Mereka yang mampu membangun kepercayaan dengan baik, tentu tidak mudah diusik kesalahan-kesalahan manusiawi. Terlebih, ada riwayat baik yang terus terpelihara di otak para pembaca.
Berbicara soal kepercayaan, manusia memang punya sistematikanya tersendiri. Laiknya teori pada buku Mind-Society yang ditulis oleh penstudi psikologi, Paul Thagard.
Ia mengatakan bahwa kepercayaan merupakan proses ilmiah dalam otak. Tidak hanya aksi dan reaksi dalam perilaku manusia sebagai makhluk sosial.
Thagard mengatakan, kepercayaan adalah proses otak yang mengikat representasi diri, orang lain, situasi, dan emosi. Relasi tersebut membuat pola khusus yang menyebabkan terjadinya reaksi pada sel saraf atau neuron manusia.
Kepercayaan termasuk dalam bentuk emosi. Laiknya penjelasan cinta dalam analisis psikologi dan tubuh manusia. Kepercayan merupakan pola saraf yang menggabungkan representasi situasi, perubahan fisiologis serta representasi diri.
Bisa dikatakan bahwa kepercayaan adalah proses manusia mengelola aksi yang diterima. Menelaahnya sebagai kode, pesan, dan makna. Kemudian merubahnya menjadi suatu reaksi tertentu.
Ibarat sinar matahari yang mengenai tumbuhan. Terus-menerus, hingga mempengaruhi tiap selnya. Membuatnya berproses, lalu tumbuh. Mengikuti arah datangnya matahari.
Begitu pula kepercayaan manusia pada berbagai macam hal. Kepercayan pada kekuasaan yang lebih tinggi, orang lain, maupun ide-ide tertentu.
Memasuki era informasi, atau juga disebut era media baru, tahun 1970an. Perihal kepercayaan masyarakat tidak hanya diperebutkan oleh politisi. Namun juga media.
Media yang awalnya berperan sebagai pemberi kabar. Didukung dengan adagium information is the new oil. Bahwa informasi ibarat sumber energi yang harus digali, dan menjadi harta karun tersendiri. Media seakan berkembang menjadi penjaja informasi.
Terutama pada era jaman now. Media melalui kendaraan digital semakin melaju dengan kecepatan tinggi. Ada media yang menawarkan kecepatan dalam menyediakan informasi. Ada juga media yang menawarkan analisis mendalam atas sebuah informasi.
Keduanya sama-sama mendamba kepercayan masyarakat. Keduanya juga punya andil dalam mengkampanyekan kultur membaca informasi yang benar ke masyarakat. Sebab, musuh dari semua media adalah kabar yang tidak mengantongi cukup referensi. Namun, dipertebal dengan asumsi dan cocoklogi.
Indonesia punya banyak media yang menjunjung idealisme dalam menyampaikan suatu informasi. Baik idealisme dalam mencapaikan kecepatan maupun analisis mendalam. Dalam menawarkan kecepatan, banyak media yang sanggup menawarkannya pada masyarakat.
Sedangkan perihal media yang menawarkan analisis mendalam. Bisa dikatakan hanya ada segelintir media di Indonesia yang berjalan di jalur tersebut. Tantangan bagi media-media ini tentu minat baca masyarakat.
Bukan mendiskreditkan kebiasaan masyarakat dalam mengakses informasi. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kecepatan arus informasi memang memberikan distraksi yang membentuk kebiasaan membaca cepat dan sekilas saja.
Dalam hal ini, beberapa media, termasuk diantaranya Tirto.id menawarkan analisis mendalam di tulisan-tulisannya. Tirto.id juga telah mengantongi kepercayan masyarakat. Berproses sejak 2016, Tirto.id juga telah mengantongi beberapa penghargaan.
Termasuk penghargaan khusus sebagai Media Siber Terinovatif dari Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2017. Acara tahunan yang dihelat oleh Persatuan Wartawan Indonesia.
Tirto.id meraih penghargaan tersebut berkat konsistensi prinsip 5W+1H, kelengkapan berita dengan infografis dan independensi dapur redaksi.
