Tanah Keramat, wilayah yang dikenal sebagai momok mengerikan bagi aristokrat dan para birokrat jahat.
Selain masyhur khazanah Islam klasik, wilayah Padangan Bojonegoro juga terdapat banyak hikayat yang memiliki ibrah secara ilmiah. Satu hikayat populer adalah Tanah Keramat, sebuah wilayah yang memiliki sentimen khusus dengan aristokrat dan para birokrat.
Hukum boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tapi di Tanah Keramat, hukum seolah tumpul ke bawah dan tajam ke atas. Ia masyhur sebagai wilayah egaliter yang anti feodal. Ia momok yang khusus mengincar kepala aristokrat dan birokrat.
Tiap ada aristokrat atau birokrat yang hidup di kawasan itu, jika tidak wafat, dipecat, atau minimal turun pangkat. Kawasan itu, berlokasi di Kedung Pakuncen (sisi utara Desa Kuncen Padangan). Sebuah teritori yang berbatasan langsung dengan tepi bantaran sungai Bengawan Solo.
Lokasi Tanah Keramat, secara demografis, berada tepat di reruntuhan Pondok Pesantren legendaris Menak Anggrung. Ini tempat yang paling ditakuti penjajah, sekaligus tempat yang paling dihindari para aristokrat dan birokrat.
Dulu, orang-orang Belanda dan Jepang paling apes dan takut jika diminta melintas di sana. Mereka sangat menghindari kawasan itu. Kalau terpaksa melintas, mereka harus merunduk. Sebab jika tidak, kepalanya akan hilang ditebas keghaiban.
Tanah Keramat semacam wilayah tak kasat mata yang menebas leher kesombongan aristokrasi manusia. Ia ramah pada orang kecil, tapi buas dan spesialis mengincar kepala orang-orang besar yang sombong.
Hikayat Tanah Keramat sudah jadi rahasia umum bagi masyarakat setempat. Bahkan, Tanah Keramat juga jadi semacam konsensus bagi para ulama yang hidup di Kuncen Padangan secara turun temurun, dari zaman ke zaman.
Saking masyhurnya, tiap birokrat atau warga yang diangkat jadi pejabat, mayoritas pindah tempat atau pindah domisili atau pindah KK terlebih dahulu. Hal ini sudah jadi tradisi khusus bagi masyarakat di kawasan tersebut.
Kuncen Padangan juga masyhur terkait pemilihan kepala desanya. Tiap kali Pilkades, tak ada calon Kades yang membagi-bagikan uang seperti di desa lain. Mereka dipilih sendiri masyarakat, tanpa embel-embel uang. Hal ini sudah jadi tradisi sejak tahunan silam.
Selain memiliki sentimen dengan aristokrat, birokrat ataupun pejabat, di kawasan Tanah Keramat juga tak bisa digunakan menggelar pertunjukan hiburan. Baik konser dangdutan, gong-gongan, wayangan, atau pertunjukan apapun yang berhubungan hiburan.
Wayangan, dangdutan, gong-gongan, jaranan, atau show-show yang sejenis itu, tak pernah bisa dihelat di wilayah Tanah Keramat Kedung Pakuncen. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Belanda.
Pada dekade 1960-1970, para pegawai desa di Desa Kuncen Padangan tak ada yang berani memasuki jalan menuju kawasan Tanah Keramat. Jika seorang pegawai diharuskan menemui warga yang berada di dalam kawasan, mereka harus memakai kentongan untuk memanggilnya dari luar gang. Sebab, tak berani masuk ke dalam.
Di zaman yang sama, seorang aristokrat militer yang baru ditugaskan di Kuncen Padangan, sengaja menggelar acara pesta hiburan di kawasan tersebut. Tak butuh waktu lama, panggung ambruk diterjang angin. Tak lama setelahnya, si aristokrat beserta keluarga wafat secara mendadak.
