Bagi Tole, setiap tempat menyimpan memorabilia. Tak terkecuali Pasar Halte Bojonegoro yang sekarang sedang diruntuhkan dalam rangka memperbarui dirinya sendiri.
Seperti kebanyakan anak kecil yang lain, Tole anak yang memiliki rasa ingin tahu cukup besar tentang segala sesuatu. Apapun ia pelajari, bahkan botol obat.
Karena ia pernah sakit lama, Tole menggunakan botol bekas obatnya sebagai mainan. Dia berimajinasi sebagai apoteker yang menjual berbagai jenis macam obat-obatan.
Dari kemasan bekas obat, Tole mencoba mengeja nama-nama yang menurutnya aneh. Unsur-unsur kimiawi yang tertera di bekas kemasan obat, di satu sisi membuat Tole senang karena baunya; dan di lain sisi mengandung tanda tanya karena huruf yang tertera pada bekas kemasan itu unik.
Tole merupakan anak yang lahir dari rahim orang Jawa. Dari kecil, berbagai macam tradisi Jawa telah ia ketahui dan lalui. Namun ia juga menaruh hati pada budaya Tionghoa seperti barongsai. Biasanya ia melihat atraksi barongsai bersama ibunya di klenteng ketika perayaan imlek tiba.
Dari menyaksikan pertunjukan barongsai, ia tertarik belajar otodidak huruf cina. Karena rasa tahu yang besar dalam diri Tole begitu bergejolak ketika melihat huruf cina yang terera di ampao berwarna merah. Di sela-sela waktunya, ia juga membuat miniatur pertunjukan barongsai dari kertas, kardus, dan lain-lain ketika berada di rumah.
Bapak Tole sering mengajaknya ke stadion untuk menyaksikan tim kebanggaan kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi sedang latihan maupun berlaga.
Tole begitu senang, melihat kambing-kambing yang berlari dengan riang, Tole pun ikut berlari dengan senang. Tole mengitari stadion, ia berimajinasi sedang menjadi sprinter kelas dunia. Tole dengan nafas yang berat mengelilingi lapangan dengan senang.
Ketika ia memasuki usia remaja, Tole begitu jatuh cinta dengan budaya Eropa. Karena ia pernah membaca buku fiksi dengan latar di benua biru. Selain itu ia berkenalan dengan Eropa melalui buku-buku pemikiran tokoh dan menonton film.
Ketika Tole menginjak usia dewasa, ketika melihat saban tempat ia memiliki memorabilia dan geliat untuk mengabadikan saban kenangan dengan wujud aksara. Seperti beberapa hari yang lalu. Ketika peringatan hari anak nasional, Tole ingin membuat tulisan tentang memorabilia ketika ia berada di masa anak-anak.
Sore itu Tole melintas Pasar Halte yang berada di Banjarejo. Ia melihat sosok pria yang mungkin familiar bagi semua orang, pria itu pengembara sejati. Ia bernama Ogut. Ogut berdiri di depan Pasar Halte yang diruntuhkan. Puing-puing reruntuhan menjadi saksi bisu ketika Ogut berdiri pada sore itu.
Dari peristiwa sore itu, muncul dalam benak Tole untuk mengabadikan kisah tentang bangunan yang menyimpan berjuta kenangan itu. Tole berfikir, peringatan hari anak nasional, tidak harus mengadakan upacara.
Berhubung ada pandemi, memorabilia tentang masa anak-anak dalam bentuk tulisan sebagai langkah menghidupkan hari itu dan langkah menuju keabadian, nampaknya bisa jadi opsi.
Tole memiliki kenangan tersendiri terhadap Pasar Halte. Beberapa orang menyebut Pasar Halte sebagai pasar buah. Pasar Halte berada di Desa Banjarejo, Kecamatan Bojonegoro.
