Kota Bojonegoro punya hubungan emosional yang cukup kuat dengan Tanah Haramain (Makkah-Madinah) sejak abad ke-19 (1800 M). Berikut ulasannya.
Bojonegoro tercatat sebagai wilayah yang kerap mengirim intelektual islam ke Tanah Haramain dari zaman ke zaman, baik sebagai pelajar ataupun pengajar. Terbukti, banyak ulama Bojonegoro berperan dalam dinamika intelektual dan distribusi rantai sanad keilmuan dari Tanah Haramain.
Berangkat ke Tanah Haramain pada abad ke-19, bukan urusan mudah. Memang tak ada kecemasan melawan lamanya kuota. Tapi cemas melawan serangan perompak, badai, dan marabahaya. Sebab, satu-satunya akses adalah laut.
Dalam sebuah risalah yang ditulis Syekh Abdurrohman Klotok pada 1292 H, terdapat berita tetang kapal-kapal jamaah haji yang terbakar dan tenggelam di lautan, saat menuju Tanah Haramain. Mereka yang bisa sampai ke Tanah Haramain, adalah para penakluk badai.
Mereka yang bisa berangkat ke Tanah Haramain pada abad ke-19, saat bisa kembali pulang, pasti bergelar ulama penakluk badai dan penjinak ombak yang memiliki kekeramatan tertentu. Ini gelar yang penuh “semiotika” tentu saja.
Menaklukan badai dan menjinakan ombak, bisa jadi adalah metafora dari menaklukan badai kecemasan dan menjinakan ombak ketakutan di dalam hati, sebagai representasi konsep La Khaufun Alaihim Walahum Yahzanun.
Tanah Istimewa dan Khowas
Dalam buku Warisan Intelektual Ulama Nusantara (2018), Tanah Haramain disebut memiliki kedudukan yang khos sebagai kawah candradimuka para ulama Nusantara. Banyak santri Nusantara yang belajar di Tanah Haramain untuk menjadi guru, penulis, hingga mufti.
Para santri asal Nusantara ini, ada yang sampai wafat berada di Makkah. Namun sebagian besar kembali pulang untuk menyebarkan islam ke berbagai sudut bumi. Mereka juga berjejaring dan membentuk rantai sanad yang sambung-menyambung hingga hari ini.
Buku 100 Ulama Nusantara di Tanah Suci (2020) menyebut, Nusantara atau gugusan kepulauan Melayu sebagai Negeri Jawa. Meski berasal dari Malaysia, Thailand, Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, atau Kalimantan, ia tetap disebut sebagai Orang Jawa atau bernisbat “Al Jawiy”.
A. Ginanjar Sya’ban, penulis Mahakarya Islam Nusantara mengatakan, ada satu kajian yang ditulis forum-forum intelektual di Makkah, bahwa pada abad ke-19 dan abad ke-20, komunitas terbesar di Masjidil Haram adalah penganut Mazhab Syafi’i.
Hebatnya, sebanyak 60 persen pengajar dan tokoh-tokoh dari unsur Syafi’iyah di Masjidil Haram kala itu, bernisbat Al Jawiy alias berasal dari Nusantara. Sebab, mereka tak hanya belajar. Tapi juga menulis karya-karya keilmuan ke dalam Bahasa Arab.
Masyarakat Nusantara yang ada di Makkah, punya keistimewaan dibanding masyarakat bangsa lain. Mayoritas masyarakat Nusantara di Makkah berasal dari kalangan intelektual dan para pelajar. Berbeda dengan orang-orang dari bangsa lain yang kala itu hanya bekerja dan berdagang.
Ludovico di Varthema, orang Roma yang mengunjungi Mekah pada 1503 M, sudah melihat jamaah haji dari Nusantara yang dia sebut “India Timur Kecil”. Namun, jamaah haji yang dijumpai Varthema itu, menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, berstatus pedagang dan utusan sultan. Masyarakat Nusantara yang datang ke Mekah pada 1503 M itu, mayoritas berhaji dalam rangka mencari legitimasi politik sekaligus berniaga.
Dinamika intelektual masyarakat Nusantara baru tampak dominan pada 1700 M. Pada abad 18 (1700 M), Ulama al Jawiy memiliki peran intelektual cukup besar di Tanah Haramain. Ini ditandai keberadaan tokoh-tokoh yang dikenal dengan Empat Serangkai Ulama Tanah Jawi. Keempat ulama tersebut adalah:
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Al Jawi (Kalimantan/1710–1812), Syekh Abdushomad Al Falimbani Al Jawi (Sumatera/1704–1785), Syekh Abdurrahman Mishri Al Batawi Al Jawi (Jawa), dan Syekh Abul Wahab Bugis Al Jawi (Sulawesi/c. 1725 – 1790).
Setelah era Empat Serangkai Tanah Jawi, banyak ulama nusantara yang kemudian menyusul berkiprah di Tanah Haramain. Bojonegoro juga memiliki sejumlah ulama yang pernah berkiprah di Tanah Haramain. Keberadaan ulama Bojonegoro di Tanah Haramain, tercatat sebagai bagian dari gugusan bintang ulama Al Jawi.
