Gambaran umat kristen di Bojonegoro dari masa era kolonialisme, Perang Dunia II, masa kemerdekaan, hingga sekarang— dilihat dari tinjauan historis.
Satu nusa, bangsa, bahasa, dan enam agama. Keharmonisan dan keberagaman umat beragama nampak di Bojonegoro. Salah satunya umat Kristen khususnya di kabupaten dengan semboyan Jer Karta Raharja Mawa Karya ini, yang beberapa hari lalu merayakan natal.
Menuju pergantian tahun. Desember, selain gede-gedene sumber , juga jamak ditemui bangunan bongkar pasang berupa pos keamanan natal dan tahun baru. Desember, sering kali rintik hujan turun membasahi bumi, merupakan nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun rintik hujan yang keterlaluan, memberikan sebuah pelajaran, manusia telah bertindak berlebihan pada alam.
Hiasan lampu warna warni, sinterklas dengan kereta rusanya, dan kepulan asap dari cerobong asap sebagian rumah orang menjadi saksi bisu perayaan natal dan menyambut tahun baru masehi.
Entah pada suatu malam (beberapa tahun yang lalu). Saya berkunjung ke GKJTU Bojonegoro bersama kawan saya. Disambut dengan ramah dan hangat oleh beberapa orang yang sedang duduk di kursi yang berada di sekitar gereja.
Saya dan kawan saya, diajak masuk untuk menyaksikan keindahan gereja tertua di Bojonegoro. Dilihatkan foto pemimpin layanan umat, dari masa ke masa.
Dan sebelum menabung rindu lagi, saya dan kawan saya diberi sebuah tulisan yang amat sangat berharga. Tentang sejarah GKJTU Bojonegoro. Senangnya sanubari bukan main, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak GKJTU Bojonegoro.
Beberapa hari yang lalu, ketika melintasi Jalan Teuku Umar, tak lupa untuk melemparkan pandangan ke gereja tertua di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini. Sebuah bangunan putih, di depannya terdapat burung gereja yang menari-nari dengan riang.
Kira-kira, apa saja yang Nabsky lihat ketika melintasi Jalan Teuku Umar? Ada masjid, gereja, kolam renang, restoran, hotel, dan gedung sekolah.
Salah satu objek di Jalan Teuku Umar adalah gereja tertua di Bojonegoro, GKJTU. Bagaimana perkembangan GJKTU Jemaat Bojonegoro dari masa ke masa?
Berikut GKJTU Jemaat Bojonegoro dari masa ke masa, merujuk pada tulisan yang ditulis oleh Ir. Slamet Riyadi (2018).
Masa Perintisan (1903-1914)
Tanggal 31 Maret 1903, datang seorang misionaris Salatiga Zending bernama Wilhelm Barth dalam rangka merintis gereja di Bojonegoro. Wilhelm Barth berasal dari Weiterode, Jerman. Pada tahun 1894-1899, Wilhem Barth studi di seminari misi di Neukirchen, Jerman.
Diutus ke Jawa pada tahun 1899 oleh Yayasan Misi “Neukichener Mission”, setelah tiba di Jawa, Wilhelm Barth belajar bahasa Jawa dan menikah dengan Gesina Lopman pada tahun 1901. Kemudian, baru pada akhir bulan Maret 1903 keluarga Wilhelm Barth ditempatkan di Bojonegoro.
Keluarga Wilhelm Barth dikaruniai anak putri ‘Anna Margarette’ yang lahir di Kaliceret. Baru berusia beberapa bulan di bawa ke Bojonegoro.
Perlu diketahui, ruang lingkup pelayanan Lembaga Salatiga Zending dari pemerintah Hindia Belanda adalah di Jawa Tengah Utara dan Karesidenan Bojonegoro. Salatiga Zending terbentuk dari Neukichener Mission dan misionaris Belanda yang diutus “Vereniging tot Ondersteuing van de Zendeling der Salatiga Zending op Java” (Perhimpunan untuk mendukung para Misionaris Salatiga Zending di Jawa), yang berpusat di Utrecht, Netherlands.
Ihwal pelayanannya di Bojonegoro, Wilhelm Barth didukung oleh asisten residen Bojonegoro yang merupakan seorang Kristen yang taat dan setia. Mereka bersama-sama mendirikan pelayanan medis dengan bermodal pengetahuan medis yang sedikit.
Pengetahuan medis diperoleh ketika ngangsu kaweruh di seminari. Kemudian masyarakat sekitar lebih menganggap Wilhelm Barth sebagai dokter.
