Rhoma Irama dan Iwan Fals ibarat Gold D Roger dan Edward Newgate Shirohige. Dua sosok Bajak Laut melegenda dalam serial One Piece, yang tak hanya berkharisma, tapi punya pengaruh dan barisan massa seluas samudera.
Saya, amat jarang sekali —- untuk tak mengatakan tidak pernah —- nonton televisi. Tapi malam lalu, mata saya terpaku lama sekali menatap televisi, hanya karena secara tak sengaja, menatap dua sosok idola berdiri berdua di panggung yang sama.
Saya melihat dua sosok yang memperkenalkan dan membuat saya jatuh cinta pada musik — Rhoma Irama dan Iwan Fals — berdiri berdua di atas satu singgasana panggung. Praktis, keharuan kanak-kanak pun merembes di dalam hati saya.
Rhoma Irama dan Iwan Fals manggung di acara Konser Raya 25 Indosiar, Minggu (12/1/2020) malam. Dua musisi besar berbeda genre itu, bernyanyi bersama di atas panggung Jakarta Convention Center (JCC) Senanyan, Jakarta Pusat.
Menyaksikan Rhoma Irama dan Iwan Fals manggung bersama tentu momen yang teramat langka. Seingat saya, pertemuan itu belum pernah sekalipun terjadi. Sehingga saat menyaksikannya, ada perasaan lega yang entah dan asing di dalam dada.
Meski hanya menyaksikan melalui televisi di rumah, saya sudah merasa berada di venue paling depan di acara tersebut. Saya tak peduli lagu apa yang mereka berdua bawakan, melihat mereka berdua bertemu saja, saya sudah teramat senang.
Dalam imajinasi kanak-kanak saya, Rhoma Irama dan Iwan Fals ibarat Gold D Roger dan Edward Newgate Shirohige. Dua sosok Bajak Laut melegenda dalam serial One Piece, yang tak hanya berkharisma, tapi punya pengaruh dan barisan massa seluas samudera.
Mereka berdua, meski berbeda genre dan cara penyampaian, punya titik pemberontakan yang sama. Yakni protes terhadap kekakuan dan kejumudan terhadap Orde Baru. Meski tentu saja, caranya berbeda.
Rhoma Irama dan Iwan fals adalah dua sosok paling berpengaruh di belantika dunia musik Indonesia. Rakyat kecil hingga pejabat jumbo mengenal dan amat mengagumi mereka. Tak ada musisi Indonesia yang pengaruhnya melebihi mereka berdua.
Begitupun dalam kehidupan personal saya. Meski sempat punya referensi dan mengenal bermacam genre dan musisi, saya akan merasa kembali “pulang ke rumah” tatkala mendengar lagu Iwan Fals ataupun Rhoma Irama diputar.
Mereka berdua adalah simbol lelaki yang tak cengeng. Lelaki yang berani berkorban. Lelaki yang kuat menghadapi kenyataan. Lelaki yang, ah aku tak tahu harus menulis apa…
** **
Semenjak kecil, tiap pagi, di rumah saya hanya ada dua jenis musik yang diputar. Kalau bukan Hadrah Gambus Shalawatan ya Rhoma Irama. Kedua orang tua saya sangat mengidolakan Bang Haji. Sehingga, lagu Indonesia pertama yang telinga saya kenal adalah lagu-lagu Rhoma Irama.
Bapak yang seorang guru seni Hadrah, membuat saya sering bersinggungan dengan musik-musik religius. Dan Rhoma Irama, kata bapak, adalah musik umum yang amat kental dengan seruan agama. Tak pelak, telinga masa kecil saya sering mendengar lagu Rhoma Irama.
Lalu, menginjak remaja, saya tumbuh di lingkungan dengan tembok-tembok jalanan yang digambari wajah dan petikan lirik lagu Iwan Fals. Semua anak muda dan sanak saudara di tempat saya tinggal, selalu memperbincangkan dan menyanyikan lagu Iwan Fals.
