Kondisi trotoar kerap kali jadi indikator seberapa ramah sebuah kota. Lalu, bagaimana kondisi trotoar Bojonegoro yang konon begitu ramah pada pejalan kaki ini?
Lubang di trotoar seperti halnya lubang di dalam hati. Harus ditambal. Sebab jika tidak, ia mampu membikin siapapun yang melintas, bakal terperosok ke kubang kesedihan. Eh
Trotoar, kau tahu, adalah objek pertama yang bisa dijadikan indikator untuk melabeli sebuah kota; sebagai kota yang nyaman atau tidak. Atau sebagai kota yang menyenangkan atau tidak.
Pada trotoar, ada banyak fungsi yang sedang diperankan. Sekaligus banyak pertanda yang bisa dibaca. Baik secara fisik trotoar maupun secara psikologis manusianya.
Secara fisik, kondisi trotoar bisa memperlihatkan seberapa lancar arus drainase di kota tersebut. Jika tampilan fisiknya hancur, tentu, bagian bawah — yang jadi jalur drainase — bisa dipastikan juga tidak terawat.
Trotoar yang secara fisik bagus tapi tidak digunakan dengan semestinya, misalnya: dipakai berjualan pedagang kaki lima, tentu, secara psikologis, bakal menggangu para pejalan kaki yang ingin melintas.
Bisa jadi, minimnya minat pejalan kaki juga disebabkan buruknya kondisi trotoar. Meski, alasan itu merupakan alasan yang mentok dan mengada-ada. Sebab, seberapapun buruk kondisi trotoar, kalau punya tekad jalan kaki pasti ya jalan saja. Hee
Sebuah riset tentang pelaku jalan kaki yang dilakukan peneliti Universitas Stanford, AS, yang melibatkan 700.000 sampel dari seluruh dunia, menyebutkan jika Indonesia menempati urutan terakhir sebagai penduduk yang paling malas jalan kaki. Hmmm… semoga hasil riset itu segera berubah ya, Nabs.
Nabs, di dunia ini, ada lho kota yang mayoritas penduduknya suka berjalan kaki. Satu di antara kota-kota tersebut adalah Vancouvern di Kanada. Mayoritas penduduk memilih berjalan kaki karena kondisi trotoarnya sangat menyenangkan.
Ditambah lagi, Pemerintah Kota setempat juga membangun sistem transportasi yang ter-integrasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Hmmm.. kebayangkan, betapa enaknya jalan kaki berdua sama si dia.
Sedangkan untuk di Indonesia, Solo menjadi kota pertama memiliki trotoar dan jalur pedestrian ramah pejalan kaki. Pada 2011 silam, dalam acara Pesta Olahraga bagi Atlet Berkebutuhan Khusus se-Asia Tenggara (ASEAN Para Games), Kota Solo menyambutnya dengan gencarnya pembangunan trotoar.
Nabs, kamu dapat melihat hebatnya trotoar Solo melalui Jalan Slamet Riyadi. Iya sepanjang jalan tersebut, terdapat kursi taman dalam setiap beberapa meter. Jika kamu menyusuri jalan ini, kamu dapat menemukan Taman Sriwedari dan Museum Radya Pustaka Surakarta sekaligus.
Lalu, Bagaimana Kondisi Trotoar Bojonegoro?
Di Bojonegoro, kondisi trotoar sudah mulai jadi perhatian banyak pihak. Meski, tentu saja, ada sejumlah trotoar yang perannya masih kurang maksimal. Jalan Panglima Polim misalnya, sebagai jalan yang sangat ramai, justru trotoarnya tidak merata.
Sedangkan untuk Jalan Diponegoro, meski sebenarnya secara fisik sudah bagus, jalur pedestarian sering terganggu karena banyaknya pedagang kaki lima. Kondisi itu juga terjadi di jalan yang lain seperti Rajekwesi maupun jalan Pattimura.
Sesuai keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999, yang dimaksud dengan trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus disediakan untuk pejalan kaki.
Para pejalan kaki, Nabsky, berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan. Terlebih, mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Karena itu, tujuan utama dari trotoar adalah untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor.
Selain dirawat, yuk kembalikan fungsi trotoar sebagai jalur pedestarian. Sebab pedestrian itu etalase bagi pelintas jalan. Mereka akan menilai baik buruk kota, kau tahu, melalui kondisi trotoar dan pedestriannya.
Dipost pertama 15 Maret 2019