Seharusnya kamu sudah tahu kalau Kopinem akan seramai ini. Ini Sabtu malam. Muda-mudi duduk berdua. Benar kata para insan bercinta di luar sana, Tuhan menciptakan hari Sabtu untuk pacaran.
Kamu tidak bisa menyembunyikan wajah masam di balik buku yang kau baca. Kamu menyesal tidak datang ke kedai kopi yang biasanya saja. Di sana, pasti kamu bisa khusyuk menyelami kata demi kata yang disampaikan Mario Vargas Llosa.
Membaca rangkaian kata di mana kamu menemukan dirimu sendiri. Kata sarkastik yang menghujam secara magis. Kamu merasa tulisan semacam itu romantis. Tidak peduli orang lain lebih suka romansa picis.
Tapi kamu menyerah pada aura kasmaran yang menyelimuti warung kopi itu.
Kamu tidak ingin melanjutkan bukumu. Kini, keinginan untuk membaca manusia di sana jauh lebih besar. Matamu tampak malas menyisir segala penjuru warung Kopinem. Berharap menemukan visual yang menarik untuk diselami melalui fiksi.
Di seberangmu, berjarak sebuah meja kosong yang menumpu gelas-gelas bekas pengunjung yang baru pulang. Ada sepasang lelaki – perempuan yang sedang berbincang dalam situasi yang canggung tapi manis.
Si lelaki menyesap kopi susu sembari mengisap dalam-dalam rokok Lucky Strike. Si perempuan meneguk cokelat panas dan sesekali mengecek telepon genggam tanpa tujuan. Mungkin untuk mengalihkan kecanggungan.
Kamu mengira-ngira dalam fiksi, mungkin si lelaki itu menyembunyikan rasa penasaran. Tentang si perempuan. Tentang hari-harinya, lagu kesukaannya, atau mungkin alasan mengapa dia mau duduk di sini bersamanya. Tapi sungguh lihai si lelaki menyembunyikan rasa penasarannya itu dalam gerak kikuk yang menggelikan.
Sedangkan si perempuan, berusaha menutupi beribu pertanyaan. Dengan mata yang tidak berhenti berbinar. Dia ingin mengenal si lelaki, tanpa tahu harus mulai dari mana. Akhirnya mulut si perempuan mengeluarkan kata-kata. Sayang, suaranya teredam oleh gelak tawa di sudut lain warung kopi. Kamu hanya bisa mencoba membaca gerak bibirnya.
Seperti itu, hingga tiga puluh menit berlalu. Kamu tenggelam dalam imaji. Menerka bagaimana kelanjutan dari romansa lelaki dan perempuan canggung itu. Di menit ke tiga puluh dua, kamu semakin tenggelam dalam imaji di kepalamu. Melupakan visual lelaki – perempuan yang tak kunjung kau ketahui bahasannya itu.
Kamu terlempar ke momentum tahun lalu. Kebetulan di musim yang sama. Musim ketika kamu menunggu datangnya sore yang mendung. Tetesan air hujan yang menggantung di langit entah lapis ke berapa. Musim yang paling kamu sukai. Kamu terjebak dalam romansa yang tidak kalah canggung.
Hari itu kamu menemui seorang teman yang telah lama kamu kenal. Terpisah jarak dalam dunia nyata, namun disatukan melalui dunia digital. Kamu tidak tahu. Apakah Tuhan mendesain dunia digital untuk membuat hari-hari manusia lebih berwarna. Apakah Tuhan sengaja menciptakan dunia maya yang tidak dapat disentuh raga, namun terlalu dalam mengisi jiwa.
Sebuah ajakan untuk menyesap kopi di kampung halaman. Setelah sekian lama kamu hanya bertahan dengan kopi di kota metropolitan. Dia mengatur sebuah pertemuan di kedai kopi yang syahdu. Agak jauh dari pusat kota. Dengan hamparan sawah sebagai pemandangannya.
Dia telah tiba terlebih dahulu. Tiba-tiba sebuah perasaan sesak yang asing menghampiri. Entah apa yang terjadi, jantung rasanya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Deg-degan sepertinya. Kamu menyapanya dengan menyembunyikan canggung yang menyenangkan.
Baca Juga: Fiksi Akhir Pekan Lainnya
Obral-obrol tentang apa kabar, sibuk apa, dan pertanyaan receh lainnya. Istimewanya, kamu dan dia membuat percakapan ini menjadi begitu dalam. Jawaban-jawaban yang tak terduga, dan kisah perjalanan di hari-hari yang lalu.
Ah sial, baru saja sepuluh menit berlalu lambat dan begitu menyenangkan. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata itu temannya. Dia harus membagi obrolan dengan orang lain. Kamu menyembunyikan rasa kecewa dengan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas.
Dia memperhatikan sekilas, sambil meladeni obrolan temannya.
Dua belas menit berlalu, temannya pamit. Kamu kegirangan dalam sembunyi. Dia tidak segera memulai percakapan kembali.
Di sudut matamu, kamu memperhatikannya sedang melihatmu membaca. Lalu, dia berkata, “Aku suka karakter Nyai Ontosoroh di buku itu.”
Kamu melihatnya seraya tersenyum. Hari itu adalah pertama kalinya kamu membaca tulisan Pram. Hari itu juga, kamu jatuh hati pada dua insan.
Pertama, kamu jatuh hati pada Pram dan tulisan magisnya. Kedua, kamu jatuh hati pada lelaki di depanmu. Hari itu pula, kamu menyadari bahwa rasamu masih bisa mengolah romansa.
Tiba-tiba tetesan air menyentuh rambut hitammu. Ternyata air hujan sudah menampar-nampar atap seng Kopinem. Percikannya mulai membasahi mukamu. Itu menyadarkanmu dari lamunan.
Melemparkan kamu kembali ke realitas. Si lelaki dan perempuan canggung tadi sudah pulang. Kemudian kamu melirik telepon genggam, ternyata sudah pukul delapan lebih dua puluh tiga.
Ponselmu bergetar. Satu notifikasi tampil di layar. Dari seorang teman, yang mengisi lamunanmu tadi: “Ayok ngopi…” begitu kalimat tertera di layar ponselmu.
Lalu kamu tersenyum. Lalu membereskan barang di meja. Lalu kamu berharap hujan segera reda, sekaligus bisa bersua dengannya. Lalu ~