Ulama Bojonegoro di Tanah Haramain
Untuk diketahui, pada 1677 – 1725 M, Bojonegoro masih bernama Kabupaten Jipang Padangan. Pada 1725-1828 M, diubah jadi Kabupaten Radjekwesi. Dan baru pada 1828 M hingga saat ini, bernama Kabupaten Bojonegoro. Ini alasan kenapa ulama Bojonegoro ber-laqob Jipang al Fadangi.
Istilah al-Fadangi (الفداغي) yang menggunakan huruf ghin (غ), secara penulisan berbeda dengan al-Fadani (الفداني) yang menggunakan huruf nun (ن). Ini untuk membedakan Padangan Bojonegoro Jawa Timur dan Padang Sumatra Barat. Penggunaan istilah ini, jelas butuh dialektika dan konsensus antar jejaring ulama yang ada di Tanah Haromain kala itu.
Berikut ini daftar sejumlah ulama Bojonegoro yang pernah berkiprah (sebagai pelajar maupun pengajar) di Tanah Haromain pada abad 19 dan 20 M. Keberadaan mereka tak sekadar dongeng hiperbolis, tapi meninggalkan fakta yang berjejak dan tertulis.
1. Syekh Abdurrohman Klotok (w. 1877)
Syekh Abdullah Jipang Padangan (Mbah Abdurrohman Klotok) merupakan ulama Bojonegoro yang berkiprah di Makkah pada abad 19. Dari puluhan kitab yang beliau tulis antara tahun 1235 H (1820 M) hingga 1293 H (1875 M), mayoritas selesai saat berada di Tanah Haramain.
Selain kitab Fathul Muin yang ditulis pada 1236 H (1821 M), beliau juga menyelesaikan sejumlah kitab di Tanah Haromain. Diantaranya; Kitab Fathurrohman, kitab Hikayat Fadhilatus Shiyam, dan kitab Al Manasik Haji pada (1254 H/1838 M). Selain itu juga kitab tasawuf Fathul Mannan, Assasul Mutaqin, hingga kitab Hadis Nisfu Syaban yang ditulis pada 1270 H.
Beliau menyebut Tanah Haramain dengan istilah Biladil Arab wal Madinatu Rasulillah Saw. Jejak Syekh Abdurrohman Klotok di Tanah Haramain, terekam dalam sejumlah Catatan Perjalanan yang masing-masing bertarikh 1255 H (1839 M), 1270 H (1854 M), 1289 H (1872 M), 1291 H (1874M), dan 1292 H (1875 M). Yang mana, setiap perjalanan, beliau tulis ke dalam sebuah catatan.
Selain menulis kitab, beliau juga mencatat jejaring pertemanan dan nama para guru, seperti Syekh Ibnu Qosim, Syekh Muhammad Jan, hingga Syekh Abdullah al Dahlawi. Beliau sezaman dengan Syekh Abdul Ghani al Bimawi (w.1848), Syekh Khatib al Sambasi (w. 1875), dan Syekh Dawud al Fattani (w.1879).
Sepulang dari Makkah, Syekh Abdurrohman mengasuh Pesantren Klotok. Sebuah kawah pendidikan bagi para penyebar islam abad ke 20 (1900 M) di wilayah Bojonegoro dan Tuban. Terbukti, banyak ulama penyebar di wilayah itu yang berafiliasi dan bersanad ilmu pada Syekh Abdurrohman Klotok.
2. Syekh Ahmad Munada Rowobayan (1827-1915 M)
Syekh Ahmad ibn Munada al Fadangi (Mbah Ahmad Rowobayan) merupakan santri Jabal Qubaisy, murid Syekh Sulaiman Zuhdi al Naqsabandy. Saat di Makkah, Syekh Ahmad Rowobayan satu angkatan dengan Syekh Hadi Girikusumo Mranggen Demak, Syekh Muhammad Ilyas Banyumas, Syekh Abulwahab Rokan, dan Syekh Muda Wali al Khalidi Aceh.
Nama-nama tersebut, kelak jadi tokoh kunci thoriqoh Naqsabandiyah Khalidiyah di Nusantara. Syekh Ahmad Rowobayan adalah kawan dekat Syekh Hadi Girikusumo Mranggen. Keberadaan Syekh Ahmad di Makkah, sezaman dengan Syekh Sholeh Darat, dan Syekh Kholil al Bangkalani.
Sepulang dari Makkah, Syekh Ahmad mendirikan pesantren di Dusun Rowobayan Padangan. Sebuah pesantren thoriqoh yang kelak jadi pusat thoriqoh Naqsabandiyah Khalidiah abad 20 di Jawa Timur. Pada awal 1900 M, pesantren itu didatangi santri dari berbagai daerah di dalam dan luar Pulau Jawa.
Banyak murid Syekh Ahmad yang kelak jadi mursyid dan mendirikan pesantren di daerah masing-masing. Di antara santri Syekh Ahmad bin Munada adalah; Kiai Ismail Talok Ngawen Blora, Kiai Musta’in Jatirogo Tuban, Kiai Bakar Kedung Klantheng Lamongan, dan Kiai Abdurrohman Ajib Kepatihan Gresik.
