Minggu pagi, Aya mengajak Bama menemaninya pergi berbelanja ke pasar tradisional. Aya berniat membeli berbagai macam kebutuhan makanan untuk beberapa minggu ke depan.
Aya dan Bama yang merupakan teman kuliah, entah kenapa, sering mendapat tugas berbelanja oleh teman sekelasnya. Teman sekelas di kampus memang sering mengadakan agenda makan-makan bersama.
Mereka berboncengan dengan motor matic milik Bama. Mengantar Aya berbelanja di pasar tradisional adalah pengalaman pertama Bama.
Setelah memarkirkan motor, tanpa banyak bicara, Aya langsung masuk ke pasar tradisional yang dipadati banyak pembeli. Bama yang terlihat masih ngantuk gara-gara nonton bola, mencoba sekuat tenaga mengikuti langkah cepat Aya dari satu lapak ke lapak yang lain.
Pasar tradisional yang mereka datangi memang teramat padat. Para pembeli dari berbagai kalangan memadati toko hingga lapak lesehan di pasar tersebut. Tidak mengagetkan memang. Sebab pasar tradisional masih sangat diminati.
Bama, justru cukup kaget dengan aktivitas yang dilakukan Aya ketika melakukan transaksi di beberapa lapak pedagang. Bama melihat Aya justru tidak seperti biasanya. Aya tidak manja. Justru, Aya sangat mandiri. Tidak seperti yang sebelumnya Bama anggap.
Aya tak canggung untuk menawar barang yang akan dibelinya. Bahkan, Aya berani menawar sampai setengah harga. Bama seperti menemukan sesuatu yang baru dalam diri Aya karena hal tersebut.
Belum sampai 30 menit di pasar, tas belanjaan Aya sudah penuh dengan berbagai macam sembako. Bama yang hanya bisa ngintilin Aya di belakang, terlihat tak percaya dengan apa yang dilihatnya dari sosok teman dekatnya itu.
Setelah belanjaannya dirasa cukup, Aya memberi kode pada Bama untuk bergegas pulang. Mereka berdua pun menuju ke tempat parkir kendaraan.
Aya menenteng tas belanjaan yang berisikan sayur mayur. Sedangkan Bama, membawakan tas belanjaan yang berisikan ikan segar dan daging ayam. Dalam perjalanan menuju tempat parkir itu, Bama sempat bertanya dengan penuh semangat pada Aya.
“Ay.. Ay..” ujar Bama yang berjalan di belakang Aya.
“Apa?” jawab Aya tanpa menoleh dan terus saja berjalan.
“Aku kok baru tahu kalau kamu pandai nawar gitu, nawarnya sadis lagi, siapa sih yang ngajarin?” sekali lagi, Bama bertanya pada Aya.
“Nggak ada, otodidak.” jawab Aya singkat.
Aya melangkahkan kaki dengan kecepatan yang lebih ditingkatkan. Bama nampak keteteran mengikuti pergerakan cepat gadis yang punya nama lengkap Maulaya Safania tersebut.
“Eh Ay, Aya.. tapi aku kaget banget lho tadi. Selama ini aku kenal kamu sebagai cewek yang kalem dan cenderung lugu. Tapi ternyata kamu bisa gahar juga ya kalau masalah tawar menawar kayak tadi,” goda Bama, mencoba menginisiasi pembicaraan.
“Udah ah, ayo cepetan jalannya, keburu siang nih,” jawab Aya.
“Eh, Ay.. Ay..”
“Apa lagi sih, Bam?” jawab Aya dengan nada ketus.
“Itu lho, belanjaan sayuranmu ada yang jatuh,” ungkap Bama dengan nada bercanda.
Aya terkejut kemudian memberhentikan langkahnya. Tatapan tajam Aya langsung diarahkan ke Bama. Tatapan mata yang membikin suasana pasar tiba-tiba teramat sepi.
“Kenapa nggak diambil sih? Hih!” kata Aya yang memberikan tatapan ketusnya kepada Bama.
Mereka pun bergegas pergi meninggalkan pasar tradisional yang, entah kenapa, tiba-tiba kembali ramai dengan para pembeli. Tentunya, dengan wajah Maulaya Safania yang masih ditekuk dan cemberut.