Kopinem tentu lokasi yang teramat ramai. Terlebih, hari ini malam Minggu. Akhir pekan. Hari yang bagi sebagian orang, siang dan malamnya tidak terlalu berbeda. Dan kau, diam-diam sedang merenungi nasib unik yang menimpamu hari ini.
Kau masih tidak percaya akan apa yang kau lakukan. Ngopi berdua bersama seorang perempuan yang baru saja kau kenal— dan belum mandi dan belum ganti pakaian —- melalui proses perkenalan yang anti-mainstream: kenal di tribun stadion dalam balutan sorak sorai para penonton sepak bola.
Kau lupa kapan terakhir kali ngedate berdua bersama seorang perempuan– itu pun jika kau pernah melakukannya– maka, tidak heran jika kau pun lupa bahwa Tuhan menciptakan hari Sabtu untuk berpacaran. Dan itu membuatmu tidak paham, tempat mana yang harusnya kau tuju agar tidak terganggu dengan riuhnya muda-mudi berpacaran di hari Sabtu.
Itu sangat terlihat dari caramu duduk di kursi. Pantatmu agak miring ke kiri. Iya, tentu kau sangat menyadari itu. Kau mengantisipasi agar tetap bisa mengkondisikan nada saat sewaktu-waktu udara di perutmu mendadak ingin keluar.
Sebagai lelaki yang mengaku paham berbagai jenis aliran musik, kau tentu tidak ingin nada F#M keluar di saat momen berdua bersama perempuan yang baru saja kau kenali.
Berparas tampan dan penyabar dan memiliki aura gagah di atas rata-rata, kau menyadari jika dirimu terlalu baik hati hingga menyia-nyiakan banyak perempuan. Kau jarang pacaran, apalagi menyakiti hati perempuan. Tapi kau, selalu tabah menemani temanmu yang sedang berpacaran.
Kau melolos sebatang rokok, menghirup pangkalnya, lalu memantik api di ujung rokok itu. Di sela-sela pekat asap rokok yang kau hembuskan, diam-diam kau menatap wajah perempuan di depanmu. Tentu dengan tatap mata penuh rasa penasaran.
Pelayan cafe datang. Dia meletakkan coklat hangat di depan perempuan itu, dan meletakkan kopi susu tepat di depanmu. Kau mengambil gelasmu. Pelan-pelan meminumnya, dan berharap keteganganmu sirna.
Kau masih bingung mengawali perbincangan. Bahkan, kau tidak kepikiran menanyakan apa hobinya (selain nonton sepakbola, tentu saja). Kecanggunganmu di depan perempuan memang tak sebanding dengan ketampanan dan kegagahanmu di depan cermin.
“Aku tahu kenapa kau tidak suka sepakbola.” Tiba-tiba perempuan itu berkata mengagetkan lamunanmu.
“Kenapa?”
“Kau mirip Kim Jong Un.” katanya sambil tertawa, “dan di Korea Utara memang jarang ada tontonan sepakbola kog…”
Kau tersentak. Keselek kopi susu. Kau tak siap dengan serangannya yang teramat mendadak itu. Kau tak mengira jika dia, perempuan itu, punya selera humor cukup tinggi. Dan kau, alih-alih membalasnya dengan serangan serupa, kau justru terpana dengan tawa manisnya yang teramat natural itu.
Kau ingin banyak bicara sebenarnya. Tapi kau tidak tahu apa yang ingin kau bicarakan. Kau ingin menggigiti kuku jari tanganmu untuk mengurangi ketegangan. Tapi kau sadar, apa yang ingin kau lakukan adalah tindakan yang lebih buruk daripada bertelanjang bulat sambil berjalan di tengah jalan raya.
“Apa kau sudah punya pacar?” Kau sadar jika itu pertanyaan klise yang kampungan dan sangat buruk. Sehingga kau hanya membunyikannya di dalam hati saja. Dan tidak mengucapkannya.
“Sejak kapan kau suka coklat hangat?” Meski itu pertanyaan buruk, setidaknya kau tetap mengucapkannya demi terlihat berhasil mengatasi kegugupan.
“Pertanyaanmu lucu. Khas lelaki yang lama tidak berpacaran” jawabnya singkat.
Lagi-lagi kau tersentak dan terkaget dan keselek ludah dan kau tak siap dengan serangan baliknya yang teramat mendadak itu. Kau tak mengira jika dia, perempuan itu, punya selera humor cukup tinggi. Dan kau, alih-alih menimpalinya dengan serangan serupa, kau justru terpana dengan jutek manisnya yang teramat natural itu.
“Sudah jam 8, aku mau balik dulu. Takut nggak dapat bus umum,”
“…hmm, iya. Aku antar ke terminal kalau gitu,”
Kau sadar. Itu kalimat penawaran paling bodoh kedua yang pernah kau ucapkan setelah kalimat “bagaimana kalau kita putus baik-baik” yang pernah kau ucapkan pada mantan pacarmu, beberapa tahun yang lalu. Dan kau paham, seharusnya kau pamit pulang sebentar. Sekaligus mengambil mobil. Sekaligus mengantarkannya pulang ke rumah. Sekaligus melanjutkan obrolan di dalam mobil.
Tapi tidak apa-apa, cinta memang harus dibangun dari kekeliruan dan kesalahan. Sebab jika kau membangun cinta dari kebenaran-kebenaran, kau akan mendapati hubungan yang saling menyalahkan.