Jejak Dakwah Mbah Jimatdil Kubro di Gunung Jali (Blora – Bojonegoro) tak hanya dibuktikan secara literatur, prasasti, dan arkeologi. Tapi juga dilengkapi bukti ajaran dan keberadaan para santri.
History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles menyebut Gunung Jali sebagai lokasi dakwah Syekh Jumadil Kubro. Dalam bukunya, Raffles menulis Syekh Jumadil Kubro menetap dan membangun peradaban Islam abad 14 M di wilayah Gunung Jali. Secara jelas dia menulis: “A devotee who had established himself on Gunung Jali” (hal: 127).
KH Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo mengatakan, Gunung Jali merupakan lokasi dakwah Syekh Jumadil Kubro yang tercatat berbasis literatur sejarah. Sejumlah lokasi lain yang menisbatkan nama Syekh Jumadil Kubro, menurut Agus Sunyoto, mayoritas baru dibuat pada 1950-an Masehi. Itupun berdasar mimpi tanpa literatur.
Gus Dur dalam buku The Passing Over menyebut Sayyid Jamaluddin Akbar melangsungkan dakwah di Jipang Padangan (Blora – Bojonegoro) pada periode antara 1334 – 1364 M. Dakwah penuh damai dan toleransi ini berlangsung tepat pada zaman Keemasan Majapahit. Ini alasan Jipang disebut Gus Dur sebagai tanah damai penuh toleransi.
Dalam Manuskrip Padangan, Syekh Abdurrohman Klotok menyebut Tebon (Gunung Jali) sebagai kawasan Islam. Ia menulis bahwa di Tebon pernah terdapat ulama yang memiliki hubungan keluarga dengan leluhur ayahnya. Mbah Klotok menulis kata “Tebon” dengan susunan huruf yang mirip fa’il “At-Tawwabun” — orang-orang yang bertaubat.
Manuskrip Padangan menunjukan secara jelas betapa Gunung Jali Tebon (Padangan) menjadi bagian penting wilayah Jipang. Tiap kali menulis kata Jipang, Mbah Klotok selalu mengawalinya dengan kata “Biladi”. Kata Biladi ini, tentu menunjukan betapa besarnya peradaban Islam yang pernah ada di wilayah tersebut.
Selain disebut literatur, Gunung Jali juga disinggung sejumlah prasasti. Sebab, berada di pusat peradaban kuno. Gunung Jali Tebon berada di tengah lokasi Prasasti Loram Pucangan (1041 M) dan lokasi Prasasti Maribong (1248 M). Gunung Jali juga tak jauh dari lokasi Naditirapradesa Prasasti Canggu (1358 M).
Banyaknya catatan dalam prasasti, menunjukan Gunung Jali dan sekitarnya memang memiliki peran penting bagi Raja Airlangga (Medang Kahuripan), Raja Wisnuwardhana (Singashari), dan Raja Hayam Wuruk (Majapahit), sebagai tempat istimewa. Para pembesar peradaban itu menyebut wilayah tersebut sebagai Tanah Para Brahmana.
Tak hanya disinggung catatan prasasti. Di lokasi Gunung Jali juga terdapat banyak objek arkeologis berupa artefak dan susunan bata kuno yang sampai kini masih bisa ditemui. Selain itu, di bawah lokasi Gunung Jali juga masih banyak ditemukan fosil hewan purba. Bukti-bukti artefak itu sebagian telah disimpan di museum.
Visi Mbah Jimatdil
Di wilayah Gunung Jali, Syekh Jumadil Kubro dikenal dengan nama Mbah Jimatdil Kubro (Mbah Jimat). Ia membangun pusat dakwah berupa zawiyah peribadatan yang dikenal dengan Mesigit Tebon. Di kawasan dakwah ini, masih amat banyak ditemui serpihan tembikar, antefiks karupadhani, pecahan relief candi, hingga struktur bata kuno berindikasi periode 1300 M.
