Renungan Cep Markocep di sebuah gubuk reot yang berkeadaban.
Memasuki musim panen, kantong celana Cep Markocep penuh. Cep membasahi kantong celana dari keringat yang ia keluarkan selama menyaksikan tumbuh dan kembang tanamannya di kebun.
Panen tanaman tiba, segera uang hasil panen juga akan dipanen oleh berbagai macam kebutuhan. Salah satu di antaranya, untuk perayaan hari ulang tahun buah hati Cep Markocep yang pertama.
Cep Markocep atau biasa dipanggil Cep, ingin merayakan ulang tahun buah hatinya. Setelah berdiskusi dengan istrinya, pesta ulang tahun anaknya terselenggara.
Riuh ramai suasana ulang tahun, menghiasi rumah Cep. Orang-orang yang hadir di pesta ulang tahun menampakkan raut muka bahagia.
Saban tamu undangan, wajah mereka dihiasi senyuman bak rembulan purnama yang bersinar terang. Dan berbagai macam jenis parfum memenuhi ruang tamu Cep Markocep.
Tibalah momentum tiup lilin. Cep Markocep, istri, dan buah hati, maju ke depan. Mereka bertiga kompak meniup lilin. Dari lilin yang menyala dan penuh tawa, kemudian lilin padam dan suasana hening sejenak.
Kemudian pesta ulang tahun berlangsung kembali. Satu per satu rangkaian acara telah dilalui, dan tiba di penghujung acara ‘penutup’.
*********
Selang beberapa hari pasca perayaan ulang tahun buah hati Cep Markocep yang perdana, Cep duduk lesu di bagian pojok gubuk di area kebunnya.
Peci lusuh yang dikenakan Cep Markocep semakin tambah lusuh dengan beberapa catatan hutang ke tetangganya. Cep mencoba menghilangkan masalah kehidupan sejenak dengan meroko dan ngopi di gubuk.
Sembari menyaksikan dedaunan kering yang jatuh di sungai sekitar sungai, canda dan tawa anak-anak pulang sekolah, burung-burung yang bermain di kebun, dan nyamuk-nyamuk yang terkadang hinggap di pipi dan tangan Cep Markocep.
Matahari semakin naik, azan zuhur menggema di cakrawala. Cep larut dalam lamunan, “Apakah kebahagiaan yang sejati itu ibarat lilin yang menyala kemudian padam setelah tertiup angin, seperti lilin di pesta ulang tahun?”.