Pemikir identik sosok kaku. Seolah-olah hidupnya hanya berurusan dengan teori dan buku-buku. Jangankan mengurus cinta, ketemu teman saja lupa caranya bersapa.
Membayangkan seorang pemikir yang jatuh cinta, seperti membayangkan maem nasi pecel pakai lauk donat. Terkesan aneh dan unik dan canggung tapi niscaya.
Nabs, bagaimanapun, pemikir adalah manusia. Selain dianugerahi kecerdasan, mereka juga dikaruniai hati dan emosi. Sehingga, mereka juga merasakan tertarik dan jatuh cinta pada orang lain.
Bedanya, karena mungkin mereka banyak mikir, berdampak pada gaya ber-komunikasih yang mereka jalani. Mereka menemukan ruang romantis yang mungkin tak bisa dipahami orang-orang biasa.
Ngomong-ngomong soal berpacaran gaya filsuf, tentu membawa kita pada ingatan tentang kisah romansa unik dua filsuf eksistensialis nan melegenda: Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.
Sartre merupakan seorang filsuf kontemporer dan penulis Prancis. Siapa yang tidak mengenal Sartre? satu dari dua penulis yang menolak hadiah Nobel Sastra —- ketika seluruh penulis di dunia mengejar-ngejarnya.
Iya, pada 1964, hadiah paling prestisius di dunia itu ditolak begitu saja oleh Sartre. Dan parahnya, Sartre secara konsisten menolak semua bentuk penghargaan.
Sedangkan Simone de Beauvoir adalah tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis. Beauvoir merupakan pengarang novel, esai, dan drama dalam bidang politik dan ilmu sosial.
Beauvoir menjadi satu dari sejumlah filsuf perempuan paling penting di masanya. Ia banyak melahirkan karya tulis dari bermacam genre. Banyak karyanya memberi pengaruh pada generasi sepanjang masa.
Sartre dan Beauvoir bertemu di Paris pada 1929. Selisih usia mereka 3 tahun. Sartre 24 tahun dan Beauvoir 21 tahun. Mereka berdua, ketemu dalam kondisi sama-sama sudah punya pasangan.
Beauvoir adalah perempuan cantik, cerdas dan penuh gaya. Dia sudah punya pacar bernama René Maheu. Sedangkan Sartre adalah lelaki yang tak mengenal mode dan sudah bertunangan, meski akhirnya, tentu kandas.
Sartre memang abai terhadap penampilan. Tapi kharismatik dan apa adanya. Bahkan, menurut Beauvoir, Sartre lelaki yang cerdas, murah hati, menyenangkan, ambisius, bersemangat, dan sangat lucu. Wqwqwq
Sesangar-sangarnya filsuf, akan terlihat lucu di depan cinta ~
Dan cinta, kau tahu, tak ada yang mampu memprediksinya. Meski awalnya Sartre-Beauvoir sudah sama-sama punya pasangan, toh kalau jodoh mau ke mana, bukan begitu, Nabs?
Saya sering membayangkan betapa kisah cinta mereka dibangun dengan komunikasih yang absurd dan dipenuhi simbol kekodean. Atau diwarnai kecanggungan-kecanggungan yang dialektik. Halah!
Tiap kali Sartre mau bikin buku, dia selalu minta Beauvoir membaca dan mengkritisinya. Sebaliknya, tiap kali Beauvoir mau bikin buku, dia selalu minta Sartre membaca dan menelaahnya terlebih dulu.
Nabs, betapa unik ya, hubungan kasih mereka. Setiap hari dipenuhi perbincangan-perbincangan yang penuh pemikiran. Tapi toh, mereka cocok dan bisa menikmatinya. Bukankah yang paling inti dari segalanya adalah kecocokan? Hehe
Dua sejoli asal Perancis ini dikenal sebagai filsuf dengan pemikiran eksistensialisme. Sartre fokus pada eksistensialisme manusia secara umum, sedangkan De Beauvoir pada feminisme eksistensialis.
Sejak 1929, mereka menjalin hubungan cinta. Keduanya saling cinta, nyambung saat diskusi, saling baca karya pasangannya, tinggal bareng, tapi malas untuk menikah.
Meski tak menikah, hubungan mereka berlangsung lama. Keduanya terus bersama hingga ajal menjemput.
Sartre meninggal pada 15 April 1980. Saat sang kekasih meninggal, Beauvoir menerbitkan sebuah buku berjudul Adieux: A Farewell to Sartre.
Buku berisi “rangkaian percakapan” bersama Sartre yang ia lakukan pada 1974. Farewell to Sartre jadi buku terakhir De Beauvoir sekaligus satu-satunya karya Beauvoir yang belum sempat dibaca Sartre. Jadi sediii ~
Beauvoir menyusul sang kekasih pada 14 April 1986. Di Montparnasse Cemetery, Paris. Nabs, Sartre dan Beauvoir bersemayam dalam satu makam yang sama.
Cinta Urusan Personal yang Paling Personal
Jika digeret ke era sekarang, banyak kok muda-mudi yang berpacaran ala filsuf. Meski bukan filsuf, mereka ber-komunikasih secara filsufi. Kayak gimana tuh? Hmm
Coba bayangkan, kita ketemu dengan pasangan yang paham apa yang kita kerjakan. Baik jurnalis, desainer atau bahkan freelancer di bidang konten kreatif.
Sebelum bikin karya, karya itu kita diskusikan dan perdebatkan dulu sama si dia. Bukankah itu kenikmatan yang filsufi, Nabsky?
Sesulit dan seaneh apapun sebuah hubungan, akan tetap kalah sama kecocokan kok. Kecocokan adalah kunci. Bahkan, ketika kita sudah merasa cocok, kita bisa bikin bahasa kode sendiri. Bahasa yang boleh jadi, tak bisa dan tak perlu dipahami orang lain.
Menundukkan kepala atau mengedipkan alis mata atau menggerak-gerakkan bibir tanpa bersuara, misalnya. Kalau kita sudah cocok sama pasangan, tentu bisa saling memahami. Meski, orang lain bakal kebingungan.
Karena kecocokan pula, kita bisa menjadikan perbincangan yang aneh bagi orang lain, menjadi asyik bagi kita sendiri. Sebab kadang, seperti yang diucapkan Sartre: “Hell is—other people!”