Kiai Dahlan memilih mendirikan sekolah dan rumah sakit, alih-alih ceramah-berdebat lantas memvonis. Dari sana, dakwah Islam Berkemajuan lahir.
Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak layak dimenangkan. Sanad kalimat itu berasal dari sajaknya Friedrich von Schiller yang populer berkat sosok Sutan Sjahrir. Kalimat pembuka tulisan ini berisikan narasi yang gagah dan tegas: Kemenangan, keberhasilan, dan kebahagiaan itu hasil sebuah upaya, perbuatan, dan perjuangan. Usaha tidak pernah menyelisihi hasil.
Kredo dengan pesan senada pernah diutarakan oleh Kiai Ahmad Dahlan, sebagaimana yang dicatat oleh murid beliau bernama K.R.H. Hadjid. “Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: Sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankan atau kesengsaraankah?”
Tendensi kehidupan akhirat, selain dunia, dalam pesan Kiai Dahlan, tampak jelas membedakan dengan sajak Schiller yang dikutip Sjahrir. Kehidupan dunia, terlebih kehidupan akhirat harus dipertaruhkan dengan sungguh-sungguh agar tidak mendapatkan hasil berujung penyesalan. “Apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil,” tegas Kiai Dahlan.
Betapa Kiai Dahlan sangat takut dengan nasib kehidupan akhiratnya, tidak lantas men-subordinasikan kehidupan dunia. Keduanya berjalan linier dalam satu jalin-kelindan utuh. “Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya saja, tidak bersungguh-sungguh, tidak akan berhasil,” kata Kiai Dahlan.
Rumus dari beliau jelas: Bersungguh-sungguhlah dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Keduanya hendaknya dicapai dengan sepenuh jihad, amalan terbaik, dan perlombaan menjadi paling unggul. “Lengah, kalau sampai terlanjur terus-menerus lengah. Tentu akan sengsara di dunia dan akhirat.”
Jikalau kita perhatikan dengan saksama, pesan Kiai Dahlan di atas sangatlah praktis, jelas, dan langsung ke inti persoalan. Pesan yang berisi anjuran tidak bertele-tele.
Karakter demikian tampaknya mencerminkan pribadi beliau, sebagaimana julukan yang diberikan Cak Nurcholis Madjid, sebagai manusia amal (man of action). Sebagai salah satu sosok pembaharu, beliau unik dan tidak seperti pembaharu lainnya: Mewariskan amal nyata, bukan ribuan karya tulis.
“Manusia itu akan mati perasaannya,” kata Kiai Dahlan, “Kecuali orang yang berilmu.” Orang yang berilmu akan kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Amal yang terbaik dan menghilangkan keraguan adalah amal yang didasari rasa ikhlas. Amal saleh bagi Kiai Dahlan yang hendaknya berdasar kepada ilmu dan ikhlas.
Beragama, sebagaimana yang dipedomani dan menjadi ciri khas Kiai Dahlan, adalah berbuat dan beramal saleh. Amal saleh hendaknya menjadi pelita yang menggerakkan arah hidup seorang Muslim.
Amal saleh adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif sebagai tolok ukur kesungguhan manusia beragama dalam upayanya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dakwah beliau yang dikenal dengan dakwah Islam Berkemajuan lahir dari semangat beragama untuk beramal saleh. Islam harus kompatibel dengan semangat dan tantangan zaman.
Oleh sebab itu, Kiai Dahlan memilih mendirikan sekolah dan rumah sakit, alih-alih dengan ceramah-berdebat lantas memvonis.
Sekolah selain sebagai jembatan kecerdasan dan kemajuan, adalah sarana menyadarkan manusia tentang akidah dan keimanan. Rumah sakit, selain mengupayakan kesehatan juga upaya untuk memberantas perdukunan dan praktik syirik dan mitos.
Sekolah dan rumah sakit, sebagai pilihan amal usaha Kiai Dahlan bermata ganda: Bahagia dunia (cerdas dan sehat), bahagia akhirat (akidah lurus dan ibadah benar).
Dunia hari ini tentu saja berbeda dalam seluruh aspek dibandingkan dengan kehidupan saat Kiai Dahlan masih hidup. Peluang dan tantangan tentu lebih beraneka. Semangat Kemajuan yang dicontohkan Kiai Dahlan dengan trilogi ilmu, amal, dan ikhlas sepatutnya tetap menjadi pijakan utama.
Agama harus menjadi pesan jelas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Agama tidaklah menjadi subordinasi ilmu, melainkan menjadi partner setia. Agama dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan akan menghasilkan amal-amal terbaik sebagai persaksian di hadapan umat manusia seluruhnya.
Selain itu, tentu keikhlasan akan menjadi ruh penjaga gawang agar capaian-capaian amal terbaik tidak kehilangan esensi utama: Penghambaan dan pengabdian terbaik kepada Allah Swt.
Jika ilmu dan amal adalah upaya terbaik untuk memeroleh kebahagiaan dunia, maka ikhlas akan menyempurnakan capaiannya dengan kebahagiaan akhirat.
Beberapa dekade terakhir, otokritik yang dilayangkan sejumlah pihak internal dan eksternal, kepada Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi yang mengalami obesitas.
Penilaian itu didasari dengan perkembangan amal usaha secara kuantitatif yang luar biasa, namun belum serius dengan aspek kualitas. Hal itu bisa jadi karena peningkatan ilmu dan ikhlas belum berjalan paralel dengan kemajuan amal usaha.
Kuantitas yang tidak dibarengi dengan peningkatan ilmu pengetahuan akan kering dari kemajuan dan kualitas. Pengembangan sumber daya agar mencerap ilmu dan semangat kemajuan dari pusat-pusat keilmuan dunia adalah kebiscayaan yang tidak bisa ditolak.
Begitu juga, jumlah amal usaha yang banyak tanpa digenjot dengan internalisasi ruh ikhlas akan kehilangan orientasi paling asasi.
Orientasi keikhlasan tentu saja bisa naik dan turun. Upaya peremajaan tentu harus selalu dijaga dan disemai. Salah satunya dengan menumbuhkan semangat belajar agama.
Belajar agama hendaknya untuk tuntunan beramal, bukan sekadar menambah koleksi pengetahuan untuk saling beradu argumen siapa yang paling benar yang ujung-ujungnya melahirkan hal yang kontraproduktif dan permusuhan.
Fenomena kekinian, belajar agama untuk koleksi pengetahuan, telah jauh-jauh hari disinggung Kiai Dahlan. “Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan soal-soal agama,” kata Kiai Dahlan menjelaskan fenomena di masyarakatnya.
Kiai Dahlan melanjutkan: “Tetapi tidak ada satupun yang mengajukan pertanyaan demikian: Harus bagaimanakah diriku supaya selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa? Beramal apa? Menjauhi dan meninggalkan apa?”
Hidup untuk bertaruh: Beramal dengan ilmu pengetahuan untuk kebahagiaan dunia, beramal dengan tuntunan agama untuk kebahagiaan akhirat. Keduanya mensyaratkan satu hal mutlak: Kesungguhan.