Dalam perihal berkembangnya islam, Arab dan Jawa tak bisa dipisahkan. Ini alasan kenapa huruf jawa (hanacaraka) kakinya di bawah, sementara huruf arab (hijaiyah) kakinya di atas. Sebab, saling melengkapi.
Jauh sebelum rezim khawarij wahabi mengkudeta Makkah, tanah Hijaz (Makkah-Madinah) adalah samudera ulama Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Yang mana, di dalamnya, dipenuhi banyak sekali gugusan bintang ulama Aswaja dengan nisbat Al Jawi.
Al Jawi, kita tahu, adalah nisbat bagi ulama Nusantara dan Melayu yang belajar dan berkiprah di tanah Haramain (Makkah-Madinah). Para ulama bernisbat Al Jawi, ada yang belajar lalu pulang. Ada juga yang mengajar dan menetap di sana hingga wafat.
Para ulama Nusantara membentuk rantai jejaring Aswaja yang transmisinya tak pernah putus dari generasi ke generasi. Keberadaan dan eksistensi mereka mulai agak memudar, sejak rezim wahaboy (Ibnu Saud) mengkudeta dan menguasai Arab. Tapi tetap ada.
Jauh sebelum tokoh-tokoh wahaboy memonopoli fashion kearab-araban, ulama Nusantara sudah masyhur sebagai pemegang esensi keilmuan di Makkah. Ini penting untuk diketahui agar kita bisa bangga akan keislaman Nusantara. Keislaman Aswaja khas masyarakat Indonesia.
Dalam kitab Imta’ Ulin-Nazhar bi Ba’dhi A’yanil-Qarn ar-Rabi’ ‘Asyar yang disunting Dr. Mahmud Sa’id Mamduh Mesir, tercatat ada 26 ulama Nusantara berpengaruh di Makkah.
Bahkan, jumlah itu masih bertambah. Seperti dijelaskan dalam buku 100 Ulama Nusantara di Tanah Suci karya Dr. Maulana La Eda.
Ulama Nusantara memiliki peran intelektual di Makkah. Penulis Buku Mahakarya Islam Nusantara, A Ginanjar Sya’ban mengatakan, ada satu kajian yang ditulis forum-forum intelektual di Makkah.
Pada abad ke-19 dan abad ke-20, komunitas terbesar di Masjidil Haram adalah penganut Mazhab Syafi’i.
Dan hebatnya, menurut Sya’ban, sebanyak 60 persen pengajar dari unsur syafi’i di Masjidil Haram berasal dari Nusantara. Sebab, mereka banyak menulis karya-karya keilmuannya kedalam Bahasa Arab.
Menurut Sya’ban, masyarakat Nusantara yang ada di Makkah, punya keistimewaan dibanding masyarakat bangsa lain. Sebab, mayoritas masyarakat Nusantara di Makkah berasal dari kalangan intelektual dan para pelajar. Berbeda dengan orang-orang dari bangsa lain yang bekerja dan berdagang di Makkah.
Keberadaan ulama Nusantara di Makkah, tercatat mulai bergeliat sejak abad ke-18 (1700 masehi), dengan ditandai hadirnya tokoh-tokoh dari Nusantara yang terkenal dengan sebutan Empat Serangkai Ulama Tanah Jawi. Mereka adalah:
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Al Jawi (Kalimantan/ 1710 –1812), Syekh Abdus Shomad Al Falimbani Al Jawi (Sumatera/ 1704 –1785), Syekh Abdurrahman Mishri Al Batawi Al Jawi (Jawa), dan Syekh Abdul Wahab Bugis Al Jawi (Sulawesi/ c. 1725 – 1790).
Lalu disambung generasi; Syekh Abdul Ghani Al Bimawi (c. 1780 – 1848), Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi (1803 –1875), Syekh Nawawi Al Bantani (1813 – 1879), Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (1860 – 1916), hingga Syekh Mahfud at-Tarmasi (1842 – 1920), dll.
Dari generasi itu, muncul generasi berikutnya lagi yakni Syekh Nahrawi Al Banyumasi (1860 – 1926), Syekh Abdul Hamid Al Kudusi (1860 – 1915), Syekh Mukhtar Al Bughuri (1862 – 1930), Syekh Baqir Al Jugjawi (1884 -1941), dll.
Kemudian disusul generasi Syekh Ahyad Al Bughuri (1885 – 1952), Syekh Sulaiman Kurdi Al Bojonegori (1904 – 1953), Syekh Abdullah Durdum Al Fadani (1915 – 1987), hingga Syekh Yasin Al Fadani (1916-1990).
Daftar di atas adalah representasi dari nama tokoh yang cukup populer di zamannya saja. Sebenarnya, di masing-masing zaman, masih ada banyak nama lain seperti Syekh Abdusy Syukur Surabaya hingga Syekh Muhammad Garut. Hanya, masih kurang dibahas hingga tak dikenal.
Pegon: Kolaborasi Arab dan Jawa
Arab dan Jawa tak bisa dipisahkan. Ini alasan kenapa huruf jawa (hanacaraka) kakinya di bawah, sementara huruf arab (hijaiyah) kakinya di atas. Sebab, saling melengkapi.
Ini juga alasan lahirnya konsep huruf pegon. Hurufnya memakai hijaiyah, tapi bahasanya memakai jawa (nusantara). Hakekat dari itu semua, tentu saja, adalah konsep filtrasi-akulturasi yang berorientasi pada keseimbangan dan keberlanjutan.
Huruf Pegon berasal dari lafal Jawa Pego, yang punya arti menyimpang. Sebab, huruf pegon menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa.
Arab Pegon disebut pula Arab Pego atau Arab Jawi, yaitu tulisan yang menggunakan hijaiyah, tapi pakai bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya (sesuai daerah penulisnya).
Sejarah penulisan Arab Pegon di Nusantara diperkirakan sudah ada sejak tahun 1300 M/1400 M seiring dengan masuknya agama Islam menggantikan kepercayaan animisme, Hindu, Budha.
Terkait penemu huruf pegon, ada banyak versi. Ada yang bilang ia digagas oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Pesantren Ampel Denta Surabaya. Ada yang bilang ia digagas Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga yang berpendapat bahwa huruf Arab Pegon sudah ada sebelum kehadiran tokoh-tokoh tersebut.
Di pesantren-pesantren salaf di tanah Jawa, sudah mentradisi penggunaan huruf Arab Pegon dalam memahami teks-teks Kitab Kuning.
Huruf Arab Pegon mempunyai keunikan tersendiri. Jika dilihat dari kejauhan, tulisannya seperti tulisan Arab. Namun, susunan atau rangkaian huruf-hurufnya bukan susunan bahasa Arab. Orang Arab asli tidak akan bisa membaca tulisan Arab Pegon. Seandainya mereka bisa membacanya, niscaya tidak sejelas dengan bacaan orang nusantara.