Bart juga mengadakan kelompok PA bagi tentara Kristen dari Ambon di barak mereka. Gesina Lopman juga membuka kelas menjahit, awalnya hanya untuk gadis Belanda, namun lama kelamaan juga diperuntukan gadis Jawa.
Dalam perkabaran Injil, keluarga Barth dibantu oleh Guru Injil Jawa, GI Jochanan (hanya sepuluh hari) dan GI Joesep (dari Tugu) beserta anaknya Johanes, yang mengajar di sekolah zending yang baru didirikan.
Pada tahun 1904, guru sekolah Jawa ‘Johanes’ pergi, kemudian diganti oleh Jakobus. Sedangkan GI Joesep melayani pepathan Ngringin dimana lokasinya berjarak kurang lebih 9 kilo meter dari Bojonegoro ke barat.
Untuk mengembangkan sayapnya, pepathan baru ini segera mendirikan sekolah Kristen yang pada waktu itu diserahkan seorang guru Jawa bernama Samsudin dengan jumlah murid mula-mula 18 orang anak.
Disamping itu, Wilhelm Barth dari awal berusaha agar mendapat lahan untuk membangun gedung gereja. Karena perlu perjuangan yang keras untuk mendapatkan tanah.
Atas bantuan misionaris yang lain plus pemerintah Hindia Belanda, maka terkumpulah dana untuk membeli sebidang tanah seluas 2 hektare yang terletak di Kadipaten (sekarang sekitar Jalan Teuku Umar).
Pada tanggal 7 November 1905, didirikan terlebih dahulu sebuah tempat kediaman pastor/pastoran. Selama kurang lebih 3 bulan, setelah pembangunan pastoran, dibangunlah gereja perdana di Bojonegoro.
Pembangunan gereja itu selesai pada Desember 1905. Kemudian pada tanggal 10 Desember 1905 diresmikan sebagai jemaat yang mula-mula di Bojonegoro. Pada 25 Desember 1905, ada baptisan pertama dengan 16 orang percaya sebagai hulu hasil pelayanan Barth dan pelayanan guru Injil Jawa. Diantara yang dibaptis adalah Lurah Desa Ngringin bersama istrinya, kedua mertuanya, dan tiga anaknya.
Masa Perkembangan (1914-1940)
Pada tahun 1907, Wilhelm Barth mendirikan rumah sakit yang sekarang namanya rumah sakit “Sosodoro” yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
Selain itu, Wilhelm Barth juga mendirikan sekolah Kristen, sekolah zending yang pertama kali didirikan berada di belakang gereja. Dengan guru Jakobus. Yang sekarang bernama SD Mardisiswo dan TK Petra.
Perjuangan Barth dibersamai istrinya, Gesina Lopman juga mendirikan sekolah bagi putri Jawa dari keluarga terkemuka. Melalui sekolah itulah, pelayanan tersebut mendapat respon positif dari masyarakat sekitar.
Respon positif dibuktikan dengan bertambahnya warga jemaat dan jumlah jemaat yang aktif mengikuti kebaktian sekitar 50-60 orang dari kalangan dewasa dan anak-anak.
Pada tahun 1909, keluarga Wilhelm Barth harus ke Jerman untuk menyekolahkan anak mereka, Nonik Anna Margaret. Karena Anna Margaret sudah mencapai usia Sekolah Dasar (SD).
Selama mereka berada di Jerman, pelayanan di Bojonegoro dilanjutkan oleh keluarga Bapak Friendrich dan Ibu Clara yang berasal dari Jerman juga.
Ketika berada di Jerman, keluarga Wilhelm Barth merindukan sekali suasana di Bojonegoro. Kemudian pada tahun 1912, mereka meninggalkan anak tunggal mereka ‘Anna Margarete’ di Jerman dan Wilhelm Barth serta Gesina Lopman kembali ke Bojonegoro dan melanjutkan pelayanan mereka periode 1912-1914.
Pada Februari 1914, konferensi Salatiga Zending memutuskan keluarga Barth dipindahkan ke tempat lain di wilayah Salatiga Zending.
Kemudian Bapak Heinrich Niephaus dari Capellen dan Ibu Johana Niephaus menggantikan tugas keluarga Barth di Bojonegoro. Mereka tiba di Bojonegoro pada tanggal 1 Oktober 1914. Sebelumnya keluarga Niephaus melayani di Semarang dalam bidang penerbitan Kristen.