Lokasi ini membuktikan tulisan Gus Dur akan konsep yang diusung Mbah Jimatdil Kubro dalam berdakwah. Yakni, dakwah berbasis pendekatan rahmat (kasih sayang) dan toleransi. Mengakomodir budaya Hindu-Budha ke dalam tradisi Sufisme Islam secara damai. Membangun Zawiyah dengan tetap menjaga unsur Pendhermaan yang ada.
Dakwah damai tanpa konflik ini, dilakukan Mbah Jimatdil Kubro dengan cara mengganti konsep karma dengan metode pengampunan. Mbah Jimatdil Kubro memperkenalkan masyarakat pada spektrum At-Tawwabun. Kemudian mengajak mereka bergabung pada frekuensi Yuhibbut Tawwabin (orang-orang yang dicintai Allah).
Gunung Jali berada tepat di seberang Jipang. Mbah Jimatdil Kubro menganggap Bengawan sebagai “penyambung” dakwah, bukan “pemisah”. Di kawasan Jipang, jejak Mbah Kubro tak hanya dibuktikan secara literatur, prasasti, ataupun arkeologi. Tapi dilengkapi peninggalan masjid, ajaran toleransi, hingga para santri.
Mesigit Jipang
Selain Mesigit Tebon di Gunung Jali, Mbah Jimatdil juga meninggalkan jejak dakwah berupa zawiyah yang dikenal dengan Mesigit Jipang. Tempat ini kerap diceritakan Gus Dur terkait dakwah Mbah Jimatdil Kubro. Reruntuhan masjid kuno ini berlokasi di tengah pematang sawah Desa Jipang. Posisinya berada di tengah aliran Bengawan Besar dan Bengawan Sore.
Baca Juga: Bengawan Sore Jipang, Kanal Air Buatan Raja Erlangga
Di Mesigit Jipang, metode dakwah Mbah Jimatdil Kubro sangat terlihat. Di sini banyak ditemui benda arkeologi yang sama persis di Mesigit Tebon. Antefiks kalpataru, tembikar Dinasti Ming, hingga struktur bata kuno yang masih banyak ditemui di sana, menunjukan metode dakwah khas Mbah Jimatdil Kubro. Mesigit Jipang adalah bukti sahih islam damai dan toleran abad 14 M.
Sayangnya, tempat ini seperti tak terawat dan dilupakan. Padahal, inilah bukti Islam damai dan toleran abad 14 M. Gus Dur mengatakan bahwa Islam damai sudah dikenal di wilayah Jipang circa 1334 M. Artinya, Mesigit Jipang adalah bukti bahwa satu abad sebelum Raden Fattah dilahirkan, kawasan Jipang sudah mengenal peradaban Islam damai dan toleran.
Santri Songo
Situs makam Santri Songo (Keramat Songo) berlokasi di pinggir Bengawan Desa Jipang. Berada di tenggara Mesigit Jipang, dan barat daya Gunung Jali Tebon. Di makam Santri Songo atau Keramat Songo ini, masih banyak ditemui objek arkeologi abad 14 M yang sama persis dengan Mesigit Jipang maupun Mesigit Tebon. Di lokasi ini, visi toleransi khas Mbah Jimatdil Kubro sangat terlihat secara ilmiah dan empiris.
Di lokasi ini terdapat sembilan nisan Islam berbahan batu candi, bermotif lingkaran penuh. Ada inkripsi huruf Arab yang secara samar masih bisa dilihat. Guratan inskripsi Arab kuno ini memang sudah aus dan sulit dibaca. Namun, ini menunjukan betapa islam damai dan toleran telah berkembang pesat di wilayah Jipang sejak abad 14 M.
Serpihan antefiks batu candi dan struktur bata kuno khas abad 14 M, masih banyak ditemui. Di situs makam Santri Songo ini, kehadiran Mbah Jimatdil Kubro benar-benar tampak secara ilmiah. Di sini masih ditemui pecahan relief candi dan lempeng batu pasujudan, yang merupakan ornamen khas peradaban Islam abad 14 M.
