Perkopian manual brew begitu sporadis. Menyebar seperti lumut dinding kamar mandi. Di tiap ruangnya, suara pengunjung riuh bagai sayap lebah. Obrolan lucu hingga begitu serius. Kampus kedua bagi para mahasiswa.
Terdengar samar gemuruh awan. Bintang mulai tersapu mendung. Hilang. Aku memilih satu tempat di antara jutaan perkopian. Niatku sekadar berteduh. Mengamankan pikiran dan badan agar tak kedinginan.
Langit mulai menunjukkan tangisnya. Terdengar butiran air menghantam atap cafe. Selamat datang gerimis.
Aku tempelkan ujung cangkir pada bibirku. Berharap rasa dingin terobati. Benar, tubuhku terasa hangat. Perlahan terasa makin panas. Juga, pikiran semakin kacau. Terang saja, hujan datang bersama kenangan.
Cafe semakin ramai. Itulah yang tertangkap mataku. Tapi tidak telingaku. Kesadaranku berada pada masa lalu. Masa indah yang tidak lagi bisa aku nikmati rasanya. Terasa indah, tapi juga sakit. Aku tidak bisa menolaknya.
Suara motor menyala terdengar hampir bersamaan. Pengunjung mulai berhamburan. Aku sadar hujan sudah mereda. Aku berpikir untuk melanjutkan perjalanan. Tujuanku, rumah seorang sahabat sewaktu kuliah. Tempat aku menginap selama di Kota Malang.
Perjalanan ditemani kondisi aspal yang basah. Aku berharap segera sampai pada tujuan. Berpikir untuk mandi dan tidur. Agar besoknya aku bisa mengikuti kegiatan di kampus. Aku hadir sebagai undangan sebuah acara.
Sampai pada tujuanku, aku sapa pemilik rumah. Fajri Akbar namanya. Mulai dari bertanya kabar hingga bercerita tentang kabar kawan lain. Lelah sudah terasa. Aku katakan rasa lelahku, bermaksud segera istirahat. Satu kalimat penutup hari, aku sampaikan padanya.
“Malang sudah berubah, Ya. Malang yang dulu terasa bahagia, sekarang agak menyiksa. Berbeda dengan Bojonegoro. Nyaman tapi tak menantang.”