Kamis menjadi hari spesial bagi Jurnaba. Tiap Kamis, kami berkumpul untuk belajar dan mendiskusikan berbagai macam hal. Bahkan, saking spesialnya, kami menamai Kamis sebagai Kamiskusi.
Di Kamiskusi, kami mengubah diri menjadi anak kecil yang baru belajar membaca dan merangkai huruf. Kami bertanya-tanya dan saling jawab berbagai kegelisahan hidup yang ada di kepala.
Sesekali, kami merutuki nasib yang kadang kurang menyenangkan, lalu dengan bangga mengkisahkan dan menertawakannya. Dengan harapan, mampu mengambil pelajaran darinya.
Berkali-kali, kami mensyukuri nasib yang sangat menyenangkan. Sebab hingga kini, kami masih diberi kesempatan hidup dan terus belajar. Kami meyakini bahwa hidup untuk belajar. Untuk mensyukuri nikmat sang maha pencipta.
Dalam ilmu astrologi, setiap hari dalam satu minggu memiliki planetnya sendiri. Kamis dikaitkan dengan planet Jupiter — yang merupakan planet terbesar dalam tata surya. Tak heran jika Kamis menjadi hari spesial bagi berbagai pihak. Termasuk Jurnaba.
Kamiskusi adalah ruang belajar bagi Jurnaba. Tempat kenangan dan hari ini diolah menjadi berbagai jenis cita-cita hidup. Mengambil perihal baik dari berbagai kejadian hidup. Bahkan jika kejadian itu sekadar kesia-siaan belaka. Sebab kami meyakini tak ada yang sia-sia dalam hidup.
KAMISKASIH
Kamiskasih menjadi metamorfosis dari Kamiskusi. Kasih dan cinta tak bisa dilepaskan dari hidup manusia. Untuk menghormati rasa cinta, kami memaknainya sebagai Kamiskasih. Kamis yang penuh kasih.
Salah satu di antara kru Jurnaba sedang jatuh cinta, misalnya. Dengan gegap gempita kami memodifikasi Kamiskusi menjadi Kamiskasih. Kamiskusi yang penuh kasih. Sebab, ia anugerah yang tak semua orang mampu saling bertukar sesuai keinginannya bukan?
Kamiskasih menjadi ladang belajar bagi kami untuk saling menghargai rasa kasih. Baik kasih secara personal kepada sosok tertentu, maupun secara tidak personal pada mereka yang sedang dilanda banjir kasih.
KAMIS BERPUISI
Kamis ini menjadi Kamis teramat spesial karena bertepatan dengan Hari Puisi Sedunia. Sesaat setelah rapat redaksi, kami pun sepakat merayakan hari puisi itu dengan sederhana. Kami memilih satu puisi pilihan untuk dibaca.
Art Officer Jurnaba.co, Adityo Dwi Wicaksono membacakan puisi milik Adi Gembel yang konon tak memiliki judul. Mantan anak muda post hardcore itu membacakan puisi dengan keteduhan yang membabi-buta. Puisi itu, dia persembahkan untuk dek nganu. Hehe
Berbeda dengan Dito, Art Director Jurnaba.co, Dian Wisnu Adi Wardhana membacakan puisi Joko Pinurbo berjudul Meja Makan. Dia membacakan puisi itu penuh jatmika. Puisi itu, konon, dia persembahkan untuk seseorang yang sedang dekat dengannya.
Secretary Officer Jurnaba.co, Bakti Suryo Nugroho yang kentutnya saja konon berupa puisi, memilih membacakan puisi karya Chandra Malik berjudul Kita dan Kata. Puisi itu dia persembahkan pada seseorang yang sedang jauh nun di sana. Tapi dekat di hatinya.
Social Media Strategist Jurnaba.co, Widyastuti Septiyaningrum, dengan penuh intonasi membacakan sebuah puisi berjudul Jalan, karya Gunawan Tri Atmodjo. Pembacaan penuh cinta itu dia persembahkan untuk sosok lelaki di depannya. Lelaki yang dia panggil dengan nama: Mamaz Anyin.
Terakhir, Pimred Jurnaba.co, Mahfudin Akbar, membacakan puisi Eka Budianta berjudul Sebelum Laut bertemu Langit. Dengan suara sengau akibat pilek, puisi itu dia persembahkan untuk sosok yang membikin dia rajin mandi dan ke kantor pakai minyak wangi. Dia memanggil sosok itu dengan panggilan: Wiwds.
Nabs, itu cara sederhana kru Jurnaba.co merayakan hari Kamis dan Hari Puisi Internasional. Layaknya anak kecil, di Jurnaba, kami tidak malu belajar banyak hal. Bagi kami, Jurnaba sangat mirip pondok pesantren. Tempat ilmu dan pengalaman digoreng bersama kebersamaan.