Manusia dihidupkan untuk membaca ayat-ayat Tuhan yang tersebar di muka bumi. Dan “fenomena”, adalah bagian kecil dari ayat-ayat yang tertata rapi di rak pustaka milik Sang Pencipta.
Watson kawan saya yang tergolong unik. Di antara kawan-kawan lain, Watson paling lihai “membaca” gelagat manusia. Ya, dia dipanggil Watson, mungkin karena sangat mengidolakan Dr. Watson, salah satu tokoh dalam serial karya Sir Arthur Conan Doyle yang sangat melegenda tersebut.
Dulu semasa kuliah, Watson adalah kawan yang paling intens berdiskusi dengan saya. Dari masalah politik, filsafat, hingga spiritual, kerap kami diskusikan bersama. Watson memang dilahirkan menjadi lelaki dialektik yang tak pernah bisa duduk tanpa berdiskusi.
Gara-gara terlalu suka berdiskusi, misalnya, Watson dan saya sampai drop out dari salah satu kampus di Surabaya. Penyebabnya sederhana, kami lupa bahwa kami sedang menjalani kuliah. Ya, kecintaan pada ilmu pengetahuan kadang punya efek samping yang tak sempat kami perkirakan.
Meski berdomisili di Sidoarjo, Watson dan saya kerap berdiskusi di sejumlah tempat di luar kota. Kadang kami berdiskusi di Surabaya, kadang di Jombang, kadang di Jogja dan kadang di Semarang. Dulu kami paling sering berdiskusi di depan Stasiun Waru dan Poncol Semarang.
Kami pernah berdiskusi selama berhari-hari tentang kenapa Ibnu Rusyd (Averos), yang notabene ahli fiqih dan filsuf timur, justru jadi sosok yang mempopulerkan dan memunculkan kembali Aristoteles ke dataran Eropa, setelah sebelumnya dilupakan. Apa motif Averos?
Kami juga pernah membahas tentang “algoritma”, istilah yang dipopulerkan orang barat itu, justru berasal dari sosok bernama Muhammad bin Musa Al Khawarizmi (Al Khawarizmi). Watson menolak jika Al Khawarizmi dianggap Majuzi. Menurut Watson, Khawarizmi adalah seorang ulama.
Watson memang pembaca buku yang sangat rakus. Matanya sampai rusak parah gara-gara kebanyakan membaca buku. Saat saya membawa judul buku baru, misalnya, Watson seperti orang yang belum makan dua hari lalu berjumpa Indomie goreng saat hari sedang gerimis tipis-tipis.
Watson pernah bilang: mataku boleh rusak, tapi mata batinku justru kian menajam. Dia memang punya intuisi tajam. Pernah saya tanya, apa yang membuatnya jadi sosok dengan intuisi tajam? Jawabnya: ini barokahnya suka membaca.
Begitulah Watson. Kadang, tiba-tiba dia punya krentek hati ke Jogja, kadang ke Semarang. Dan saat itu pula, jika kami punya uang, kami akan langsung berangkat. Di sana, tak banyak yang kami lakukan. Kami hanya duduk-duduk di depan stasiun tujuan untuk ngopi sambil berdiskusi, lalu pulang lagi.
Ada satu momen yang saat kami ingat, kami bisa tertawa terbahak-bahak. Suatu hari, kami pernah berangkat ke Depok. Tak banyak yang kami lakukan di sana. Seharian kami ngopi di pojokan kampus UI, setelah perut kembung, kami memutuskan pulang.
“Kita sudah menyerap semua ilmu yang ada di UI sampai kembung, ayo kita pulang.” Begitu kata Watson yang kami susul dengan derai tawa menggelegar.
Saat kami bertemu, kadang Watson membuka obrolan dengan Bahasa Inggris, seringkali Bahasa Arab, dan sesekali Bahasa Jerman. Watson sering gojlok-gojlokan sama saya pakai Bahasa Jerman.
Sebagai lelaki yang pernah punya cita-cita menjadi filsuf, sejak kelas 2 SMA saya sudah belajar Bahasa Jerman, ketika teman-teman seangkatan saya baru belajar jatuh cinta. Dan saat ketemu Watson, saya merasa mengaplikasikan pelajaran itu. Ya, meski kadang banyak ngawurnya, tapi tak sedikit benarnya.
Watson ini unik. Hobinya bersholawat, tapi dia sangat menguasai filsafat barat. Dari Watson lah, saya tahu bahwa Johann Wolfgang von Goethe, sosok filsuf kharismatik asal Jerman itu, sangat mengidolakan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tak ayal, dulu kami berdua pernah punya cita-cita membikin jamaah sholawat di Frankfurt, Jerman, biwasilati Mbah Goethe.
“Gak cuma Goethe, Napoleon Bonaparte dan George Bernard Shaw kui ya kenal dan sangat mengagumi Kanjeng Nabi Muhammad Saw lho. Kok sampai kita nggak mau sholawatan, iku keterlaluan.” Kata Watson suatu hari, sambil nyincing sarungnya.
“Iya, Son,” jawab saya, “Leo Tolstoy juga sangat mengagumi Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bahkan dari penulis besar Rusia itulah, Mahatma Gandhi mengenal dan mengagumi Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang akhirnya menemukan formula perlawanan bernama Ahimsa itu”.
Pembicaraan kami tentang filsuf dan pemikiran-pemikiran barat, kadang sampai berjam-jam hingga lupa makan. Suatu hari, saya dan kawan-kawan pernah membopong Watson gara-gara terlalu semangat berdiskusi sampai lupa tak makan dan pingsan begitu saja.