Nama aslinya ialah Pasar Banjarejo. Secara harfiah, penyebutan halte karena di sekat pasar itu dulunya dilalui oleh Natherlandsche-Indische railway . Dan disekitar pasar itu terdapat sebuah halte. Tole masih ingat kala itu, ketika masa anak-anak ia sering ikut neneknya ke Pasar Halte untuk belanja buah. Karena nenek Tole memiliki warung yang menjual beraneka macam buah.
Nenek Tole berangkat di pagi hari. Untuk menuju Pasar Halte, nenek dan Tole berangkat dengan naik becak yang dikayuh oleh Mbah Kasimo. Rute perjalanan yang dilalui, setelah melewati Gapuro Ireng, kemudian menuju Jalan Lettu Suyitno. Lurus terus hingga ada marka jalan bertuliskan awas ada sepur.
Dari marka dan cerita yang berkembang, Tole mengetahui kalau di sekitar marka itu terdapat jalur rel kereta api jurusan Jatirogo-Bojonegoro. Nenek dan ibu Tole menjadi saksi hidup bagaimana ramainya daerah itu. Meskipun sekarang juga masih ramai. Namun keramaian yang dialami nenek Tole dan ibu berbeda begitupun dengan keramaian yang diketahui oleh Tole.
Keramaian itu muncul karena ada rel kereta yang dibangun pada masa Hindia Belanda yang melintasi Banjarejo. Keramaian pada masa itu, juga ramai karena bunyi kereta api yang melintas. Orang-orang yang turun dari kereta dengan membawa buah-buahan, kambing, ayam, dan lain-lain.
Sekitar daerah yang sekarang digunakan sebagai pos polisi, itulah tempat halte berdiri. Tempat orang-orang menunggu kedatangan kereta dan berpisah dengan kereta. Ketika melintasi daerah bekas rel itu, Mbah Kasiomo selalu turun terlebih dahulu. Karena jalannya menanjak. Dan bekas rel kereta hingga sekarang masih bisa dilihat.
Sampai di tugu Tentara Genie Pelajar (TGP), Mbah Kasiomo kembali lagi mengayuh becaknya. Lepas itu, melewati sebuah toko yang dekat dengan tikungan yang menjual beraneka jenis barang seperti celengan, kendi, dan lain-lain.
Toko itu dekat dengan Stasiun Pompa Air. Kemudian ada tanda Jalan Jaksa Agung Suprapto, sebelum dan sesudah tanda itu akan menemui jalanan yang menurun. Setelah kesulitan ada kemudahan, nampaknya relevan dengan usaha Mbah Kasimo dengan becaknya.
Pohon-pohon besar akan menyambut Tole, nenek, dan Mbah Kasimo. Seakan-akan daun-daun yang bergoyang mengucapkan selamat datang di Pasar Halte Bojonegoro. Aroma-aroma khas pasar, terendus. Tole menyaksikan abang becak yang setia menunggu penumpang, penjual tembakau yang duduk dengan tenang, pak kusir yang tidak sedang mengendarai kuda, dan sebagainya.
Kemudian Mbah Kasimo menunggu terlebih dahulu di depan pasar. Nenek mengajak Tole untuk menyelami Pasar Halte. Pohon beringin dengan akar yang menggantung menjadi pijakan Tole apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti berpisah di tengah jalan. Pohon beringin itu menjadi semacam land mark Pasar Halte.
Di bawah pohon beringin, Tole melihat perempuan seusia nenek menjual tembakau. Areal dekat pohon beringin kemudian lurus, akan menemui penjual perkakas bekas yang berkelas. Seperti sepeda bekas yang harganya terjangkau, sedel bekas, perkakas sumur, dan lain sebagainya.
Memasuki lorong-lorong Pasar Halte, ketika Tole bersama neneknya menuju penjual buah. Tentu bedalagi apabila Tole berkunjung ke Pasar Halte bersama ibunya. Ketika berada di Pasar Halte, Tole biasanya selalu menadapat senyum dari nenek-nenek penjual beragam alat rumah tangga. Tole ingat, nenek penjual itu berada di depan warung Mbak Tik yang menjual kebutuhan dapur.