Kisah tentang para pegawai desa yang harus memakai kentongan untuk memangil warga dari kejauhan, dan pejabat yang wafat pasca menggelar acara hiburan, sampai saat ini masih mudah dijumpai. Hampir tiap warga yang berusia sepuh, masih bisa bercerita panjang lebar terkait kisah-kisah tersebut.
Hikayat Tanah Keramat hidup dari zaman ke zaman. Ia juga dikenal sebagai tanah yang menyerap energi. Wilayah yang tak mudah cocok pada energi tertentu. Konon, orang sakti akan kehilangan kesaktiannya, jika berada di sana.
Pada awal Orde Baru, sepasukan polisi melakukan penangkapan para blandhong (pencuri) kayu. Entah sengaja atau tidak, para blandhong itu masuk wilayah Tanah Keramat. Polisi memang bisa menangkapinya. Tapi, tak lama kemudian, para polisi yang ikut memasuki tempat itu, banyak yang dipecat dan dimutasi.
Tanah keramat, konon bermula sebagai respon atas kejahatan para pegawai pribumi yang jahatnya melebihi penjajah. Sikap jahat itu, sudah menjadi sikap pegawai pribumi jauh sebelum Willem Daendels (1762-1818) jadi Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Buruknya sikap pegawai pribumi, selain memang bakat sejak lahir, konon juga warisan buruk dari Gubernur Jendral Belanda sebelumnya, yakni Jan Pieterszoon Coen (1587-1629). Pegawai pribumi ini, orang-orang Jawa yang bersikap kapital-feodal layaknya penjajah.
Mereka ini cikal bakal para pengkhianat bangsa dalam balutan birokrasi. Konsep kejahatan khas para pegawai pemerintahan ini, terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tak terkecuali di Desa Kuncen Padangan kala itu.
Sikap buruk para pegawai itu, membuat para masyayikh Kedung Pakuncen duko (marah besar) dan nyabda bahwa tanah di tempat itu tak bisa diinjak (dihuni) para aristokrat dan birokrat jahat, khususnya pegawai-pegawai pribumi yang sok berkuasa dan berbuat kezaliman.
Mungkin benar jika doa tak mengenal kata “oknum”, sehingga pejabat model apapun — entah baik entah jahat — yang kebetulan berada di sana, dulu langsung ilang dalane! karena terkena sengatan radiasi doa.
Keturunan para Masyayikh Kedung Pakuncen juga banyak yang kelak jadi ulama pejuang. Terbukti di zaman-zaman berikutnya, Tanah Keramat pernah jadi basis Sarekat Islam (1913) dan juga jadi lokasi berdirinya NU Padangan (1938).
Tanah Keramat menjadi pilar penyeimbang, agar kekuasaan tak berani semena-mena. Itu alasan ia tajam dan buas pada para penguasa, tapi lembut pada orang-orang awam dan biasa.
Ini alasan para aristokrat dan pejabat harus berpikir dua kali untuk berada di Tanah Keramat. Ini juga alasan, tiap Haul Masyayikh, sambutan dari unsur pejabat pasti sebentar, tak berani ceramah panjang lebar karena takut tidak sopan dan su’ul adab.
Saat ini, Tanah Keramat mungkin tinggal jadi folktale waqila dan kisah legenda. Tapi sampai hari ini, memang terbukti banyak PNS yang enggan tinggal di sana.
Hikayat Tanah Keramat di Desa Kuncen Padangan memberi pelajaran penting bagi generasi saat ini, bahwa jika ditakdir menjadi pegawai atau pejabat atau aristokrat atau birokrat, jangan pernah menyakiti hati masyarakat dengan berbuat semena-mena.
Hikayat Tanah Keramat tak melarang kita untuk jadi pejabat atau birokrat atau pegawai pemerintah model apapun. Tapi menghimbau siapapun yang kebetulan ditakdir jadi birokrat, agar tak berbuat semena-mena dan mengkhianati kepercayaan rakyat.