Ketika mereka di Bojonegoro, mereka melayani dengan cara membagikan majalah Kristen berbahasa Jawa dengan nama “Mardi Rahardjo” dan “Layang Kabungahan” dan juga majalah “Penabur”. Pada tahun 1918, keluarga Niephaus bisa membeli sebidang tanah dekat gereja untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Belanda dan Tionghoa.
Pada tahun 1920, sekolah tersebut tutup karena kesulitan mencari guru. Kemudian gedung dialih fungsikan sebagai tambahan untuk gedung rumah sakit. Bersama dengan guru Injil Jawa, keluarga Niephaus merintis pepathan baru di daerah Cengkong, Parengan.
Karena penduduk Cengkong masih animistis, hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam hal melakukan pelayanan.
Pada tahun 1919, Cengkong bisa dicapai dalam waktu 10 menit. Karena kereta api jalur Bojonegoro-Jatirogo-Rembang beroperasi.
Sisa-sisa jalur kereta api itu, bisa dilihat di Jembatan Kaliketek lama, sekitar Pasar Halte (Banjarejo), dan Ngrowo. Adanya kereta api menunjang pelayanan, sehingga pelayanan di daerah Cengkong menjadi lancar.
Niephaus juga memanfaatkan perjalanan ke Cengkong lewat kereta api untuk membagi majalah penginjilan. Karena hal itu, Niephaus bersama penginjil Jawa bisa membuka papathan baru di Jatirogo, Kradenan, Kwangenrejo, Tuban, Pulo, dan Babat.
Pada tahun 1923, terjadi pergantian dari keluarga Niephaus ke Bretzler yang berasal dari Jerman juga. Keluarga Bretzler berusaha keras untuk mendapatkan seorang suster dan bidang yang berkualitas. Pada tahun 1925, Johanes Bretzler mendapat suster, Kathe Weiss.
Namun pada tahun 1925, Johanes dan Elisabeth Bretzler pindah ke Blora dan hanya sesekali berkunjung ke Bojonegoro.
Pada tahun 1925, belum ada misionaris untuk memimpin pelayanan di Bojonegoro. Maka dari itu suster Kathe Weiss juga mengajar sekolah minggu, pemberian pelajaran ilmu agama Kristen/katekisasi, mengabarkan injil, dan memimpin seluruh pelayanan di Bojonegoro.
Pada tahun 1927, suster Kathe Weiss menderita penyakit kulit dan terpaksa harus pulang ke negara asalnya, Jerman, untuk menjalani perawatan.
Akhirnya, pelayanan di Bojonegoro diserahkan kepada Emil Karl Erich Heintze dari Essen (Jerman) dan Anna Margarate Heintze. Dan keluarga Bretzler meneruskan pelayanannya di Blora.
Anna Margarete Heinze merupakan buah hati dari Wilhelm Barth dan Gesina Lopman yang lahir di Kaliceret pada tahun 1903.
Anna Margarete melewati masa kecilnya di Bojonegoro, kemudian mulai tahun 1909 kembali ke Jerman untuk bersekolah di Neukirchen, Deutschland.
Pada tahun 1927, Anna Margarete rindu tanah kelahirannya, Bojonegoro. Kemudian Anna Margarete bersama suaminya melanjutkan pelayanan yang dirintis oleh orang tuanya di Bojonegoro.
Pada tahun 1934, keluarga Heintze kembali ke Jerman dan meninggalkan tanah Jawa. Kemudian pada tahun 1936, suami Anna Margarete dipilih sebagai sekretaris I Komite Pendukung Salatiga Zending ‘Vereeniging tot Ondersteuning van de Zendeling der Salatiga Zending op Java’ di Utrecht, Belanda.
Pelayanan di Bojonegoro dilanjutkan oleh Paul Kroh dari Schullar, Jerman. Paul Kroh bersama isrtinya ‘Martha Kroh’ sebelum di Bojonegoro, pada tahun 1925 melayani di Moga, dan pada tahun 1934 pindah ke Bojonegoro.
Pada tahun 1935-1937, Bapak Paul dan Ibu Kroh cuti di Jerman. Pelayanan di Bojonegoro diwakili oleh Alfred dan Lydia Flick.
Kemudian pada tahun 1937-1940, keluarga Kroh kembali melanjutkan pelayanan di Bojonegoro. Selain itu, Paul Kroh juga menjabat sebagai ketua gabungan misionaris Salatiga Zending.