Di kampung saya, belum kaffah menjadi seorang remaja jika belum bisa menyanyikan atau memainkan gitar lagu-lagu Iwan Fals. Kampung kami adalah kampung False atau kampung OI. Di bawah bimbingan Iwan Fals, kami menyebut diri kami sebagai anak-anak Falsisme.
** **
Saya berdiri di depan televisi. Menyaksikan detik demi detik —- sambil jeprat-jepret foto —- penampilan Bang Haji dan Bang Iwan. Seperti tahu perasaan para penggemarnya, Rhoma dan Iwan juga terdampar pada perasaan mengharu biru seperti yang saya rasakan.
Mereka berdua seperti dua anak kecil yang tak sanggup menutupi kekaguman satu dan lainnya. Seusai membawakan lagu, mereka ingin membicarakan sesuatu. Tapi gagal dan hanya diam lalu saling tersenyum seperti dua orang yang baru ketemu.
Saya menyaksikan Bang Iwan mencium tangan Bang Haji sebagai rasa takzim seorang adik pada kakaknya, “Sebelum di sini banyak yang ingin saya sampaikan, tapi begitu di atas panggung hilang semua,” ucap Iwan Fals malu-malu sambil berupaya menutupi keterharuan.
Mirasantika, Judi, Buku Ini Aku Pinjam, Santai dan Bongkar menjadi 5 lagu yang sempat dibawakan secara kolaboratif. Tentu saja, suara penonton jauh lebih menggema dibanding suara mereka berdua. Mengingat, lagu-lagu itu adalah lagu yang amat melegenda.
** **
Sebelum mengakhiri penampilan, Bang Iwan memanggil Raya Rambu Rabbani, anak ketiga Iwan Fals yang menurut Iwan, berwajah sangat mirip Ridho Rhoma, putra Rhoma Irama. Iwan meminta anaknya itu untuk salim pada Bang Haji.
Bang Haji dan Bang Iwan juga memanggil masing-masing perwakilan dari Fans of Rhoma Irama dan Soneta (FORSA) dan Orang Indonesia (OI) untuk maju ke depan sambil saling berpelukan, sebagai simbol perdamaian Indonesia.
Iwan sempat berkata, dan ini kata-kata yang amat saya ingat: segala sesuatu yang dari hati pasti sampai ke hati, kata-kata Bang Haji itu membuat saya menjadi berani melangkahkan kaki di dunia yang ajaib ini,” ucap Iwan disertai tawa-tangis khas seorang lelaki yang tidak cengeng.
Mereka berdua sempat terdiam dan bingung mau ngomong apa. Sebelum akhirnya, Bang Haji memberikan cendera mata untuk Iwan Fals berupa gitar, “izinkan saya memberi cendera mata untuk Anda. Semoga ini bisa menjadi kenang-kenangan persahabatan kita,” ucap Bang Haji.
Bang Iwan tampak sangat terharu. Matanya berkaca-kaca bahkan jelas meneteskan air mata. Namun, sebagai lelaki yang tak mau cengeng, dia berupaya menutupi keharuan itu dengan bergurau sambil tersenyum dan tertawa.
Bang Iwan sempat diam dan bingung mau berkata apa, sebelum akhirnya meluncur kalimat yang amat menggetarkan, “Bang Haji, nanti jadi imam di masjid dekat rumah saya.”
“Iya, nanti kita salat jumat bareng.” Jawab Rhoma Irama.
Sepersekian waktu, saya melihat mereka berdua menangis. Benar-benar menangis. Dan momentum itu membuat tangan saya bergetar saat memegang ponsel kala berusaha memotretnya.
Rhoma Irama dan Iwan Fals simbol ketidakcengengan bagi saya. Karena itu, saat menyaksikan momen tersebut, saya berupaya tak mau menangis. Meski tentu saja, upaya itu gagal belaka.