Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Hari Toleransi, Gus Dur dan Ingatan Tentang Bhineka Tunggal Ika

Widyastuti Septiyaningrum by Widyastuti Septiyaningrum
16/11/2018
in Cecurhatan
Hari Toleransi, Gus Dur dan Ingatan Tentang Bhineka Tunggal Ika
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Nabsky, 16 November ditetapkan PBB sebagai Hari Toleransi Internasional. Nah, ini waktu yang tepat untuk berbincang perihal toleransi di Indonesia sekaligus ngrumpi produktif soal Bhinneka Tunggal Ika. Dan, tentu saja, tokoh di balik itu semua: Gus Dur.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah satu semboyan yang sudah ditanamkan sejak sekolah nak-kanak. Bagaikan rima yang melekat, Bhinneka Tunggal Ika: Berbeda-beda tapi tetap satu jua, selalu menjadi kutipan setiap kali ada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang membahas tentang persatuan.

Semboyan itu melekat. Bahkan tanpa kita tahu apa makna sesungguhnya.
Benarkah Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda tapi tetap satu? Benarkah semboyan itu gambaran tentang Indonesia? Siapa yang mencetuskan semboyan itu? Adakah agenda atau konspirasi di balik semboyan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul sejak saya menginjak bangku sekolah menengah. Saat narasi-narasi sejarah Indonesia justru hitam dan putih dan menonjolkan dikotomi yang begitu kontras. Dikotomi antara baik dan buruk. Apakah berbeda-beda itu hanya mencakup dikotomi sempit tersebut? Pertanyaan itu hanya sebatas rasa penasaran, yang kemudian surut karena tidak disirami bumbu-bumbu keingintahuan.

Hingga hari ini, rasa itu muncul lagi, Nabsky ~

Bhinneka Tunggal Ika ternyata kutipan dari Lontar Sutasoma karya Mpu Tantular, seorang pujangga pada masa Majapahit. Kalimat lengkapnya, Bhinnêka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa: Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Terpecah belah dalam hal ini dapat dianalogikan sebagai puzzle, mozaik. Tak ada manusia yang diciptakan sama, ibarat puzzle yang belum dirangkai, atau pecahan kaca yang belum disatukan. Pecahan-pecahan itu tidak bermakna jika kita fokus pada satu potongan saja. Kita perlu melihat gambar apa yang bisa kita lihat setelah puzzle atau mozaik itu utuh.

Teringatlah saya pada kata-kata Gus Dur, bahwa kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya perbedaan. Serta sebuah pengingat: bukankah dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa menerima perbedaan pendapat, dan asal muasal bukanlah tanda kelemahan, melainkan menunjukkan kekuatan?

Tak hanya mengejawantahkan Bhinneka Tunggal Ika, Gus Dur juga menunjukkan bahwa tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Benar ya benar, harus dilakukan. Jangan menunda perlakuan yang benar hanya karena dianggap beresiko. Mungkin Gus Dur juga akan membubuhinya dengan kalimat khasnya, gitu aja kok repot ~

Tiba-tiba, saya teringat pada kisah-kisah di balik kebijakan atau sikap Gus Dur ketika menjabat Presiden Republik Indonesia. Setidaknya ada dua kisah yang menggetarkan hati sekaligus menggelitik pikiran.

Pertama, tentang mengakomodasi saudara kita yang ingin bercerai dari NKRI, Irian Jaya. Menolak untuk menggunakan cara-cara penekanan dan militer, Gus Dur justru mengedepankan dialog. Gus Dur membuat kebijakan untuk mengakomodasi tuntutan saudara kita di Papua dengan berbagai bentuk. Gus Dur mengganti nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua pada 2000.

Gus Dur, bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora sebagai simbol adat Papua, asal dikibarkan bersanding dengan Sangsaka Merah Putih, dan tidak lebih tinggi dari bendera NKRI. Tidak cukup sampai disitu, lagu Hai Tanahku Papua pun boleh diperdengarkan, dengan syarat harus dimainkan setelah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Ketika wacana di masyarakat Indonesia mengajak kita memandang saudara sendiri sebagai anak rebel yang ingin minggat dari rumah, Gus Dur justru mau dan mampu mendengarkan. Hemm

Ibarat merespon anak yang merajuk karena sudah lelah diabaikan, Gus Dur memberikan pendekatan dengan pesan dan nyanyian damai. Bahwa cinta kedaerahan boleh didendangkan, namun cinta Bangsa dan Negara tidak di-nomorduakan.

