Alih-alih rukun adem ayem tenteram saat Ramadhan. Eh, malah diramaikan dengan dua video berbasis potensi khilaf. Harusnya Ramadhan ini jadi momen evaluasi diri lebih baik lagi. Kalau sudah begini, kan jadi Ramadhan ghibah.
Ya mau gimana lagi, negeri ini memang lucu. Seiring berkembangnya teknologi dan kemajuan. Justru era kemunduruan sedang dihadapi. Saling curiga, sedikit-sedikit lapor, rekam peristiwa lalu viralkan melalui dunia virtual.
Tidak sejalan dan beda pendapat, langsung di ghibah-kan. Dianggap sebuah ancaman padahal meyakini kalau perbedaan itu indah. Lha njur paiizzee tho, beda itu indah tapi ketika ada yang beda malah dianggap ancaman.
Pekan ini dunia virtual diramaikan dengan beredarnya dua video. Video pertama mengenai demonstran yang mengancam keselamatan pemimpin negeri. Lalu yang kedua ada bapak-bapak minta sumbangan.
Sepertinya ancaman yang dilontarkan pemuda itu, sebagai bentuk ekspresi dari demokrasi. Memang sih tak ada tujuan mengancam bahkan benar-benar melakukan seperti apa yang diucapkan.
Sebagai bentuk ekspresi dari demokrasi. Namun kebebasan berpendapat memang ada batasnya. Lho paiizzee sih, katanya bebas tapi kok ada batasnya. Jadi yang benar yang mana? Boleh nggak berpendapat dengan bebas? Atau jangan-jangan malah dibatasi untuk berpendapat bebas?
Salut sama orang yang berani memuntahkan kalimat pendapatnya. Dengan berani dan ngawur. Lah kok ngawur? Begini, untuk memuntahkan pendapat di negeri yang –katanya–demokrasi, harus berlandaskan ranked kamu sebagai apa.
Lha kalau kamu masih ranked bawah, ya bisa-bisa lenyap mirip korban Thanos nanti. Hanya ranked atas yang kemungkinan menghindari bahkan bisa sampai mengatur. Bagaimana perputaran pendapat.
Belum lagi pusaran energi netizen yang wak wek wok. Tak pernah ada yang mematahkan pusaran energi netizen. Kamu bakal terpesona dengan susunan kalimat natizen.
Kalau sudah begini apa kita hanya bisa diam. Karena takut akan pendapat kita sendiri. Kalau saya sih, ya gimana ya. Gimana mau bersuara kalau pergerakan mulut kita tidak bebas.
Sepertinya konsep mulutmu harimaumu telah dibreakdown. Hingga membuahkan UU yang bisa digunakan untuk menjerat suatu kritikan.
Mungkin tujuannya baik agar kita tak asal mengkritik. Tapi kalau dikulik lagi, bukankah malah mereka yang tidak mau dikritik. Hingga membuahkan UU sebagai penawar.
Lalu, selanjutnya ada bapak-bapak keluar api. Eh bukan maksudnya bapak-bapak marah-marah karena sumbangan. Yha gimana gak marah ya, sumbangan seribu rupiah jaman sekarang dapat apa? Hee sumbangan-itu-harus-ratusan-juta hee.
Seribu buat beli rokok eceran aja kurang. Bapaknya kan juga sudah capek-capek ngumpulin sumbangan. Jalan samper sana-sini saat puasa, eh dapetnya seribu rupiah.. receh lagi. Lha disamakan dengan orang minta-minta.
Kalaupun mau ngasih, setidaknya pakai uang kertas. Karena nggak semua orang suka yang receh. Jangankan uang, bahkan guyonan receh juga gak semua orang suka. Tapi kalau konsep sumbangan kan mesti didasari rasa ikhlas dari keduanya. Baik dari pemberi dan penerima.
Jangan hanya menuntut ke-ikhlasan pemberi saja. Namun ke-ikhlasan juga harus datang dari pihak penerima. Agar keduanya tidak saling kecewa dan merasa terhina nantinya. Tapi saya kira bapak-bapak itu pasti juga paham kok konsep sederhana ini.
Seketika dua kejadian itu viral dan ramai. Saat nantinya ditemui dan dimintai keterangan, akankah yang bersangkutan, lagi-lagi, ujungnya memuntahkan kalimat maaf dengan imbuhan bumbu khilaf? Rasanya kata khilaf sudah banyak kita telan hingga akhirnya kita bungkam atas pendapat diri sendiri. Khilaf… Ah.