Wayang telah resmi menjadi warisan budaya asli Indonesia menurut UNESCO. Pemerintah Indonesia pun menetapkan tanggal 7 dan 8 November sebagai Hari Wayang Nasional. Tentu, harapannya, generasi muda tidak melupakan kesenian nenek moyang satu ini.
Bojonegoro sendiri memiliki sosok seniman yang masih setia bergelut di dunia wayang. Joni panggilan akrabnya. Dia salah satu seniman pembuat wayang yang masih ada hingga saat ini. Uniknya, dia membikin wayang menggunakan kertas karton.
Wayang-wayang tersebut dijual di tokonya, di sebuah bangunan kecil di belakang pabrik mebel di Desa Ngrowo Kecamatan Kota Bojonegoro.
Dari kisah yang dia tuturkan, Joni lahir di Solo dan putus sekolah sejak kelas 1 SD. Sekitar tahun 1980-an, dia pindah ke Jakarta bersama anaknya. Di sana, dia membuat wayang untuk dijual. Setelah itu, pada 2003 dia pindah ke Bojonegoro mengikuti anak sulungnya. Sejak saat itu dia membuat wayang dan berjualan di Bojonegoro.
Pria bernama asli Tukirin itu, membuat wayang dari bahan kertas karton dan duplex. Bahan itu tentu sangat mudah didapat dan murah harganya. Proses pembuatan wayang dari karton dan duplex pun cukup singkat. Dalam sehari, setidaknya dia bisa membuat 1 atau 2 wayang.
“Ini tinggal digambar, dipotong, terus diwarnai. Proses pengeringan cukup sehari.” kata kakek berusia 80 tahun lebih tersebut.
Dia tidak membuat wayang dari bahan kulit karena mahal dan susah. Alasannya, target pasar penjualan wayangnya adalah para pelajar. 1 tokoh wayang berukuran paling kecil dijual dengan harga Rp 10 ribu, sedangkan yang paling besar dijual dengan harga Rp 50 ribu.
Namun, wayang yang dia jual tidak hanya laku dikalangan pelajar di Bojonegoro. Beberapa pembeli juga datang dari luar kota seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, bahkan Maluku juga ada.
“Dari luar kota biasanya saya kirim lewat pos. Tapi yang dari Maluku datang langsung. Pernah juga ada orang Australia tiba-tiba datang terus beli. 1 buah saya kasih harga 20 ribu, eh malah dibeli 200 ribu.” ujarnya.
Sejak kecil dia suka sekali melihat pementasan wayang. Kemudian dia terus belajar menggambar tokoh wayang sendiri. Joni sangat hafal dengan berbagai cerita pewayangan. Namun, cerita yang paling dia sukai adalah kisah tentang lahirnya Wisanggeni.
Untuk Bojonegoro sendiri, bapak dari 5 anak ini sering menerima pesanan dari pelajar SMA. Sejumlah sekolah yang kerap memesan karyanya antara lain SMA Negeri 1, SMA Negeri 4 dan SMT N Bojonegoro. Selain sekolah, dia sering mendapat pesanan dari Hotel Aston. Wayang yang mereka pesan biasanya untuk mainan atau hiasan.
“Kalau untuk pertunjukan saya tidak berani, soalnya susah nyari bahannya dan ribet. Harus bagus.” ujarnya.
Selama berkarya membuat tokoh pewayangan, tentu ada cerita suka dan duka. Dia bercerita tentang kenyamanan yang dia peroleh dari berkarya. Dengan berkarya, dia bisa melestarikan budaya Jawa sekaligus mendapatkan cara memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan dukanya, dia sangat tidak tenang jika mendapat pesanan begitu banyak dengan waktu singkat.
“Masa hari ini pesan terus besoknya diambil? Kan butuh waktu proses.” imbuhnya.
Pria sering disapa Mbah Joni itu kadang bingung meladeni permasalahan pesanan. Yang paling sering adalah perubahan tokoh yang harus dia buat. Seperti tokoh Werkudara atau Bima yang mukanya berwarna hitam dipesan dengan karakter berwajah kuning. Namun begitu, dia tetap memilih menyesuaikan pesanan.
“Lha gimana? Pelajar sekarang sudah gak njawani. Mereka kan tidak paham.” ujarnya.
Setelah berkarya sekian lama, dia berharap bisa hidup tenang di masa tuanya. Tentu bersama anak dan cucu yang dia miliki. Bahkan, kalau ada undangan atau ajakan ke luar kota, pasti akan dia tolak. Selama ini memang begitu, dia tidak mau jika diajak ke luar kota.
“Kalau sudah tua begini mau ngapain? Ya cuma ingin hidup tenang saja.” tambahnya.
Wayang sebagai budaya leluhur harus terus dilestarikan. Setidaknya, para generasi muda penerus bangsa harus tahu dan paham mengenai seluk beluk sejarah wayang beserta kisah-kisahnya.
Comments 1