Kedua, upaya Gus Dur mengakomodasi aliran kepercayaan dan masyarakat minoritas di Indonesia. Meski slogan membela minoritas saat ini terdengar klise, Gus Dur tidak sembarang minoritas. Pernah baca buku Gus Dur berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela? Sebab yang memerlukan pembelaan adalah manusia yang dianiaya dan ditindas.

Nah, itu… Gus Dur memiliki kemampuan untuk melihat siapa minoritas yang dianiaya dan ditindas. Lebih hebat lagi, Gus Dur mau dan mampu untuk membela. Hal ini dapat dilihat dari salah satu langkah bijak yang tak mungkin tanpa pertimbangan, yakni mengesahkan Kong Hu Chu sebagai agama, menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional, dan turut mengucapkan selamat hari raya bagi semua agama-agama di Indonesia.

Saya memandang Gus Dur sebagai manusia yang percaya bahwa Tuhan telah memberi makhluk-Nya senjata masing-masing. Katakanlah macan dengan cakar dan gigi tajamnya, ular dengan bisanya, dan tawon dengan entupnya. Manusia telah dianugerahi senjata mutakhir berupa gudang persenjataan yang diletakkan di otak, dan senapan yang build-in, yaitu mulut.

“Gus Dur mengajarkan pada saya untuk percaya bahwa tidak ada yang tidak dapat diselesaikan dengan mulut yang saling berdialog, dan otak yang saling memahami. Untuk ditekankan kembali, berdialog, bukan berdebat”

Dalam dialog terdapat fitur-fitur yang sering kita abaikan di masa sekarang: mendengar, dan memahami. Kembali mengutip kata-kata Gus Dur, toleransi tidak cukup pada saling menghargai, namun juga saling memahami. Gus Dur memang nyeleneh. Sangat nyeleneh. Ultra nyeleneh. The most nyeleneh person you have ever known. Tapi Gus Dur nyeleneh yang filosofis dan substansial.

Gus Dur adalah pengejawantahan sosok Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Sebagai manusia yang dapat kita dengar, baca, resapi, dan teladani. Jangan berhenti pada bercandaan dan kelakar Gus Dur, tapi renungi. Sebab di sanalah sejatinya letak pesan-pesan damai itu bersemayam.

Tags: Bhinneka Tunggal IkaGus DurHari Toleransi

BERITA MENARIK LAINNYA

Rumah dan Catatan Kecil Tentangnya
Cecurhatan

Rumah dan Catatan Kecil Tentangnya

04/07/2022
Perpanjangan Waktu Pelunasan Utang Piutang dalam Perspektif Hukum Islam
Cecurhatan

Perpanjangan Waktu Pelunasan Utang Piutang dalam Perspektif Hukum Islam

26/06/2022
5 Makna Rumah ini Akan Membuatmu Ingin Segera Berumah Tangga
Cecurhatan

5 Makna Rumah ini Akan Membuatmu Ingin Segera Berumah Tangga

24/06/2022

REKOMENDASI

Pendidikan Kaum Tertindas dan Pemikiran Paulo Freire

Pendidikan Kaum Tertindas dan Pemikiran Paulo Freire

05/07/2022
Rumah dan Catatan Kecil Tentangnya

Rumah dan Catatan Kecil Tentangnya

04/07/2022
Kenapa Mangkok Mie Ayam dan Bakso Bergambar Ayam Jago?

Kenapa Mangkok Mie Ayam dan Bakso Bergambar Ayam Jago?

03/07/2022
Sebuah Upaya Optimalisasi Potensi Wisata Lantung Desa Drenges

Sebuah Upaya Optimalisasi Potensi Wisata Lantung Desa Drenges

02/07/2022
STIT Mubo Adakan Lomba Tingkat SMA Se-Bojonegoro

STIT Mubo Adakan Lomba Tingkat SMA Se-Bojonegoro

01/07/2022
Sejarah Haul Mbah Jabbar Nglirip dan Tiga Ulama yang Memulainya

Sejarah Haul Mbah Jabbar Nglirip dan Tiga Ulama yang Memulainya

30/06/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved