Meski terletak di pojokan dan jarang terlihat mentereng, Kecamatan Margomulyo menjadi satu-satunya kecamatan di Bojonegoro yang punya prestasi literasi tingkat nasional.
Sejak Finlandia dikukuhkan sebagai negara paling melek literasi pada 2016 silam oleh The World’s Most Literate Nations (WMLN), dunia gempar. Padahal, itu bukan panen raya tanpa upaya bertanam.
Tradisi membaca buku sudah tertanam sejak lama. Berbagai macam sisi sangat mendukung negara beriklim dingin itu untuk akrab dengan buku bacaan. Baik sisi pemerintah maupun masyarakatnya.
Pemerintah Finlandia benar-benar mendukung pendidikan anak sejak dini. Setiap keluarga yang baru memiliki bayi, berhak mendapat bingkisan perkembangan anak. Bingkisan itu berisi berbagai keperluan bayi seperti pakaian, mainan, dan, buku bacaan.
Negara kita sebenarnya tak kalah maju. Sebab, anak baru lahir langsung diberi pelajaran tentang pilihan politik. Sayangnya, pelajaran itu tak berbasis baca buku.
Selain itu, Finlandia punya banyak perpustakaan. Perpustakaan merupakan institusi budaya yang jadi kebanggaan masyarakat Finlandia. Setiap tahun, jumlah buku yang dipinjam dari perpustakaan selalu tinggi.
Finlandia bahkan menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negara lainnya, sehingga stok buku-buku baru yang sesuai dengan rentang usia, selalu ada dan tersedia.
Untuk perpustakaan resmi misalnya, petugas perpustakaan di Finlandia merupakan lulusan terdidik yang dengan senang hati menjadi referensi tambahan bagi tamu yang ingin bertanya.
Nabs, petugas perpus yang seperti itu, tentu jodoh ideal bagi para pembaca buku. Sialnya, jumlahnya sangat sedikit — untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali — di Bojonegoro.
Selain perpustakaan formal, banyak perpustakaan tidak formal yang terdapat di Finlandia. Banyak perpustakaan yang menyatu dengan mall. Ibu-ibu yang sedang berbelanja misalnya, bisa meninggalkan anaknya di perpustakaan untuk membaca.
Secara umum, Indonesia memang butuh belajar banyak dari Finlandia. Ingat, belajar! Bukan mengutuk, tapi belajar!
Data Perpustakaan Nasional 2017, masyarakat Indonesia rata-rata hanya membaca buku 3-4 kali per-minggu, dengan durasi 30-60 menit per-harinya. Setiap tahun, rata-rata masyarakat Indonesia hanya menamatkan 5-9 judul buku.
Statistik itu, tentu saja amat nggeblak jika dibanding Finlandia — negara dengan peringkat teratas perkara minat baca. Dari penelitian Central Connecticut State University (CCSU), masyarakat Finlandia menghabiskan 10-12 jam per minggu untuk membaca.
Pada 2016, kunjungan masyarakat Finlandia ke perpustakaan mencapai 91 juta dengan total peminjaman bahan bacaan mencapai 87 juta. Rata-rata, masyarakat Finlandia mengunjungi perpustakaan sebanyak 16-20 kali setiap tahunnya.
Membandingkan minat baca Indonesia dengan Finlandia tentu tidak sopan. Apalagi membandingkannya dengan Kota Bojonegoro. Tentu bisa kualat. Namun, belajar dari Finlandia adalah tindakan yang paling tepat.
Membangun optimisme dari sudut Kota Bojonegoro
Nabs, urusan literasi, Bojonegoro memang minim prestasi. Namun, di sudut paling tenggara Kota Bojonegoro, ada satu kecamatan yang pernah mendapat prestasi perpustakaan terbaik tingkat nasional.
Ya, kecamatan itu adalah Kecamatan Margomulyo. Kecamatan yang jarang mengekspos diri ke pusat kota. Di Margomulyo, ada perpustakaan bernama Perpustakaan Tunas Asa.
Perpustakaan Tunas Asa mewakili Bojonegoro untuk lomba tingkat provinsi dan berhasil juara satu dan menjadi wakil Jatim di tingkat nasional. Mengalahkan Surabaya dan Kabupaten Malang sebagai juara II dan III.
Seperti namanya, Tunas Asa mampu jadi wakil Jatim di tingkat nasional dan meraih juara pertama perpustakaan terbaik tingkat nasional pada November 2015 silam.
Perpustakaan Tunas Asa berdiri pada 2012. Ide awalnya berasal dari ibu-ibu PKK yang ingin menumbuhkan minat baca, khususnya di kalangan pelajar dan generasi muda.
Meski sudah lama, setidaknya, itu catatan positif bagi dunia literasi di Bojonegoro. Sebab, Margomulyo yang letaknya teramat jauh dari pusat kota, mampu mewakili pusat kota yang justru tak banyak berbuat apa-apa.
Bojonegoro harus memperhatikan kecamatan-kecamatan yang jauh dari pusat kota. Sebab, yang jauh biasanya lebih kreatif memaksimalkan potensi dibanding yang dekat-dekat manja.
Jika Kecamatan Margomulyo — yang letaknya jauh dari pusat kota — saja sudah mengawali prestasi bagus, saya percaya jika Bojonegoro pun bisa belajar dari tradisi membaca orang-orang Finlandia.
Asal, tentu saja, benar-benar niat memajukan literasi. Bukan sekadar main klaim daerah yang sudah berprestasi tapi justru bingung mau berbuat apa.