Di tulisan ini, tak ada batas antara penting dan tidak penting. Semua mengalir begitu saja.
Tentu saja, paragraf pembuka itu saya modif dari buku terbaru Puthut EA berjudul Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya. Novela setebal 106 halaman itu, berhasil saya tuntaskan tak lebih dari 1,5 jam.
Saya membaca novela itu dalam sekali duduk dan beberapakali isapan rokok. Kalaupun terkesan lama, yang bikin lama bukan proses membacanya. Tapi lebih pada proses menikmati ilustrasi karya Gindring Wasted yang amat menarik di tiap halamannya.
Buku itu bisa cepat terbaca dan mudah dinikmati, mungkin karena ada unsur keterlibatan. Keterlibatan atau rasa terlibat dalam cerita, menjadi senjata utama dalam novela ini. Sama plek kayak novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, penulis menggunakan “aku” sebagai narator cerita.
Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu bisa enak dibaca berulang-ulang karena ia memicu keterlibatan psikologis pembaca. Begitupun novela berjudul Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya ini, ia memicu keterlibatan yang amat kuat.
Tentu saja, dengan membaca “aku” di dalam sebuah cerita, para pembaca bakal terlempar ke dalam arus kisah yang dibaca, bukan sebagai orang yang menyaksikan, tapi menjadi tokoh utama itu sendiri. Seorang tokoh yang amat nihilis sekali.
Nihil karena si tokoh semacam tak punya tujuan apapun dalam hidup. Tak punya prioritas apa-apa dalam hidup, dan tak ingin mencari apapun dalam hidup. Ia hanya sekadar menjalani takdir hidup dan tak berniat mengubah apa-apa.
“Aku dikeluarkan dari sekolah dan tidak merasa ada apa-apa. Tidak merasa jengkel. Tidak merasa marah. Tidak kecewa. Tidak malu. Seperti tidak ada apa-apa..”
“Aku mulai belajar makan kadal dan tikus. Berbekal korek api. Kutangkap mereka. Kubikin api unggun kecil. Kubakar. Bagaimana rasanya? Tidak enak. Tapi apa pentingnya enak tidak enak dalam hidup seseorang sepertiku?”
“Aku tak punya ketertarikan dengan apapun di dunia ini, semenjak masih kecil. Aku tak suka bermain. Untuk apa? Anak-anak lain tertawa senang dan bagian dari tawaan serta kesenangan mereka dilakukan di atas penderitaanku..”
Tiga keping paragraf di atas, menunjukkan betapa nihilnya tokoh aku dalam novela ini. Selain menunjukkan karakter yang tak butuh dan tak punya harapan apa-apa pada hidup, tokoh “aku” juga tak takut pada apapun, pada siapapun.
Ia, bisa jadi, dirampas semua hak kemanusiaannya sejak kecil, hingga ia tumbuh menjadi sosok yang tak takut lagi pada apapun. Tak punya harapan. Dan tak takut tak punya harapan. Apa mengingatkan sesuatu? Ya, benar. Tokoh “aku” adalah Joker dalam tubuh yang berbeda.
Tak kaget jika di cover buku ada peringatan: khusus dewasa, mengandung konten berbahaya. Tentu, konten berbahaya yang dimaksud tak seberbahaya penculikan atau penghilangan orang. Hanya memicu keliaran berimajinasi saja. Tepat jika dibubuhi U 21+ di pojok bawah covernya.
Kata-kata seperti kontol, jembut, mani, hingga ngentot tercecer di berbagai tempat dalam buku ini. Dan bagusnya, saya tak menemui kata jancuk. Ini membuktikan bahwa untuk memasukkan kata-kata kotor pun, penulis enggan memakai pisuhan yang terlampau dikapitalisasi orang lain ~
Novela ini adalah sebuah kemarahan. Kemarahan yang sampai pada level klimaks hingga tak tampak sebagai kemarahan itu sendiri. Penulis buku ini, beberapa kali bilang jika ia menulis dengan tanpa marah-marah. Bukankah sesuatu yang diucap berulang-ulang patut dicurigai sebagai kebalikannya? Hmm.
Ya, novela ini sesungguhnya bercerita tentang sebuah kemarahan. Penulis marah pada banyak hal. Pada apa yang ia anggap kemunafikan. Atau pada perihal “menipu” yang ia saksikan. Dan diungkap secara vulgar tanpa saringan sastrawi.
Tapi justru, menurut saya, keindahan dan kekuatan dan tendangan novela ini ada pada ke-taktersaring-an unsur sastranya. Kevulgaran hingga ke-ceplas-ceplos-an kata-kata yang bagi saya, lebih mudah memicu para pembaca terlibat menjadi tokoh utama.
“Para pelukis atau perupa itu terlalu mempermasalahkan banyak hal agar karya mereka bisa dipajang lalu dipandang banyak orang. Para sastrawan lebih tak masuk akal lagi..”
“Mereka mencari ide, menulis berlembar-lembar-lembar, mau bilang sesuatu harus berputar-putar. Mau bilang kalau kamu jelek, harus menggambarkan segala sifat, tingkah laku, dan segala tetek bengek. Mereka memanjangkan apa yang pendek..”
“Mereka hanya ingin berbeda dan diakui orang lain. Seandainya mereka menjadi lalat, mungkin akan lebih baik..” (Hal: 57).
Melalui tokoh bernama Truwelu, Gembreng, Karmali, Budus, Basur dan Suwan, Puthut sedang memarahi sekaligus mengkritisi banyak hal dan banyak orang; mulai seniman, aktivis abal-abal, penyair, sastrawan, budayawan hingga tentu saja, politisi.
