Perjalanan yang membelah hutan jati, menerabas rawa imajinasi, dan membangun toleransi hati.
Jalan Raya Kapas-Bojonegoro tampak lengang sore itu. Langit menurunkan hujan. Meski tidak terlalu lebat, airnya cukup membasahi jalan beraspal. Beberapa pengendara motor terpaksa berhenti sejenak.
Berada di toko buku Kota Bojonegoro, Annisa Rahma duduk di bangku tunggu. Ia menunduk sambil memegang layar kecil di tangannya dengan raut muka sebal.
“Mas, sudah sampai mana?,” notifikasi chat dengan lima kalimat yang sama muncul beruntun di aplikasi bewarna hijau itu.
Dia semakin sebal saat melihatku berdiri tepat di samping pintu masuk toko dengan keadaan basah. Namun, perempuan berjilbab ungu itu langsung memegang tanganku menuju parkiran.
“Ayo mas, sudah sore lo,”
Sepulang kuliah, dia meminta dijemput di toko buku untuk berkunjung ke Gereja Katolik Santa Maria di Desa Kolong, Kecamatan Ngasem. Desa yang dikenal mempunyai tingkat toleransi beragama cukup tinggi karena masyarakatnya hidup rukun puluhan tahun meski menganut agama berbeda.
“Gimana Ann, sudah dapat bukunya?,” Annisa hanya diam saat sepeda motor mulai berjalan menembus rintik hujan. “Sepertinya dia marah karena aku telat menjemputnya,” batinku.
Perempuan jurusan Ilmu komunikasi itu terlihat manis meski hanya diam. Apalagi kalau dia tersenyum. Manis, manis sekali seperti buah apel gigitan pertama. Bahkan, kecantikannya melebihi panorama alam.
“Mas, kenapa tadi lama sekali aku sudah dapat bukunya lo. Setengah jam aku menunggumu mas,” Ia akhirnya bersuara sambil mencubiti bahuku.
“Aduh Ann, jangan cubit dong sakit ini. Tadi di perjalanan hujan,”
Tepat pukul 16.00 sore perjalanan kami sudah membelah hutan jati. Tanpa aku minta, ia melingkarkan tangannya di perutku. Membuat jantungku berdebar kencang setengah mati.
Di sepanjang perjalanan kami berbicara banyak hal, seperti buku, kopi, organisasi hingga mie ayam yang menjadi makanan favorit sepulang kuliah. Meski, harus menembus rintik hujan perjalanan menuju Desa Kalong cukup nyaman karena ada dia. Perempuan manis seperti apel.
“Jangankan hanya rintik. Hujan lebat disertai angin kencang dan petir pun akan kupeluk Ann, untuk menemui manis senyummu,” batinku membayangkan.
Perjalanan ke Desa Kolong harus membelah hutan terlebih dahulu. Dan membutuhkan waktu hampir satu jam. Sementara lokasi gereja ini berada di perkampungan warga.
“Kita sudah sampai, silahkan turun Nona Manis,” raut mukanya terlihat ngantuk, namun Ia segera mengikutiku dari belakang menuju rumah pengurus gereja.
Kebetulan, pria setengah baya itu sedang membersihkan kadang sapi miliknya. Ia memiliki dua ekor sapi. Rumahnya dekat dengan gereja hanya berjarak sekitar dua rumah.
“Mau ke gereja lagi mas?,”
“Iya pak,” Jawabku.
“Ya, silahkan mas Rudi gerejanya tidak dikunci kalau mau masuk ke dalam gereja,” Jawabnya dengan ramah.
“Sudah pernah ke sini mas?” Tanya Annisa.
“Sudah, tiga kali ke gereja ini. Pertama waktu kegiatan Komunitas Gusdurian,” Jawabku sambil mengikuti Pak Parlan dari belakang.
Annisa hanya mengangguk. Saat kami bertiga masuk ke Gereja Santa Maria Desa Kolong, dengan kacamatanya Annisa mengamati sekeliling gereja.
“Namanya Pak Parlan, kalau di gereja sebagai Pengatur Umat Gereja Santa Maria Desa Kolong. Jadi, di sini penduduk sangat rukun meski berbeda-beda agama,”
“Ohh, gitu mas. Lalu awal masuknya agama Katolik ini bagaimana?,” ia mengeluarkan buku dan bolpoin dari tas berukuran kecil miliknya. Dia mulai mencatat apa yang aku katakan.
Pak Parlan juga menjelaskan mengenai kerukunan beragama antar warga Desa Kolong. Namun, kebanyakan Annisa mengajukan pertanyaan kepadaku karena sudah duluan berkunjung ke gereja ini.
“Jadi pada 1956 silam awal proses masuknya agama Katolik di Desa Kolong. Waktu itu, ketika seorang bernama Mbah Danun pulang dari Kalimantan dengan membawa agama baru yakni Katolik,”
Annisa terus mencatat sambil membenarkan kacamata miliknya. Ia berjanji untuk menulis awal masuknya agama Katolik di Desa Kolong ini. Terutama dalam kerukunan beragama antara penduduk muslim dengan umat Katolik.
“Terus mas?,”
“Jadi, agama Katolik ini tidak disebarkan secara luas kepada masyarakat. Namun, hanya diperkenalkan saja, tanpa memaksa masyarakat untuk mengikuti agama tersebut. Karena masalah keyakinan itu urusan pribadi masing-masing,”
“Kalau kamu, yakin ngga mas sama aku,?” Katanya sambil tersenyum.
“Kan kamu bukan Tuhan Ann,”
“Mas, bukan itu. Mas Rudi ngga pekaan, makanya jomblo bertahun-tahun,”
“Lanjut ngga ceritanya?”
“Iya mas”.
“Meski agama Katolik di Desa Kolong termasuk minoritas. Namun, masyarakat tetap saling menghormati tanpa membedakan-bedakan agama. Bahkan, saling gotong-royong dan membantu antarsesama sudah menjadi kebiasaan warga. Jadi, mereka bersama-sama dalam pembangunan rumah, hajatan, dan tradisi adat istiadat tanpa membeda-bedakan keyakinan,”
‘’Apalagi, ketika hari raya Natal tiba, mereka (umat Islam) juga diajak untuk makan bersama,’’
Dia kembali mencatat, sementara aku mengamati isi gereja. Bangku tempat ibadah terta rapi menghadap mimbar. Didinding juga banyak terpasang foto Jesus, juga dalam gereja ada alat gamelan Jawa.
Di Desa Kolong, umat Katolik sekitar 115 orang. Jumlah itu jauh dari umat Islam yang jumlahnya lebih banyak atau mayoritas. Namun, hingga saat ini masih hidup berdampingan bahkan tempat pemakaman antara umat Katolik dan Islam menjadi satu. Hanya saja, yang membedakan batu nisan.
“Jadi Ann, tempat makam antara umat muslim dan Katolik hingga kini jadi satu. Kalau umat Katolik diberikan tanda salib. Umat Islam diberikan dua batu nisan,”
“Ohh gitu mas, baru tahu aku mas,” Kalimat itu juga mengakhiri catatannya. Karena langit sudah menunjukkan senjanya menandakan harus sudah hampir malam.
Di desa ini toleransi sangat dijaga antar beragama. Menghargai dalam beribadah menurut kepercayaan agama yang dianut. Hal itu, sangat diterapkan di Desa Kolong, bahkan hingga kini.