Apa juapun yang akan menimpa diri kami. Dahulu seperti gaib belaka, kini telah terang benderang yang nyata, mudah saja.
Begitulah kutipan surat Kartini pada sahabat penanya, Nyonya Van Kol. Sebuah kebimbangan yang diterangkan oleh nyala semangat. Surat ini ditulis pada 21 Juli 1902. Kutipan tersebut menyuarakan betapa dalam jiwa Kartini, berkobar cita-cita mulia untuk memerdekakan diri.
Sejak kecil, Kartini diajari berlaku sebagai insan yang tunduk pada kultur laki-laki. Seolah-olah, anak perempuan lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki. Ibunya, saudara-saudara perempuannya, teman-teman di lingkungannya. Semuanya mengamini pemikiran yang sama.
Namun, sosok Kartini di usia belasan tahun, selalu melawan. Sanubarinya mengobarkan perlawanan terhadap keadaan yang memasung dan menghalanginya dan perempuan-perempuan lainnya.
Ibarat sebuah mercusuar, ia ingin menerangi jalur yang baru. Agar kapal-kapal tak terus menerus menabrak karang yang sama. Dia pun harus menempuh jalur yang baru. Jalur yang belum nyata di hadapannya. Tak peduli jika dalam hati dan pikirannya masih gelap.
Dengan semangat Kartini tentang cita-cita dan tentang hadirnya terang. Rasanya ada yang mengganjal di hati. Bila Hari Kartini dirayakan dengan memakai baju adat, lomba memasak dan lomba berdandan. Rasanya, ada yang salah dari cara kita memaknai perjuangan emansipasi yang dijunjung Kartini.
Memaknai Hari Kartini lebih dari sekadar selebrasi dan perlombaan yang berkutat dengan masak dan macak. Sebab perjuangan Kartini, justru berusaha merombak pelabelan perempuan dan kegiatan domestik.
Bukan berarti Kartini melarang kita untuk masak, macak dan menjalankan fungsi biologis untuk manak. Justru, Kartini berjuang agar selain stereotype 3M itu, perempuan punya andil yang lebih besar.
Tugas kita saat ini sebenarnya tidak sulit, Nabs. Sebab Kartini telah menyusun batu bata perjuangan yang tinggal kita teruskan. Perjuangan ini pun telah dipertebal generasi-generasi sebelum kita. Kita patut berterimakasih pada perubahan zaman. Karenanya, saat ini, perjuangan kita ibarat memasang lampu dan perabotan dari rumah yang dibangun Kartini.
Untuk bisa memasang lampu dan perabotan rumah yang sesuai dengan blueprint sang arsitek, kita bisa menyusuri semangat juang melalui surat-surat Kartini kepada sahabat penanya yang berada nun jauh di Eropa.
Salah satunya, yang telah dituangkan dalam buku yang disalin dan disusun oleh Armijn Pane. Dengan tajuk Habis Gelap Terbitlah Terang terbitan Bentang Pustaka. Dalam buku itu, Armijin Pane tidak hanya menuliskan kembali ide dan gagasan Kartini.
Ia juga merangkainya dalam pesan-pesan konstruktif untuk kita resapi. Armijn Pane juga menuliskan kondisi jaman dan keluarga yang membentuk semangat Kartini kala itu.
Kartini memang dilahirkan dalam sebuah keluarga dengan privilege yang tidak didapatkan oleh orang lain di jamannya. Kakek Kartini, P.A. Tjondronegoro, memiliki pemikiran yang maju. Bahwa anak-anaknya harus bisa belajar ala orang Belanda. Tak peduli laki-laki maupun perempuan, anak-anaknya harus mengenyam pendidikan.
Kartini adalah putri dari Bupati Rembang, R.M. Adipati Ario Sosroningrat. Satu dari empat bupati di seluruh pulau Jawa dan Madura yang pandai menulis dan bercakap dalam bahasa Madura di tahun 1900an.
Darah perjuangan inilah yang kemudian menurun ke Kartini. Meskipun keluarganya memiliki privilege sedemikian rupa. Tidak membuat Kartini luput dari kultur dan pemikiran yang memenjarakannya.
Kultur pingitan yang membuatnya harus berhenti sekolah dan bersosialisasi dengan dunia luar. Tradisi yang membuatnya harus dipenggal dari cita-citanya untuk mengajar dan menanamkan nilai pemberontakan terhadap keterbatasan.
Kartini ibarat burung yang telah merasakan udara kebebasan. Merasakan perbedaan dibanding perempuan seumurannya yang dikurung dalam sangkar, menantikan pingitan. Namun, kemudian ia terpaksa kembali ke sangkarnya.
Sebagai turunan keluarga yang menjadi pembuka jalan. Para pendobrak ikatan adat dan kebiasaan. Timbulah suara-suara dalam jiwa Kartini untuk memberontak. Kemudian dituangkan dalam dialektika bersama sahabatnya di Eropa yang memiliki nasib yang berbeda.
Sama dengan Kartini, kita juga punya privilege. Bahkan jauh lebih beruntung daripada apa yang dimiliki Kartini. Tidak ada lagi batasan bagi perempuan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Mempelajari banyak hal seluas-luasnya.
Tapi, nyatanya penjara itu masih ada. Bukan dalam bentuk tradisi pingitan atau keharusan untuk menunggu pinangan laki-laki yang tak dikenal. Namun penjara dalam kepala kita sendiri. Yakni rasa ragu dan takut. Penjara ini yang menahan kita untuk melihat dunia yang telah menjadi sesempit daun kelor karena mudahnya akses pengetahuan.
Katakanlah perayaan Hari Kartini yang hanya jadi sebentuk distraksi dari kebenaran yang terus direpetisi dan direproduksi. Kita seakan terdistraksi dengan tradisi perayaan dengan baju adat, nyanyian lagu Ibu Kita Kartini, lomba masak dan lomba dandan.
Di Bojonegoro misalnya. Kita berlomba-lomba meniru dandanan Kartini. Tanpa benar-benar melakukan refleksi terhadap perjuangan Kartini yang belum usai. Dan tidak akan pernah usai, hingga kita melimpahkan estafet perjuangan ini ke generasi selanjutnya.
Kita patut menduplikasi kampanye konstruktif seperti yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Melalui sosial medianya, ia menyampaikan bahwa perayaan Hari Kartini menjadi momentum untuk mengobarkan kembali semangat Kartini.
Semangat para perempuan untuk bisa mencapai apa yang ingin kita lakukan. Setara, sejajar, dan membebaskan kita dari keterbatasan. Sehingga kita mampu meningkatkan kapasitas kita untuk maju, merdeka dan bebas.
Jadi, kapan kita bikin kampanye membangun seperti ini? Sehingga perempuan-perempuan di Bojonegoro dan daerah-daerah lainnya bisa memaksimalkan potensinya, dan mencapai cita-citanya. Selamat Hari Kartini, Nabs.