Warung nenek-nenek yang melemparkan senyum, tepat berada di depan warung Mbak Tik. Ketika ibu Tole lelah menggendongnya, Tole turun. Namun terkadang Tole nekat duduk di atas tempat berjualan Mbak Tik.
Semacam tempat dari kayu berbentuk persegi panjang yang digunakan sebagai wadah untuk menjual cabai, bawang merah, dan sebagainya. Berpisah beberapa centi meter dari ibu membuat sanubari Tole gundah gulana.
Nenek penjual perkakas rumah tangga itu, ketika melemparkan senyum nampak gigi palsunya yang terbuat dari perak. Lain waktu, Tole juga pernah mengetahui ketabahan nenek itu, dengan memutarkan tasbih sembari menunggu pembeli datang.
Setelah azan dzhur berkumandang, nenek itu menutup kiosnya. Tole begitu senang ketika diajak ke Pasar Halte oleh nenek maupun ibunya. Ketika berada di pasar, Tole tidak pernah alpa untuk mengetahui keberadaan Tole yang lain. Dengan bercermin di sebuah sumur besar yang ada airnya. Dia mengucapkan salam kepada Tole yang lain.
Durasi ketika berada di Pasar Halte bersama nenek begitu singkat karena setelah membeli buah, nenek membuka kiosnya yang tempatnya agak jauh dari pasar. Ketika ke Pasar Halte bersama ibu, kiranya agak lama.
Dari pasar, Tole juga belajar budaya apresiasi yang dicontohkan oleh ibunya. Dimana biasanya setelah menerima laporan hasil belajar (rapor), ketika di pasar, Tole dibelikan ibu beberapa stel baju.
Tidak semua kemauan Tole ketika di Pasar Halte dituruti oleh orang yang mengajaknya. Misalnya ketika Tole meminta untuk dibelikan permainan semacam mengundi nasib, yang biasanya disebut lot-lotan. Hanya dimomen tertentu saja, permintaan Tole akan hal itu dikabulkan.
Apapun tujuannya ketika di Pasar Halte. Bagi Tole rasanya kurang lengkap apabila belum menuju sebuah toko dengan nama Cipta Jaya. Di toko itu, Tole selalu minta es loli. Toko tersebut merupakan toko yang menjual beberapa jasa, salah satu di antaranya jasa mengabadikan kenangan (foto).
Berkunjung ke Cipta Jaya merupakan bagian penutup kunjungan ke Pasar Halte. Setelah itu biasanya pulang. Ketika di Pasar Halte bersama nenek, Tole pulang dengan becak yang dikayuh oleh Mbah Kasimo.
Ketika di Pasar Halte bersama Ibu, Tole pulang dengan sepeda ontel yang dikayuh ibu. Tole memegang erat ibu dari belakang, sebagai wujud kasih sayang ibu terhadap buah hatinya, sebelumnya kaki Tole diikat terlebih dahulu dibagian tertentu agar tidak masuk ke jeruji yang ada di roda sepeda.
Itulah memorabilia Tole terhadap Pasar Halte yang sekarang sedang luluh lantah atas nama pembangunan. Di usia dewasa, Tole menyaksikan menara yang bentuknya mirip dengan menara yang ada di Hagia Sophia.
Itu merupakan menara sebuah masjid yang berada di Desa Banjarejo. Dimana ketika Tole kecil pernah ngangsu kaweruh di sana belum menyaksikan keberadaan menara yang bentuknya mirip dengan menara di Hagia Sophia itu.
Dalam benaknya, Tole tidak ingin Pasar Halte luluh lantah begitu saja tanpa adanya sesuatu yang abadi. Maka dari itu, sehari setelah peringatan hari anak nasional. Tole juga ingin menghidupkan hari itu dengan sebuah memorabilia terhadap Pasar Halte Bojonegoro dan sekitarnya.
Tuban, 3 Dzul Hijjah 1441 H