Penghargaan semacam itu tentu tidak didapat tanpa kerja cerdas yang taat idealisme. Sebagai media yang relatif baru, Tirto.id telah mampu menggodok neuron pembacanya. Kemudian meraih kepercayaannya.
Meski begitu, media, dibalik wajahnya sebagai kanal digital, sosial media, maupun cetak sekalipun. Tetaplah disusun atas ide, buah pikiran dari manusia. Dan manusia, kau tahu, tentu pernah membuat kesalahan.
Kasus meme di sosial media Tirto.id yang menyangkut calon wakil presiden nomor urut 1, Ma’ruf Amin, kini ramai dibicarakan. Beberapa komentar netizen bahkan mendorong pembredelan media yang namanya diambil dari bapak pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo ini.
Pihak Tirto.id bahkan telah menyatakan permohonan maaf atas kesalahannya. Sebuah langkah berani, elegan dan langka bagi media di Indonesia. Sebab tak mengambil opsi untuk sekadar menghapus konten dan berlalu.
Pro dan kontra mengalir begitu saja. Seakan tidak ada dialektika antara pihak yang menghujat dan tetap mendukung Tirto.id. Kesalahan ini ibarat pepatah nila setitik, rusak susu sebelangga.
Mereka yang menghujat Tirto.id, bisa jadi para pesaing yang kalah keren dibanding Tirto. Sehingga, kesalahan kecil yang dilakukan Tirto.id pun ibarat air hujan di musim kemarau. Tak ada ruang dialektik. Yang ada ruang hantam.
Dalam rilis yang ia buat, Remotivi menjelaskan bahwa kritik terhadap media memang penting. Tapi kalau kritiknya berlebihan. Bahkan mengabaikan kerja-kerja yang telah Tirto.id lakukan selama ini, itu berbahaya.
Sebab, mendelegitimasi media sekritis Tirto hanya akan membuat senang pihak-pihak bermasalah yang selama ini terganggu dengan pemberitaan Tirto.id.
Meminta maaf dalam produk jurnalisme adalah hal yang perlu dibiasakan di dunia pers. Tak banyak perusahaan media yang berani secara terbuka meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat.
Banyak media hanya menghapus konten bermasalahnya tanpa minta maaf, tanpa penjelasan bahkan tanpa kesadaran bahwa publik butuh itu. Sehingga, permintaan maaf Tirto.id adalah langkah elegan dan patut diapresiasi.
Kasus ini memberi pelajaran baru bahwa media sosial tidak bisa dilepaskan dari lingkup kerja jurnalisme. Hari ini media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari media. Ia bukan saja mendistribusikan berita, tapi juga memberi makna atasnya.
Kepercayaan dan Ruang Maaf
Di titik inilah, kepercayaan dibenturkan dengan kesalahan. Mereka yang mampu membangun kepercayaan dengan baik, tentu tidak mudah diusik kesalahan-kesalahan manusiawi. Terlebih, ada riwayat baik yang terus terpelihara di otak para pembaca.
Kita, sama halnya dengan Tirto.id, manusia yang berupaya berjalan di jalan benar. Dan kepleset adalah hal yang manusiawi. Hal yang lebih esensial dari menertawakan manusia yang kepleset adalah, memberikan kesempatan untuk ia bangkit kembali.
Nabs, kesalahan Tirto.id tentu patut dikritik. Namun, kita juga tidak bisa serta merta mendiskreditkan semua hasil kerja cerdas yang dilakukan. Apa kabar tulisan-tulisan dengan segudang referensi, analisis mendalam, dan alternatif perspektif yang segar?
Hasil kerja cerdas ini tentu masih membekas di relung neuron yang memproses kepercayaan. Justru, dengan kepercayaan yang kita miliki. Kita jadi bisa berdialektika dalam kritik, saran, dan apresiasi.
Ibaratnya, kalau daun dari pohon mangga di halaman rumahmu terserang hama. Kau tidak akan serta merta menebang pohon itu sampai ke akar kan? Kita rawat saja daun-daun yang sakit itu. Sembari membiarkan batang, ranting, dan daun yang sehat menyembuhkan bagian yang sakit.