Serupa “para pembaca” lainnya, Watson punya ketajaman intuisi dalam menganalisis gelagat manusia. Dulu Watson dan saya sering berkompetisi membaca gelagat manusia. Watson sangat ahli membaca gelagat manusia dari kecenderungan mereka saat duduk, diam, dan berbicara.
Watson bisa dengan mudah mendeteksi kecenderungan seseorang dari cara mereka duduk, apalagi jika orang itu berbicara. Dia sangat mudah membacanya. “orang itu sedang berbohong, orang itu sedang selingkuh, orang itu punya sakit diabetes”. Kata Watson dengan santainya, sambil menunjuk-nunjuk orang yang melintas di depannya.
Kadang saya sampai marah dan meminta dia berhenti menunjuki orang yang melintas di depannya. Ya, saya takut jika mereka yang ditunjuki Watson tersinggung dan memukuli kami berdua. Saya memang sangat mengakui ketajaman Watson dalam membaca gelagat manusia.
Pejabat adalah sasaran empuk pembacaan Watson. Dia bisa menemukan 15 kebohongan dalam satu kalimat yang diucapkan si pejabat. Itulah hebatnya Watson. Lhawong orang diam saja bisa dibaca, Je. Apalagi kalau sudah ngoceh, kan tambah mudah.
Kadang saat dia mulai beraksi, saya yang kerap dibikin repot, “Awas, takbreideil keramatmu kapok kue” Kata saya mengancam sambil tentu saja guyon.
Suatu hari, saat menginap di rumah Watson, di Sidoarjo, gantian saya yang ngerjain Watson. Saat saya ngopi bersama Watson di dekat rumahnya, saya langsung “membaca” dan menunjuk orang-orang yang ada di depan kami dengan kemampuan analisis ngawur membaca gelagat manusia.
“Orang itu Muhammadiyah politis, orang itu NU simbolis, orang itu MTA, orang itu HTI, orang itu suka nyari proyek dengan nama lembaga keagamaan.” Kata saya berbisik santuy, sambil menunjuk-nunjuk orang di depan kami berdua.
“Wes…wes…wes… aku isin, Cuk.” Kata Watson memohon agar saya segera berhenti menunjuki orang yang saya baca gelagatnya.
Watson bingung tak kepalang. Selain orang yang saya tunjuk tadi mayoritas mengenal dia karena tetangga, hampir semua pembacaan saya benar adanya. Watson hampir nangis saat saya iseng memberitahu dia bahwa saya bisa “membaca” gelagat, bahkan melalui warna suara. Bukan isi pembicaraan seperti dia, tapi warna suara. Meski sesungguhnya, saya hanya iseng belaka.
“Asem eg, awakmu maca afiliasi organisasi seseorang hanya melalui warna suara, tanpa menganalisis isi pembicaraannya”.
Soal gelagat “membaca” manusia, dulu Watson dan saya memang sering gantian saling mengerjai. Tapi, kami berdua sepakat untuk kapok dan tak berani lagi ketika suatu malam, kami didatangi seorang Kiai dari Krian, Sidoarjo. Beliau menemui kami di masjid alun-alun Sidoarjo. Entah siapa yang memberitahu beliau tentang “kebiasaan nakal” kami membaca gelagat manusia.
Singkat cerita, di depan Kiai tersebut, kami berdua disidang sampai dinihari. Kami dibikin kapok gara-gara beliau tahu siapa orang tua kami dan bisa dengan mudah melapor kebiasaan buruk kami saat berada di luar rumah. Beliau bahkan bisa melihat perihal buruk yang kami lakukan di rentang waktu 7 hari terakhir.
Itu masih belum. Yang membuat Watson dan saya hampir melompat secara bersamaan adalah, ketika ternyata, beliau “membaca” kami bukan dari gelagat atau isi pembicaraan atau warna suara atau bahkan cara duduk, tapi dari interval detak jantung — sesuatu yang sangat samar dan sulit dikendalikan, apalagi dimanipulasi. Sejak saat itu, kami langsung kapok dan tak berani lagi untuk iseng membaca-baca.
** **
Namun, terlepas dari itu semua, Watson dan saya punya prinsip yang hampir mirip. Manusia dilahirkan untuk membaca ayat-ayat Tuhan yang tersebar di muka bumi. Dan fenomena, adalah bagian kecil dari ayat-ayat yang tertata rapi di rak pustaka milik Sang Pencipta. Itu alasan ayat pertama yang turun adalah Iqra!, bacalah!.
“Dan kamu harus tahu, Riz, gelagat manusia adalah bagian kecil dari fenomena.” Kata Watson suatu hari.
Fenomena, kata Watson, berasal dari Bahasa Yunani: phainomenon, yang artinya: apa yang terlihat. Dalam bahasa Indonesia, lanjut dia, itu bisa berarti: gejala dan hal-hal yang dirasakan pancaindra manusia.
Selain pembaca buku, Watson memang sosok yang saya akui kelihaiannya membaca fenomena. Karena itu, saya dan kawan-kawan menghubungkan nama Watson dengan istilah what’s going on. Lha wong dia sering tahu apa yang sedang dan akan terjadi, Je.
Watson sering tahu apa yang bakal terjadi di ranah politik nasional. Kudeta partai PKB, PPP, dan Golkar, misalnya, Watson bisa menjelaskan motif kudeta itu melalui sudut pandang Siyasah Islamiyyah hingga konsep Aristotelian. Apalagi kudeta Demokrat yang baru-baru ini terjadi, Watson sudah tahu bahkan sebelum ada niat pelakunya.
Satu hal yang mungkin tak pernah bisa dibaca Watson. Meski sering mengaku sebagai lelaki paling tampan di keluarganya, sampai sekarang, dia kerap gagal membaca siapa sosok yang kelak mau menikah dengannya.