Bojonegoro merupakan gudang para Sastrawan Jawa. JFX Hoery adalah satu di antara sedikit sosok paling ikonik di ranah Sastra Jawa Bojonegoro.
Tatap matanya teduh namun tetap tajam. Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Tapi semangat dan produktivitas menulisnya sungguh sangat mengagumkan. Saat kami temui kemarin (8/5/2019), ia sedang merampungkan sejumlah tulisan.
Kami memasuki sebuah ruang tamu dengan meja yang dipenuhi tumpukan buku. JFX Hoery, sedang asyik menatap layar PC yang memampangkan deretan huruf kecil berwarna gelap.
Sembari tetap menatap layar komputer, JFX Hoery sesekali melayani pertanyaan kami. Kami bertanya banyak hal pada JFX Hoery. Tentang masa depan sastra Jawa, produktivitas menulis, hingga kekhawatiran-kekhawatiran kecil akan hilangnya Bahasa Jawa.
Kini di usia senja, Hoery masih tetap produktif dalam tulis menulis. Semangat Hoery terbersit dalam guratan kata dan kalimat pilihannya. Kini sebanyak 16 karya sudah dirilis oleh Hoery. Dengan 8 buku berbahasa Indonesia dan 8 buku menggunakan Bahasa Jawa.
“Kalau yang karya sendiri ada 16 buku. Kalau yang berkolaborasi kira-kira sudah ada ratusan,” ujarnya sambil mengingat.
Sejak 1962 Hoery memulai karir sebagai penulis. Sampai detik ini, kecintaan pada tulis menulis tak pernah redup. Sebagian besar karyanya memang ditulis dalam bahasa Jawa. Berupa cerita pendek, cerita bersambung, cerita rakyat, cerita misteri, roman sejarah, reportase dan geguritan.
Ada juga yang dimuat di majalah-majalah berbahasa Jawa. Yang terbit dari tahun 1971 hingga sekarang. Dengan latar belakang seorang wartawan, Hoery merupakan penulis yang produktif.
Hoery juga sempat menjadi wartawan dari media Kedaulatan Rakyat (1985-1989) dan Bernas (1990-2001). Setelah itu Hoery memutuskan untuk menyudahi menjadi seorang wartawa. Hoery memutuskan untuk menjadi penulis lepas. Hingga akhirnya Hoery tertarik pada sastra Jawa.
“Bagi saya sastra Jawa lebih kuat daya tariknya daripada menjadi wartawan. Serta sastra Jawa bisa memberi kepuasan batin tersendiri daripada sastra Indonesia,” jelas Hoery.
Hoery merupakan pekerja keras, ulet, teliti, juga seorang pendokumen yang baik. Arsip hasil karya tulisnya, termasuk foto masih disimpan rapi di rumahnya. Jika kamu tahu sebenarnya latar belakang pendidikan Hoery. Tidak ada sangkut pautnya dengan dunia jurnalis.
Pendidikan terakhir Hoery adalah STM. Saat itu, pada 1970-an, Hoery sempat bekerja di pengeboran minyak di sejumlah daerah di Jawa. Selain melahirkan karya, Hoery juga menerima berbagai penghargaan.
Seperti penghargaan atas karya Hoery dalam lomba. Hingga penghargaan atas kontribusi Hoery dalam melestarikan bahasa Jawa. Di tengah euforia yang kini melanda Indonesia. Hoery mengaku sangat prihatin atas perkembangan sastra Indonesia, teruntuk sastra Jawa.
Sastra Jawa kini semakin redup. Ini disebabkan karena jam pelajaran bahasa Jawa tak sebanyak dulu. Akibatnya, anak-anak muda sekarang sudah tidak punya sopan santun terhadap orang tua.
“Itu sebab dari pelajaran bahasa Jawa mulai ditinggalkan,” katanya.
Pria kelahiran 7 Agustus 1945 itu menjelaskan, dialektika sastra jawa terbentuk karena lingkungan sekitar. Jika lingkungan sekitar tidak mendukung. Bagaimana sastra Jawa bisa dilestarikan. Meski kegiatan sastra Jawa semakin surut. Hoery tak rela jika suatu saat nanti sastra Jawa mati.
Untuk itu, Hoery terus melestarikan sastra Jawa lewat tulisan dan berbagai karya lainnya. Kini Hoery tengah menyelesaikan 2 karya buku termutakhirnya. Di antaranya berjudul 1000 Haiku dan Tante Haryati. Sebelumnya Hoery juga telah merilis buku dengan bahasa Jawa. Dengan judul Lintang Panjer Esuk.