Jembatan Sasradilaga sudah jadi. Akses masyarakat lancar jaya abadi. Tidak harus dipungut biaya untuk bayar perahu tambang lagi. Tapi, bagaimana nasib penambang perahu sekarang? Alih profesi kah? Atau nganggur seperti saya? Hihihi
Berikut sedikit hasil pengamatan saya di pinggir Bengawan Solo pasca jembatan Sasradilaga sudah jadi.
Siang itu saya sedang makan rujak di pinggir bengawan bekas Tambangan 1. Suasana sangat sepi sekali. Dulu, banyak lalu lalang kendaraan bermotor. Sepeda ontel dan pejalan kaki, hampir semua warga seberang sungai lewat sini.
Saya juga melihat perahu ngangkrak tak terpakai di tepi bengawan.
Pasca jembatan jadi, banyak penambang perahu yang kini beralih profesi. Termasuk orang-orang berjualan di pinggir bengawan, omsetnya menurun drastis.
Warung rujak yang— beberapa bulan lalu— sehari bisa menjual 25 bungkus rujak, kini hanya mampu menjual 5-7 bungkus rujak saja sehari. Karena, saat ini orang yang melintas di kawasan tersebut sudah sangat sedikit.
Di situ saya mulai merasa sedih dan berusaha mengimajinasikan sesuatu yang membahagiakan.
Bagaimana jika semua itu dijadikan pariwisata? Perahu-perahu yang tidak terpakai bisa beroperasi mengangkut wisatawan yang ingin keliling Bojonegoro lewat sungai Bengawan Solo.
Menurut informasi, Bojonegoro adalah daerah kotanya yang paling banyak dilewati aliran sungai Bengawan solo. Dan menariknya, di setiap sepanjang tepian sungai, ada sejumlah opsi kuliner penunjang wisata.
Contohnya, ada tahu yang berada di Desa Ledok. Kemudian ada rujak Mbak Tini di Jetak. Lalu, ada wisata petik belimbing. Tentu bisa dibikin souvenir ala ala pinggir sungai. Ini sangat menunjang wisatawan menikmati sungai dengan makan kuliner itu.
Belum lagi, setiap tahun Bojonegoro punya event Festival Bengawan. Ini bisa jadi jurus pamungkas untuk pengenalan pariwisata. Khususnya bagi wisatawan luar kota.
Terlepas dari ide yang nggak bagus-bagus amat itu, ada kendala nih, Nabs. Orang-orang yang hidup di sekitaran sungai masih suka buang sampah di sungai. Kebetulan saya juga. Hehe
Kelak, entah kapan saya juga tidak tahu, jika warga sekitar bisa punya mindset beranda rumah menghadap ke sungai, niscaya meraka akan berupaya untuk tidak buang sampah ke sungai. Yang jadi soal, masih banyak rumah membelakangi sungai. Hihihi
Bahkan, kemungkinan warga akan bergotong royong untuk membersihkan berandanya. Secara manusia akan selalu memperbaiki tempat tinggal untuk jadi enak dipandang. Apalagi, jika ada peraturan daerah yang menyepakati itu semua.
Wah kita bakalan punya ciri khas baru nih tentang pariwisata pinggir sungai.
Yah, semoga ceracau tentang pasca jadinya jembatan Sasradilaga ini tersampaikan ya, Nabs. Paling tidak biar bisa bantu bakul rujak langgananku itu. Hehe