3. Syekh Muhammad Hasyim Alfadangi (1850-1942 M)
Syekh Muhammad Hasyim Alfadangi sosok ulama ahli Nahwu-Shorof yang mempopulerkan Bojonegoro sebagai bagian dari jejaring ulama Nusantara di Tanah Haramain. Sebab, kitab-kitab karya beliau banyak dibahas di Timur Tengah.
Diantara karya beliau yang cukup populer adalah Terjemah Imrithi, Terjrmah Alfiah, kitab al Maqsud, Kitab Khotbah, dan tentu saja Kitab Tashrifan Padangan.
Jejak Syekh Hasyim Alfadangi justru mudah ditemui melalui keberadaan karya-karyanya. Kitab Tashrifan Padangan misalnya, selain diperbincangkan di Timur Tengah, juga di wilayah India. Terbukti, ada kitab Tashrifan Padangan yang dicetak di Bombai India pada 1328 H.
Tak ada catatan pasti terkait tahun kehadiran beliau di Makkah. Namun, beliau berada di Makkah pada era keulamaan Syekhona Kholil Bangkalan. Artinya, keberadaan beliau di Makkah sezaman dengan Syekh Mahfudz Tremas (1868-1920) dan Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi (1860-1916).
Sepulang dari Makkah, Syekh Muhammad Hasyim al Fadangi mendirikan sebuah pesantren di Dusun Jala’an Padangan, dan lebih dikenal dengan nama Mbah Hasyim Jala’an Padangan. Banyak santri beliau yang kelak jadi ulama besar. Diantara santri beliau adalah KH Baidlowi Lasem dan KH Bisri Mustofa Rembang.
4. Syekh Sulaiman Kurdi Al Bujuneguri (1904-1953)
Nama Syekh Sulaiman Kurdi al Bujuneguri tercatat dalam kitab al-Jawahir al-Hisan fi Tarajum al-Fudhala karya Syekh Zakariya Billah. Oleh sang penulis, beliau dijuluki al Alim al Fadhil asal Tanah Jawi yang berkiprah di Tanah Makkah.
Di Makkah, Syekh Sulaiman Kurdi belajar pada ulama besar pada zamannya seperti Syekh Umar Bajunaid, Syekh Nahrawi al-Banyumasi, Syekh Soleh Syatha, hingga Syekh Umar Hamdan. Beliau belajar dengan penuh kesungguhan hingga mencapai derajat keulamaan.
Syekh Sulaiman Kurdi dikenal sebagai ulama pengajar yang mumpuni. Beliau tak hanya mengajar di satu tempat. Tapi beberapa tempat. Di antara santri beliau adalah Syekh Zakaria Billah, figur yang menulis biografi beliau.
Beliau berjejaring dengan Syekh Ahyad Al Bughuri (1885 – 1952), Syekh Abdullah Durdum Al Fadani (1915 – 1987), hingga Syekh Yasin Al Fadani (1916-1990). Syekh Sulaiman Kurdi menghabiskan usia di Tanah Haromain. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la.
5. Syekh Zuber Umar Jilani (1908-1990)
Nama Syekh Zuber Umar masyhur tak hanya di Tanah Haromain, tapi juga Timur Tengah secara umum, sebagai seorang ahli ilmu falak. Meski terkenal sebagai ulama Salatiga, Syekh Zuber Umar lahir dan tumbuh di Bojonegoro. Tepatnya di Kuncen Padangan, Bojonegoro.
Syekh Zuber Umar adalah santri Tebu Ireng yang digadang-gadang jadi mantu Hadratusy Syekh Hasyim Asyari. Syekh Zuber Umar berguru pada banyak ulama. Dari ulama Jawa, Tanah Haramain, hingga Damaskus dan Mesir. Guru beliau yang cukup terkenal adalah Syekh Umar Hamdan Al Mahresi (w.1949).
Syekh Zuber Umar adalah ulama ahli astronomi yang diakui dunia Timur Tengah. Keahlian beliau dalam ilmu falak, kemudian diakui para ulama Al-Azhar Mesir. Sehingga beliau diangkat sebagai dosen ilmu falak Al Azhar Mesir selama tahun 1931-1935.
Melalui karya berjudul Al Khulashotul Wafiyah, nama Syekh Zuber Umar masyhur sebagai ahli falak abad 20 yang dikenal Timur Tengah. Kitab ini jadi acuan bidang astronomi oleh para ulama, baik di tanah air maupun di Timur Tengah, untuk menentukan hisab (perhitungan) awal dan akhir bulan Ramadhan dan bulan-bulan qomariyah lainnya.
Itu di antara sejumlah ulama Bojonegoro yang memiliki jejak dan jaringan intelektual di Tanah Haramain secara khusus, dan Timur Tengah secara umum. Saya percaya, masih banyak ulama-ulama Bojonegoro yang berkiprah di Tanah Haramain dan Timur Tengah yang jejak dan karya-karyanya belum ditemukan.