dunia game PUBG Mobile.
Dengan diadakannya turnamen tahap Final Asia Tenggara PMCO 2019, perwakilan dari Indonesia diharapkan dapat menjadi bintang dan lolos ke tahapan selanjutnya yaitu Final Global.
Tapi, bagaimanakah tanggapan gamers Bojonegoro terhadap status dari WHO dan diadakannya perhelatan PMCO 2019?
Salah seorang gamers Bojonegoro, Rizky Dahlan turut menanggapi kabar tersebut. Dihelatnya PMCO di Indonesia merupakan kabar baik bagi Indonesia. Sebab bisa menjadi tuan rumah.
Itu menunjukkan bahwa gim sudah beralih menjadi profesi, tidak seperti dulu lagi. Di mana, orang bermain gim selalu dikaitkan dengan kemalasan. Bahkan, ranah gim sekarang juga banyak melahirkan atlet e-sport.
Namun, untuk istilah Gaming Disorder, baginya hanya konsekuensi pribadi. Semua profesi bisa dilabeli istilah “disorder”. Seorang PNS yang malas bekerja misalnya, tak masalah jika disebut Lazy Disorder oleh WHO.
“Terkait dengan Gaming Disorder atau apapun itu, menjadi sebuah konsekuensi bagi pribadi”, ucap Dahlan.
Dahlan juga menambahkan, kalaupun ini menjadi sebuah penurunan signifikan terhadap hal pribadi, keluarga, dan sosial. Bukankah itu juga sama saja dengan hal lain selain gim.
Seperti menjadi artis bahkan mungkin menjadi seorang pemimpin tertinggi dalam suatu struktur organisasi. Baik dalam sebuah negara maupun korporasi. Waktu pribadi, keluarga bahkan sosial juga akan signifikan berkurang.
Atau dengan logika terbalik: seorang PNS yang terbukti malas kerja dan lalai melayani masyarakat, harusnya bisa didaftarkan ke WHO sebagai pengidap Lazy Disorder. Ini sangat penting karena dampaknya lebih besar.
“Apapun yang berlebih itu tidak tepat, jadi tinggal bagaimana kita bisa mengatur jadwal sendiri. Bukannya ini sama saja dengan karantina sebuah ajang pencarian bakat,” tambah Dahlan.
Apapun itu pasti melahirkan sebuah sebab. Setidaknya kamu turut berbangga karena Indonesia bisa memiliki kesempatan untuk jadi tuan rumah. Bagaimana Nabs, masih support Indonesia agar dikenal dalam kancah internasional. Atau memilih untuk tetap mempersoalkan akibat dari sebuah sebab tersebut?