Melalui tokoh bernama Mas Wirog, Puthut bercerita tentang sosok budayawan kharismatik yang kerap dielu-elukan orang. Meski sesungguhnya, ia hanya orang biasa yang kebetulan suka membaca dan lihai berbicara.
“Penyair, pintar bicara. Budayawan, pintar bicara. Aktivis, pintar bicara. Sementara, bicara bagiku adalah aktivitas yang malas kukerjakan. Aku bukan pendiam. Pada dasarnya, aku hanya malas bicara dan tidak pintar basa-basi”.
Jujur saja, saya paling suka pada bagian-bagian itu. Bagian di mana orang-orang yang mempunyai label seniman, penyair, sastrawan, budayawan hingga politisi diblejeti tanpa ampun. Diblejeti, ditampakkan keburukannya dan kebodohannya dan kelemahannya, lalu di-uppercut hingga terkapar tak berdaya.
“Hal pertama yang aku lakukan adalah menyundut kontol kecilnya itu dengan rokok, dan aku akan menikmati setiap jingkat kesakitannya” (hal:70).
Menggambarkan kemarahan, secara manusiawi, memang paling pas dengan berkata-kata jorok dan kasar. Dan di novela ini, kata-kata jorok mampu disulap jadi kalimat elegan yang mampu mewakili kemarahan tiap para pembacanya.
Dan kalimat-kalimat jorok yang lahir dari rahim kemarahan, memang paling cocok dan mantap dikeluarkan saat tubuh dalam kondisi yang nihil. Kondisi psikologis yang tak takut pada apa saja. Kondisi jiwa yang tak takut pada siapa saja. Kondisi yang tak ingin apapun.
Selain mirip-mirip dengan prejengan Joker, tokoh “aku” dalam novela Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya juga mengingatkan saya pada tokoh Mat Dawuk dalam novela Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan.
Bedanya, jika Mat Dawuk benar-benar sadis dan amat gore dalam tingkah laku dan kejadian nyata, tokoh “aku” dalam Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya benar-benar sadis dan gore sejak dan hanya di dalam pikiran dan khayalan saja.
Menyublim dalam Lagu Green Day
Kawan saya, yang kebetulan juga sudah membaca novela ini, bahkan mengatakan jika karya terbaru Puthut EA ini mengingatkannya dengan sebuah lagu Green Day berjudul Jesus of Suburbia: lagu amat panjang — yang terdiri dari 5 bagian subjudul— yang pernah dibikin Green Day.
Sebagai penggemar Green Day, saya pun langsung memutar kembali lagu tersebut, sekaligus menyimak liriknya. Dan wow! Dari 5 subjudul terdiri dari; Jesus Of Suburbia, City Of The Damned, I Don’t Care, Dearly Beloved hingga Tales Of Another Broken Home, tergambar dalam tokoh “aku”.
Bisa jadi kami hanya berkhayal. Bisa jadi pula, kami hanya membesar-besarkan penafsiran. Tapi tak ada salahnya, setelah baca novela ini, kau coba dengar dan simak lirik dalam lagu tersebut. Jika iya, berarti kami tak sengaja. Dan jika tidak, itu tak penting.
Yang jelas, keduanya sama-sama mewakili kemarahan dan rasa putus asa dengan cara yang amat mempesona, nihil dan biasa-biasa saja. Dan yang jelas lagi, haqqul yaqin Mas Puthut tak tahu itu. Sebab sesuai pengakuannya, selera musiknya memang kurang bagus. Wqwq ~
Unsur Bahagia yang Tersembunyi
Bagi saya, Puthut EA adalah penulis yang unik. Sesedih apapun tulisannya. Se-gore, se-ngawur dan sesadis apapun tulisannya, saya masih kerap menemukan unsur bahagia di dalamnya. Tak hanya kelucuan-kelucuan spontanitas yang menjegal di tengah proses membaca, tapi juga hal-hal yang amat diperhitungkan secara matang.
Tulisan-tulisan Mas Puthut kerap berorientasi pada kelegaan dan kebahagiaan-kebahagiaan psikologis. Mungkin itu alasan Mas Puthut punya Komunitas Bahagia EA (KBEA). Dalam novela ini, saya juga mendapatkan sekaligus merasakannya.
Meski tokoh “aku” amat nihilis, gore dan tampak amat berbahaya, ia tetap melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi— meski tak lulus. Padahal, saat SMA sudah pernah dikeluarkan sebanyak 3 kali. Entah kenapa, ini sangat membahagiakan bagi saya.
Saya kira, novela ini wajib dibaca anak-anak SMA. Biar mereka yang kerjaannya suka bolos kayak saya, bisa kembali rajin ke sekolah. Kalaupun dikeluarkan dari sekolah, masih bisa daftar lagi ke sekolah lainnya. Yang penting melanjutkan sekolah. Sebab pendidikan adalah yang utama. Oh, Tuhan, novela ini amat bijak sekali. Hehe
Saya merekomendasikan para praktisi pendidikan dan akademisi dan mahasiswa harus membaca novela ini. Sebab pesannya jelas: bahkan untuk menjadi orang jahat yang nihilis pun, kamu harus bersekolah hingga perguruan tinggi. Bagi saya, ini motivasi tersamar yang amat elegan.
Oke-oke, biar nggak kepanjangan, saya akan tutup tulisan ini dengan salah satu kutipan akhir dari lagu Green Day yang bagi saya dan teman saya tadi, amat menggambarkan isi novel ini:
I don’t feel any shame, I won’t apologize
When there ain’t nowhere you can go
Running away from pain when you’ve been victimized, tales from another broken home ~