Santri Songo adalah para pelanjut dakwah Mbah Jimatdil Kubro. Keberadaannya jadi bukti otentik Islam damai dan toleran abad 14 M. Adanya pasujudan, serpihan batu candi, hingga Inkripsi Arab yang samar terlihat, adalah bukti dari ucapan Gus Dur. Bahwa Islam sudah berkembang di wilayah Jipang, sekitar satu setengah abad sebelum Kesultanan Demak didirikan.
Kramat Santri
Situs makam Kramat Santri terdapat di Dusun Judan Desa Jipang. Terdapat dua makam kuno. Lokasinya sangat dekat dengan Sungapan Bengawan Sore. Secara konsensus, sumber lokal menyebut dua makam tersebut sebagai santri Mbah Jimat Tebon. Lokasi Judan dan Tebon memang hanya dipisah aliran Bengawan. Sebuah simbol dan posisi yang menunjukan dekatnya sanad keilmuan.
Sumber lokal juga menyebut, nama Judan berasal dari kata Pasujudan. Di Kramat Santri ini, dulunya pernah terdapat batu Pasujudan. Bukti arkeologis yang juga terdapat di lokasi Santri Songo. Bedanya, di lokasi ini bukti itu sudah hilang. Di Kramat Santri juga pernah terdapat Bedug Kuno dan pohon Waringin yang jadi simbol peradaban komunal.
Situs Kramat Santri yang berada tak jauh dari situs Santri Songo, jadi bukti tradisi “Tholabul Ilmi” sudah mengalir deras serupa aliran Bengawan sejak abad 14 M. Tradisi ini tergurat abadi dalam istilah “Santri” yang disandang hingga kini. Lokasi ini jadi bukti dawuh Gus Dur, bahwa Islam sudah mengakar kuat di wilayah Jipang, sekitar dua setengah abad sebelum Kesultanan Mataram Islam direncanakan.
Hipotesa Konklusif
Peradaban islam di Wilayah Jipang sudah besar pada periode 1300 M (abad 14 M). Mesigit Jipang, Santri Songo, dan Kramat Santri secara empiris memiliki satu simpul zaman yang tak berjauhan. Ketiga situs islam abad 14 M itu, menunjukan koordinat sanad yang berafiliasi langsung dengan Mbah Jimatdil Kubro Gunung Jali.
Gunung Jali, Mesigit Jipang, Santri Songo, dan Kramat Santri adalah bukti sahih besarnya peradaban Islam abad 14 M di wilayah Jipang. Sebuah kebesaran yang telah masyhur, bahkan di tengah-tengah Masa Keemasan Majapahit.
Kemasyhuran itu terbukti. Sebelum mendirikan Majelis Wali Songo, Sunan Ampel menyempatkan diri datang ke Gunung Jali. Kedatangan ini untuk bertabaruk pada zawiyah Mbah Jimatdil Kubro. Data terkait kedatangan ini tercatat jelas dalam History of Java (hal: 127).
Besarnya peradaban islam yang pernah ada di Jipang, dicatat Syekh Abdurrohman Klotok dalam Manuskrip Padangan. Tiap kali berada di Tanah Hijaz, Mbah Klotok selalu menyebut Jipang dengan istilah Biladi Jipang. Kata “Biladi”, secara harfiah menunjukan kebesaran, kemakmuran, dan tentu saja serumpun “kedamaian”.
Secara tegas, Gus Dur menulis bahwa Mbah Jimatdil Kubro berdakwah di Jipang pada periode 1334 – 1364 M. Artinya, tulisan Gus Dur memang sudah sesuai fakta. Baik dilihat dari peninggalan arkeologi maupun singgungan prasasti. Ditambah lagi catatan literatur dan dukungan manuskrip.
Gus Dur menunjukan sekumpulan fakta, bahwa sekitar 111 tahun sebelum Raden Fattah (1455 – 1518 M) dilahirkan, Islam toleran sudah dikenal di Jipang. Artinya, 147 tahun sebelum Kesultanan Demak (1481 – 1554 M) didirikan, Islam damai sudah berkembang di wilayah Jipang.