Masa Suram (1940-1950)
Periode masa suram terjadi kurang lebih 10 tahun. Karena dalam kurun waktu 1940-1950, GJKTU Jemaat Bojonegoro benar-benar mengalami ujian berat karena situasi politik global yaitu Perang Dunia II.
Pada tanggal 10 Mei 1940, Jerman menyerang Belanda kemudian semua misionaris Jerman di Hindia Belanda ditangkap, termasuk Bapak Paul Kroh.
Sedangkan Ibu Martha Kroh bersama anak-anak dipindahkan ke Sarangan. Karena Perang Dunia II berlangsung disusul Perang Kemerdekaan, maka lebih dari satu dekade misionaris Jerman tidak dapat kembali ke tanah Jawa.
Sebelum tahun 1940, jemaat Bojonegoro sudah mandiri dan memiliki pandhita Jawa yaitu Bapak Pendeta R. Soetjipto.
Sehingga pelayanan yang ditinggal keluarga Kroh, bisa digantikan dan dilanjutkan oleh Pendeta R. Soetjipto. Namun ketika pada masa penjajahan Nippon/Jepang, keadaan jemaat memprihatinkan.
Pendeta R. Soetjipto juga pernah diinterogasi dan dipenjara oleh penjajah Jepang.
Karena tindakan represif tentara Jepang, orang-orang Kristen yang berada di kota maupun di desa semakin berkurang.
Di masa penjajahan Nippon, gedung gereja di Bojonegoro pernah dirampas dan dijadikan gedung sandiwara. Maka dari itu, jemaat Bojonegoro harus melakukan kebaktian di rumah masing-masing.
Masa Pertumbuhan Kembali (1950-sekarang)
Jemaat Bojonegoro mengalami pertumbuhan kembali. Masa yang suram telah sirna, lahir masa yang cerah. Dibuktikan dengan berdirinya pepathan baru, yaitu di Padangan, Kalitidu, Kendung, Sugihwaras, Sroyo, Sumberejo, Lamongan, Babat, Ngasemlemahbang, dan Sumber Gondang.
Juga ada di Mojoranu, Dander, Bubulan, Kwangenrejo, Gares, Kedungadem, Tondomulo, Jatirogo, Cengkong, dan Tuban.
Pada tahun 1954, Paul Kroh sempat berkunjung ke tanah Jawa lagi, terutama untuk menyerahkan tanah-tanah zending kepada pasamuan dengan atas nama pendeta-pendeta jemaat, di Bojonegoro kepada Pdt. R. Soetjipto.
Pada tahun 1958, Pdt. R. Soetjipto mendirikan sekolah Alkitab yang diberi nama Sabdo Mulyo. Dibantu oleh seorang misionaris dari Deutschland, Detmar Scheunemann.
Dari GKJTU Jemaat Bojonegoro, kemudian lahirlah gereja-gereja tetangga antara lain, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) yang berada di Jalan Basuki Rahmat, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Bojonegoro berada di Jalan K.S. Tubun, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bojonegoro berada di Jalan Rajawali, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1999, setelah Bapak Pendeta R. Soetjipto dipanggil Tuhan kemudian digantikan putranya yaitu Bapak Pendeta Permadi.
Pada tanggal 17 Agustus 2010, terjadi pergantian pendeta dari Bapak Permadi ke Pdt. Akris Mujiyono. Menjadi pendeta sampai tanggal 3 September 2017, Pdt. Akris Mujiyono mengundurkan diri dalam rangka melanjutkan studi di Salatiga, Jawa Tengah.
Kemudian sejak tanggal 4 Juni 2018 hingga sekarang, GKJTU Jemaat Bojonegoro dilayani oleh Pdt. Filemon Henry Wibowo.
Dan pada tahun 2020 ini, perayaan natal plus tahun baru berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Karena ada pandemi covid-19. Namun adanya pandemi covid, tidak mengurangi esensi natal bagi umat Kristen.
Itulah, Nabs. Bagaimana perkembangan GKJTU Jemaat Bojonegoro dari masa ke masa. Jika Nabsky kepo, maka Nabsky harus berkunjung ke Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Bojonegoro yang berada di Jalan Teuku Umar. Untuk menutup ketikan ini, ada kalimat menarik dari Romo Mangunwijaya, “Perempuan adalah bumi, yang menumbuhkan padi dan singkong, tetapi juga yang akhirnya memeluk jenazah-jenazah manusia yang pernah dikandung dan disusuinya.”